"UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry Bukan Milik Preman!"

"UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry Bukan Milik Preman!"
"Tapi saya dan masyarakat Aceh yakin masih ada Dosen, Profesor dan Mahasiswa yang bisa membangun Unsyiah selayaknya institusi perguruan tinggi. Berorientasi perbaikan, pengamalan ilmu dan pengabdian bagi masyarakat, tidak menjual kampus demi kepentingan pribadi"
Dalam dua bulan terakhir, kampus Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry kembali "panas", penyebabnya adalah adanya perebutan kekuasaan di lingkungan dua kampus Jantung dan Hati Rakyat Aceh ini, perebutan kekuasaan antar mahasiswa maupun antar dosen.
Pada Minggu (13/1). Safrizal Umar, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah menyampaikan unek-uneknya di media sosial twitter, berikut petikan kicauan Ketua MPM Unsyiah ini yang telah kami rangkum:

Miris hati melihat kondisi dua kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh belakang ini, sikap dan kelakuan politik barbar dipertontonkan. UNSYIAH dan IAIN AR-RANIRY merupakan institusi pendidikan tinggi yang menjadi pusat intelektual muda dan akademisi hanya bisa menampilkan nilai-nilai negatif. Dosen, pimpinan Fakultas, pimpinan Universitas, Mahasisiwa, memiliki sumbangsih masing-masing dalam perwujudan negatif value. Institusi pendidikan tinggi idealnya menjadi acuan dan panutan masyarakat dalam kehidupan sosial, karena kumpulan orang-orang cerdas ada di kampus.

Di level Rektorat UNSYIAH dan IAIN (Ar-Raniry) dugaan kasus korupsi ditemukan, hanya beda sumber dana, Memalukan. Kasus korupsi UNSYIAH lebih hot dan sexy karena melibatkan Profesor-profesor dan persaingan kursi nomor satu.

Dosen dan pimpinan Fakultas tidak mau kalah, pemilihan salah sabtu dekan fakultas ricuh! Para Profesor dan Doktor bersidang dengan kursi yang berterbangan. Kalau di tingkat Profesor Doktor saja seperti itu, bagaimana dengan mahasiswa yang belum dapat gelar apa-apa? Lebih “top” lagi.

Pembakaran, pemukulan, fitnah, ancaman kepada yang lemah dan junior hidup dengan subur. Jadi tidak salah kalau disebut kampus rimba/kampus barbar. Terakhir di UNSYIAH, dua hari berturut-turut acara bakar-bakar, momen PEMIRA, tindakan kriminal ini dilakukan dengan terang dan bangga, kacau! Pelaku diketahui, bukti cukup, saksi mata puluhan, tapi Rektorat hanya diam saja, artinya mengizinkan praktik kekerasan tumbuh di kampus.

Jadi jangan heran kalau ada bakar-bakar Jilid II, Jilid III, Jilid IV, dan jilid seterusnya, karena diamnya Rektorat itu “kode” pemaaf, asik! Tidak heran kalau jam ini keputusannya A, satu jam ke depan berubah B, terus nanti berubah lagi menjadi C. inilah yang membuat mahasiswa “gontok-gontokan”.

Artinya ketegasan sikap, pemberian sanksi sangat diperlukan, Guna meredam tindakan kriminal dan sikap bar-bar. Sehingga ada otoritas yang dipatuhi oleh mahasiswa, disegani dan dihormati. Kalau ambil sikap tegas saja tidak bisa, maka jadilah UNSYIAH kampus bar-bar yang sesungguhnya.

Lain UNSYIAH lain di IAIN, tapi sama-sama kacau, lagi-lagi momentum PEMIRA. Demokrasi mahasiswa diberangus. Ini di level mahasiswa, gile bener, mahasiswa menghilangkan hak mahasiswa lainnya padahal sama-sama bayar SPP. Cuma IP aja yang beda!

Pemilihan Presiden Mahasiswa dilakukan oleh forum terbatas yang dihadiri oleh segelintir mahasiswa dan mengabaikan ribuan suara mahasiswa lainnya. Mahasiswa  ini kalau demo di jalanan teriak-teriak demokrasi, persaman hak, lawan penindasan, tapi di kampus dia otak penindasan, buruk masa depan. Sehingga muncullah dua kubu pro dan kontra, yang satu dukung pemilihan langsung, yang satunya tidak ingin ada pemilihan langsung.

Konflik dan kontak fisik pun tidak terhindar, Jadilah UNSYIAH dan IAIN sebagai laboratorium preman. Kemarin salah satu pihak menyerang posko pihak lain. Tidak tanggung-tanggung, mungkin terinspirasi dari Unsyiah, yaitu bakar-bakar! Yah, kalau bakar kotak suara atau gedung sekalipun yang dibakar, masih bisa dikatagorikan manusia khilaf, kalau Al-quran yang dibakar, katagori apakah mereka? Semua tindak kekerasan di kampus terjadi karena pimpinannya tidak berani mengambil sikap tegas terhadap tindakan kekerasan dan kriminal. Jadi wajar kalau kita melihat kekerasan tumbuh subur di dua kampus ini. Bahasa kerennya mungkin student extremist.

Tapi saya dan masyarakat Aceh yakin masih ada Dosen, Profesor dan Mahasiswa yang bisa membangun Unsyiah selayaknya institusi perguruan tinggi. Berorientasi perbaikan, pengamalan ilmu dan pengabdian bagi masyarakat, tidak menjual kampus demi kepentingan pribadi.

Begitu juga dengan IAIN Ar-Raniry, semoga perbaikan di dua Jantung Hati rakyat Aceh ini dapat kita nikmati ke depannya. Sehingga kampus dengan maksimal bisa menghasilkan SDM pembangun dan penggerak, bukan tukang pukul, tukang bakar dan tukang lainnya. Amin.

Editor: Tim ikhwanesia.com

Share this