Ketika seorang guru sekolah Mesir, Hasan al-Banna, mendirikan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, ia memiliki cita-cita menciptakan sebuah negara bebas berdasarkan keadilan sosial. Ia juga bercita-cita menerapkan hukum Islam di berbagai bidang negara tersebut.
Hari ini, tampaknya cita-cita al-Banna akan terwujud. Secara bertahap Ikhwanul Muslimin Mesir mulai membidik sistem yang sesuai dengan syarat-syarat Islam ini. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki keuangan Mesir yang sempat terpuruk oleh korupsi bertahun-tahun serta kerugian akibat reformasi.
Dengan kemampuannya untuk memobilisasi dari akar rumput, Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan Islam yang menjadi ancaman bagi pemerintahan mantan Presiden Hosni Mubarak. Puluhan tahun Ikhwanul tidak memiliki akses ke ekonomi Mesir yang kala itu diatur oleh partai Mubarak.
Pemimpin Ikhwanul seperti Hassan Malek dan Khairat Shater pernah dipenjara oleh Mubarak, namun mereka tetap dapat menjalankan perusahaan dengan fokus mengembangkan bisnis syariah. Hal ini membuat Ikhwanul menjadi salah satu gerakan terkaya di dunia Arab.
Keberhasilan ini membuat penerus Ikhwanul Muslimin ingin melanjutkan perjuangan tersebut. Mereka ingin menerapkan syariah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk perbankan. “Syariah akan diterapkan lebih di perundang-undangan negara Mesir, terutama di bidang keuangan negara,” ujar Kepala Urusan Eksternal Partai Ikhwanul Muslimin, Tarek Farahat, seperti dilansir laman Los Angeles Times, Senin (18/6).
Para pemimpin ini dinilai tidak memiliki dana untuk melembagakan perubahan sosial radikal seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Namun pada saat yang sama hal tersebut juga tidak layak untuk Mesir.
Mereka ingin merestrukturisasi masyarakat, kata pengamat Ashraf Sherif. Namun untuk saat ini mereka tidak lebih dari berharap untuk menerapkan fokus bisnis pada pasar bebas. “Ekonomi syariah adalah tidak lebih dari ekonomi berbasis agama yang berfokus pada moral masyarakat. Secara taktis, hal ini sangat terintegrasi dengan ekonomi kapitalis internasional.”