MAHASISWA selalu memiliki sebuah arti tersendiri dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa dalam peristiwa Reformasi 1998. Sejak saat itu, atau bahkan sebelumnya, menjadi mahasiswa kemudian seperti menjadi “orang yang tidak biasa”, entah karena romantisme masa lalu, maupun beban tanggung jawab masa depan.
Terlepas dari itu, menjadi mahasiswa dapat dikatakan berada pada suatu kondisi yang cukup unik. Mengapa demikian? Karena, menurut penulis, usia mahasiswa yang berada pada zona akhir belasan tahun dan merupakan rentang usia remaja akhir akan menempatkan seseorang pada kondisi yang kompleks. Secara emosi, dalam diri mahasiswa masih terdapat “sisa-sisa ketidakstabilan” masa remaja yang dapat ditunjukkan dengan, misalnya, emosi yang meledak-ledak serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pencarian jatidiri. Tetapi kemudian di sisi lain, pemikiran mahasiswa dapat dikatakan sudah “hampir matang”, apalagi jika mengingat bahwa mahasiswa merupakan pelajar perguruan tinggi dengan kualitas pengetahuan yang tentu saja lebih. Hal-hal itulah yang kemudian memunculkan apa yang disebut dengan idealisme. Permasalahannya adalah bahwa idealisme seorang mahasiswa akan sangat ditentukan oleh proses yang dijalani oleh mahasiswa tersebut, dan tentu saja akan dipengaruhi oleh kondisi mental mahasiswa dalam menjalani proses tadi.
Hal itulah yang kemudian membuat kita, baik sebagai mahasiswa ‘lama’ maupun masyarakat, seharusnya sangat berhati-hati dalam memberikan treatment kepada kelompok mahasiswa terutama mahasiswa yang baru saja menyandang status baru sebagai mahasiswa. Bukan hanya tentang bagaimana bentuknya tetapi juga tujuan dari treatment tersebut, begitu pula sebaliknya. Karena kemudian yang terpenting adalah menjaga agar dampak yang ditimbulkan oleh pemberian treatment tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun mahasiswa itu sendiri. Jika dikaitkan dengan pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) yang hampir selalu menuai pro kontra, maka sebenarnya bukan masih ada atau tidaknya ospek yang patut dipermasalahkan, tetapi apa dampak yang ditimbulkan oleh ada atau tidaknya ospek tersebut pada mahasiswa baru? Hal ini kemudian berlanjut pada pertanyaan apa dampak yang akan ditimbulkan bagi masyarakat tempat mahasiswa tadi berada?
Maka, jika ditanyakan masih pentingkah ospek? Tentu saja. Bahkan, sangat penting dan mungkin akan selalu penting dan diperlukan. Tetapi perlu diingat bahwa ospek yang dimaksud disini merujuk pada ospek “yang sesungguhnya” yaitu orientasi studi dan pengenalan kampus. Konten dari ospek tersebut pun seharusnya benar-benar bermakna pengarahan orientasi studi pada mahasiswa baru yang bisa dikatakan masih asing pada bidangnya sekaligus pengenalan mahasiswa baru pada kampus secara umum. Kemudian sebagai tambahan pula sudah seharusnya mahasiswa baru juga diperkenalkan pada hak dan kewajiban serta tanggung jawab mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, agar kemudian menumbuhkan mental mahasiswa yang tidak apatis dan anti-sosial.
Lalu bagaimana dengan “ospek”? Pasti kita tidak asing lagi dengan dua “peraturan ospek” yaitu yang pertama bahwa senior selalu benar dan jika senior salah maka kembali ke peraturan nomor satu. Lelucon tersebut mungkin memang tidak benar-benar digunakan secara eksplisit dalam praktik perploncoan atau “ospek”. Tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa dalam kenyataannya, konsep tadi telah tertanam kuat dalam alam bawah sadar para mahasiswa baru yang mau tidak mau telah menyiapkan diri untuk menghadapi “ospek”. Maka tanpa tujuan yang jelas dari para konseptor “ospek”, kegiatan rutin tahunan tersebut hanya dan selalu akan berakhir pada “dendam” mahasiswa baru dan munculnya bibit-bibit senior yang benar dan akan selalu benar.
Selama ini yang menjadi argumen dari mereka yang pro “ospek” adalah bahwa untuk memunculkan keberanian sekaligus kekompakan di antara para mahasiswa baru perlu dimunculkan common enemy atau musuh bersama. Karena itulah kemudian muncul senior sebagai sosok musuh bersama yang kuat bagi mahasiswa baru agar perlawanan yang dilakukan mahasiswa baru pun lebih kuat dan tidak seadanya. Dan memang benar bahwa adanya musuh bersama akan memunculkan keberanian dan kekompakan yang dimaksud. Tetapi masalahnya adalah bahwa para mahasiswa baru atau siapa pun yang terlibat dalam sistem “ospek” tadi akan terbiasa melakukan sesuatu untuk melawan musuh bersama. Maka kemudian yang akan muncul adalah kebiasaan bereaksi, bukan beraksi. Lebih parah lagi jika reaksi yang ada dilakukan dengan cara keras dan, maaf, tidak berpendidikan. Para mahasiswa tersebut pun akan selalu memerlukan alasan yang visible untuk bersikap, sedangkan di sisi lain permasalahan sosial seringkali tidak disertai dengan pertanda yang dapat dikenali oleh mereka yang tidak peka. Dan masih banyak lagi kerugian yang akan didapatkan dari penggunaan sistem pelonco dalam ospek ini, dari yang riil seperti jatuhnya korban hingga kerugian-kerugian moril termasuk mental generasi muda seperti apa yang akan terbentuk.
Maka kemudian perlu dilakukan pendefinisian ulang mengenai apa itu ospek dan tentu saja membedakannya dari perploncoan yang merupakan sistem laten yang telah terlanjur secara salah diidentifikasikan sebagai ospek itu sendiri. Dan jika memungkinkan perlu juga dilakukan reformasi konsep ospek agar bukan hanya membedakan, tetapi sekaligus dapat mengurangi bahkan menghilangkan sistem perpeloncoan tadi.
Shofi Nurul Himmah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Airlangga (Unair), Surabaya
Anggota Departemen Kebijakan Publik BEM KM Unair
sumber: e-campusradio.com