Atjeh-Horizon - Ada yang aneh saat saya menyaksikan dialog di Jakarta Lawyers Club, yang ditayangkan secara langsung di TV One, Selasa, 26/7 lalu. Dalam acara yang dipandu Karni Ilyas itu, tema yang diangkat membuat saya terusik. Salahkah Media terhadap Pemberitaan Nazaruddin? Beberapa kali, Karni Ilyas mengatakan bahwa acara ini sebagai otokritik. Mengapa? Karena beberapa pihak, termasuk Presiden SBY, menengarai, telah terjadi trial by the press. Pers telah bertindak seperti hakim dan membentuk opini publik bahwa orang atau pihak tertentu dianggap bersalah. Puncaknya ketika Nazaruddin tampil di tv dengan kepala ditutupi topi pantai. Dari tempat persembunyiannya yang entah dimana, ia dengan mudahnya melontarkan berbagai tuduhan kepada pihak lain. Dan media menayangkannya secara utuh. Seorang dosen etika jurnalistik dalam acara tersebut mengatakan, “Bagaimana jika yang dikatakannya tidak benar?”
Saya tak ingin mengulas acara tersebut lebih jauh, karena tak sampai habis saya menontonnya. Juga tak terlalu penting sebagai alat analisa tulisan ini. Justru yang paling penting ialah tema acara tersebut yang secara implisit merupakan bentuk kesadaran insan media bahwa ada potensi kesalahan terhadap pemberitaan Nazaruddin. Bahkan, saya melihatnya ini semacam “permintaan maaf” yang tak terucapkan dari media kepada masyarakat jika memang benar pemberitaan Nazaruddin sudah kebablasan.
Disinilah yang membuat saya terusik. Respon media begitu cepat terhadap kritikan berbagai pihak terkait berita Nazaruddin. Tapi mengapa itu tidak mereka lakukan terhadap berita yang menyangkut terorisme? Dalam kasus Nazaruddin, masih terjadi debatable, apakah media telah melanggar etika atau tidak, seperti tercermin dalam acara Jakarta Lawyers Club tersebut. Namun, untuk kasus terorisme, mereka tak juga meminta maaf meski faktanya berbeda dengan yang diberitakan.
Ingat dengan penangkapan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah, dua tahun lalu? Secara langsung, aksi penangkapan tersebut ditayangkan televise layaknya sebuah film action Hollywood. Dan dengan gagahnya –tanpa pernah melihat jenazahnya dan hanya bersandarkan pada informasi sepihak--para jurnalis memberitakan bahwa yang tertangkap dan kemudian akhirnya tewas tertembak adalah Noordin M Top (NMT). Segera saja berita itu menjadi headline berbagai surat kabar cetak, onlie dan media elektronik.
Belakangan terbukti: bukan NMT yang tertembak, tapi Ibrohim—itu juga kalau benar.
Tapi setelah itu, tak satu pun media yang meminta maaf. Business as usual. Semuanya seolah berjalan seperti biasa. Padahal, kala itu, media secara telanjang telah melakukan trial by the press yang mungkin terburuk dalam sejarah media di Tanah Air. Tak ada cek and recheck dan tak cover both sides.
Tak cuma sekali media kita menabrak prinsip-prinsip dasar jurnalisme jika memberitakan terorisme. Setiap kali bom meledak, setiap kali teror melanda, setiap kali rangkaian bom ditemukan, selalu saja berita yang disajikan pertama kali menuduh kelompok Islam sebagai tersangka. Mulai dari Al Qaeda, Noordin, Umar patek, Abu Bakar Ba’asyir, Jamaah islamiyah, dan sebagainya.
Kelakuan ini sama persis dengan media Barat yang memberitakan kekejian Anders Behring Breivik. Semua media Barat, dengan cepat menuduh Al Qaeda dibalik peristiwa sangat keji tersebut. Sabtu, 23 Juli, koran Inggris the Sun memuat headline: 'Al Qaeda' Massacre: 9/11 Norwegia. The Wall Street Journal (WSJ), dalam editorialnya menghubungkan tragedi itu dengan kartun Nabi Muhammad yang menghebohkan Denmark pada 2005 lalu. Menurut WSJ, pegiat jihad memprotes kartun itu dengan keras dan menjadikan Norwegia sebagai target utama. The Washington Post dalam editorialnya menulis, penyerangan itu pasti dilakukan sekelompok pegiat jihad. ''Petinggi kelompok jihad telah menyatakan penyerangan Norwegia adalah timbal balik dari ulah negara itu yang terlibat memerangi Afghanistan,'' tulis kolumnis Washington Post, Jennifer Rubin.
Anehnya --meski kemudian terbukti yang melakukan pembunuhan keji itu adalah seorang teroris berambut bule, asli Norwegia, dan beragam Nasrani—media tersebut tak meminta maaf atas kesalahan fatal yang telah dilakukannya.
Hari ini, dengan terpaksa, kita harus memberi istilah kepada media semacam itu dengan nama jurnalisme su’udzon. Jurnalisme penuh prasangka; jurnalisme prejudice. Dalam kepala mereka, prinsip jurnalismenya sangat sederhana: ''Asumsikan pelakunya adalah Muslim sampai sudah jelas ternyata pelakunya bukan Muslim. Bila belum ada kejelasan, tetaplah berasumsi seperti itu bahwa mereka pelakunya. Dan jika ternyata bukan Muslim, tak perlu meminta maaf.''
Virus jurnalisme su’udzon sudah menular dengan cepat ke awak media di Tanah Air. Kita, sebagai umat Islam, harus mewaspadainya. Jangan pernah menelan mentah-mentah setiap berita dari media semacam itu. Kunyah dulu hingga lama. Jika ternyata berita itu tak benar, langsung saja dimuntahkan dari mulut agar tubuh kita tak dijangkiti kabar fitnah. Akan sangat berbahaya jika kita langsung menelannya, karena akan meracuni otak dan tubuh kita. Dan para penganut jurnalisme su’udzon ini tak akan “mengaku bersalah” atas berita yang telah mereka sebarkan. Kecuali untuk kasus Nazaruddin.
Erwyn Kurniawan