Showing posts with label Achai. Show all posts
Showing posts with label Achai. Show all posts

Sejarah Kelam Pengkhianatan Pang Tibang


Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.

Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Ia dipercayakah sebagai syahbandar. Guna menghadapi serangan Belanda, ia diutus untuk melakukan perjalanan diplomasi ke luar negeri. Tapi di luar negeri ia balik menyerang Aceh bersama Belanda. Seumur masa ia dicap pengkhianat.

Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.

Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.

Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.


Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.

Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh. 

***

Referensi:

1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972
2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”

Malik Mahmud Berpidato, Peserta Halal Bihalal Pulang

Kegiatan halal bihalal Ikatan Keluarga Nagan Raya (IKNR) yang digelar di Padepokan Pencak Silat Nasional Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Senin (26/9) malam, diwarnai insiden pulangnya warga. Insiden tersebut terjadi ketika petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud berpidato di depan para peserta halal bihalal. Dalam rilis yang dikirim ke redaksi acehkita.com, disebutkan lebih dari separuh yang hadir pada halal bihalal memilih pulang ketika Maluk Mahmud sedang berpidato. Peserta yang pulang itu beralasan Partai Aceh terlalu arogan.
Masa acara halal bihalal pun diintervensi untuk kepentingan politik seperti itu. Sangat tidak terpuji saya kira. Kasihan rekan-rekan IKNR tidak bisa berkutik karena intervensi mereka,” keluh seorang peserta yang tidak mau disebutkan namanya.
Peserta tersebut menyebutkan, dirinya hadir untuk mendengar ceramah agama Teungku Yusri Puteh bukan malah harus mendengar pidato politik Malik Mahmud.
“Bagaimana tidak, demikian lama ia bicara, yang disampaikan sama sekali tidak ada sesuatu yang baru. Cuma masalah sumbangan kapal dari Aceh untuk Indonesia dan kampanye bahwa Zaini Abdullah akan menjadi kandidat gubernur Aceh.”
Menurut dia, harusnya Malik sebagai tokoh masyarakat tahu menempatkan pembicaraan yang sesuai dengan kegiatan. “Masa IKNR yang bikin acara justru partai yang ambil keuntungan kampanyekan orangnya,” kata dia.
Ketua panitia halal bihalal IKNR, Sabaruddin, menyebutkan sebelumnya tidak ada agenda bahwa Malik Mahmud dan Zaini Abdullah akan hadir. Namun, kata dia, tiba-tiba mendapat kabar bahwa keduanya menyatakan akan hadir.
“Salah seorang meminta panitia agar memberikan kesempatan bagi Malik Mahmud untuk juga bicara yang dijanjikan hanya akan berbicara lebih kurang 15 menit saja. Tapi ia malah berbicara sampai satu jam lebih,” ujar dia.
Acara Halal Bihalal IKNR di Jakarta yang menghadirkan penceramah kondang Teungku Yusri Puteh itu dihadiri sekitar seribuan peserta. Anggota Dewan DPRA, Abdullah Saleh, yang juga masyarakat Nagan Raya ikut hadir pada acara tersebut. []

Inong Aceh dan Kontes "Ratu-ratuan"

MEMBINCANGKAN inong Aceh, seakan tiada pernah berujung. Beberapa waktu lalu, ramai dibincangkan dalam media ini tentang keberadaan mereka di warung-warung kopi atau café-café yang tumbuh menggurita di Aceh, terutama sejak pascatsunami tujuh tahun silam; “Inong Bak Keude Kupi” oleh Azwardi (27 April 2011), yang diberi catatan oleh Jufrizal dengan “Hikayat Inong Keude Kupi” (30 April 2011), dan Susita melengkapi perbincangan tersebut dengan “Cut Nyak dan Keude Kupi” (4 Mei 2011).

Kini, dara Aceh sepertinya akan kembali menjadi objek perbincangan hangat sehubungan dengan keikutsertaan mereka dalam pemilihan puteri Indonesia tahun ini. Seperti diberitakan Serambi Indonesia (9/7), pemilihan puteri Indonesia (PPI) 2011 kembali digelar di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk Aceh. Salah seorang panitia, mengatakan, persyaratan peserta PPI 2011 untuk daerah pemilihan Aceh pada umumnya sama dengan provinsi lain, hanya dibedakan dengan adanya perjanjian yang mengikat peserta untuk tetap menggunakan jilbab hingga final.

Belajar dari Daoed Joesoep
Menyikapi berita di atas, pertanyaan besar yang urgen untuk dijawab adalah, haruskah dara Aceh mengikuti kontes tersebut atau kontes-kontes serupa lainnya? Untuk menjawabnya, mari kita belajar dari memoar yang ditulis oleh Dr. Daoed Joesoep, “Aku dan Dia; Memoar Pencari Kebenaran”(A. Husein; 2009). Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed memberikan porsi cukup panjang (hal.649-657) untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri.

Daoed Joesoep, saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) periode 1977-1982 menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Pada masanya memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss; miss Kecamatan, Miss Fiat, Miss Pantai, di samping pemilihan Ratu Ayu Daerah, Ratu Ayu Indonesia yang langsung dikaitkan dengan beragam jenis keratuan internasional. Semuanya menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat Indonesia.

Daoed menegaskan, pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang pada hakikatnya adalah sebuah penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini tak lain adalah untuk meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu seperti perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, atau salon kecantikan yang mengeksploitasi kecantikan sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk hidup mewah.

Wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed menyampaikan kritik pedasnya: “Pendek kata, kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut “meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.” Bahkan, Daoed menyamakan peserta kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: “setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan) nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”

Daoed menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan karena banyak pesertanya yang mahasiswi. “Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan.

Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tegasnya. Terhadap orang yang menyatakan bahwa yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. “Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.

Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa menarik wisatawan.

Secara terbuka Daoed mengimbau: “Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani, masih berhasrat menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar menjadi Ibu yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga, perannya yang paling alami. Jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci.”

Dari nukilan-nukilan di atas, masihkan ada dara Aceh yang tetap ngotot mengikuti ajang tersebut? Sebagai penutup, kita meminta umara dan ulama negeri bersyariat ini harus turun tangan menyelamatkan marwah dara dan inong Aceh dari jebakan kontes puteri-puterian. Jika tidak, jangan salahkan jika pada suatu masa kelak, anak cucu kita akan berkata, “Oh, ternyata Pak Daoed yang sekuler itu lebih `islami’ dan pro rakyat daripada indatu kita”.

* Penulis adalah mantan pengurus pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta.


h

Legenda dan Keindahan Tapaktuan

Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.

Di dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.

Kisah ini menceritakan tentang perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orang tua sang putri. Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun, legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.

Dalam beberapa waktu yang lalu, Pengurus pernah melakukan pemostingan tentang Kisah Ini, Sobat dapat melihat kembali disini (Legenda Muasal Kota Naga Tapaktuan), Namun, karena isi artikel tsb kurang otentik dengan sebagaimana legenda yang telah di kisahkan. Saya berniat melakukan pengeposan ulang dengan sedikit melengkapi dari berbagai referensi dari buku dan artikel yang saya dapatkan dalam pertualangan saya di internet mengenai legenda ini. Komentar-komentar sobat ACW di facebook saya tayangkan kembali di bawah dalam Artikel "Legenda Muasal Kota Tapaktuan"   agar sobat dapat mengkritisi Artikel ini bila ada kesalahan penulis dalam menulis artikel ini.

Sebenarnya, Legenda ini memiliki alur cerita yang sama. Namun, hanya saja cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa. Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya pertempuran itu. Semoga pesan moral dari legenda ini, bermanfaat bagi sobat pembaca.

******

Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan, sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.

Setelah kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai.

Kedua naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang, tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di Kecamatan tapaktuan.

Suatu ketika sepasang naga sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu.

Dari tengah lautan, mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Sepasang Naga itu pun berenang mendekati titik hitam tersebut di tengah lautan.

Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah benar sesosok bayi manusia yang menangis keras, diombang-ambingkan gelombang di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.

Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang.

Demikianlah, waktu terus berganti. Dari hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. 

Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. Putri inilah yang kemudian disebut sebagai Putri Naga.

Pada suatu hari, kedua naga itu membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona.

Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam. 

Diam-diam sang Putri melontarkan rasa kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu.

Waktu terus bergulir, Putri Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.

Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.

Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.

Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.

Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlang pun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.

Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.

Perahu itulah yang membawa putri bungsu pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.

Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.

Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.

Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri Bungsu.

Ketika Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang hancur itu tumpah kemana-mana dan memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.

Naga Betina pun mulai menyerang Tuan Tapa, Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.

Dalam pelariannya itulah Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.

Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan. 

Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini. 

Hingga sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu. 

Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.

Pada waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejar-kejaran antara Tuanku Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang telapak kaki sangat berjauhan, di batasi oleh gunung tempat naga tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang yang melangkahi gunung, karena tak dapat ditemukan jejak yang sama di antara kedua jejak tersebut.

Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa" itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut "Kota Naga Tapak Tuan".

Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana nasib sang Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.

Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.

Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat.

Jika kita pergi ke Tapak Tuan Aceh Selatan, tapi belum mengunjungi area tapak kaki tersebut, maka seolah-olah kita belum sampai ke Tapak Tuan. Dan di dukung dengan panorama alam yang sangat luar biasa, Tahukan anda, bahwa Tapak Tuan merupakan salah satu Kota terindah di Sumatera. Jadi, bagi yang penasaran, Silakan langkahkan kaki anda ke sana ...!!

* Pemandangan Panorama Alam Si Kota Naga Tapak Tuan *

Surfing Tapak Tuan


Garis pantai Tapaktuan

Jejak Telapak Kaki Tuan Tapa

The Beach of TapakTuan 

Tapaktuan, Most beautiful Place of Sumatera 

Best Ever place in Tapak Tuan

Kampung Batu Hitam

Tapak Tuan with Sunset 

The Dragon City

Makam Tuan Tapa

TapakTuan of the Village 




 (Dari berbagai Sumber Lisan dan Tulisan)

Kisah Aceh dan Indonesia

Legenda Pahit Rakyat dan Para Saudagar Aceh

Aceh, seakan tak pernah henti menyusui Indonesia. Salah satu sumbangan yang tak kalah penting adalah. Tampilnya Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang menyumbangkan sekitar 35 kilogram emas murni untuk pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tugu Monas, kini menjadi ikon Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.

Lagi-lagi, Soekarno dengan kelihaian rethorikanya, membujuk Teuku Markam untuk ikut dan berperan serta dalam proyek prestise ini. Saat itu, setidaknya, Soekarno ingin menunjukkan kepada dunia, Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain. Kalau di Paris ada menara Efiel, di China ada tembok raksasa, di Indonesia ada Monas. Begitulah Soekarno dengan segala sifat ambisiusnya.

Secara beruntun, kemudian lahir perusahaan vital lainnya seperti PT. AFF, PT.ARUN. PT. PIM, PT. KKA serta PT. Aromatic (Humpus Grup). Belum lagi, sumber daya alam seperti kayu dan bahan tambang. Intinya, konstribusi Aceh bagi dana pembangunan Indonesia, menjadi sisi lain dari sebuah perjalanan sejarah Indonesia. Dan, sebutan Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan serta Pembangunan, menjadi sahih adanya.
Dari hasil minyak dan gas, Aceh tiap tahunnya menyetorkan Rp 10,6 triliun atau 43 persen dari total penerimaan negara untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 1997/1998, Rp 328 miliar. Tragisnya, tahun 1998-1999, malah turun jadi Rp 153 miliar.

Kekayaan alam Aceh, yang menjadi pendapatan utama daerah tersebut adalah gas alam. Pusat pengolahan gas alam cair (LNG) yang bahan bakunya dieksploitasi dari daratan dan lepas pantai Aceh, diolah di Lhokseumawe, Aceh Utara. Produksi LNG menghasilkan devisa yang besar, setidaknya memberikan sumbangan sebesar 30% dari total ekspor gas dan minyak Indonesia. Penambangan dan pengolahan LNG dilakukan Exxon Mobil dan Pertamina.

Menariknya, saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1999. Lagi-lagi, Aceh menunjukkan kesetiaannya kepada republik Indonesia. Saat itu, Aceh dipimpin Syamsuddin Mahmud, seorang pakar ekonomi dan mantan Rektor Unsyiah. Melalui putri Soeharto, Siti Indriati Indra Rukmana atau Mbak Tutut. Pak Syam, menyerahkan sekitar 20 kilogram emas serta puluhan lembaran dolar Amerika Serikat bernilai 100 $ per lembarnya kepada Mbak Tutut. Tujuannya, untuk menopang perekonomian negeri ini yang waktu itu sudah terpuruk akibat dihantam krisis moneter atau krismon.

Pada awal masa kemerdekaan, untuk menopang pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, para saudagar Aceh juga memeiliki peran vital. Mereka menerobos blokade ankatan laut Belanda untuk menyeludupkan barang datgangan hingga ke Semenanjung Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Tapi hak para saudagar Aceh itu pun kemudian diabaikan.

Ironisnya, meski Soekarno menyangjung habis Aceh sebagai daerah modal, karena telah mendanai republik, para sudagar Aceh itu kemudian harus berjuang ke pengadilan untuk menuntut haknya. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh pemerintah.

Sebuah kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan singapura, para eksportir asal Aceh mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.

Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.

Salah satu yang sangat fenomenal adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie, warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri RI, H Agus Salim.

Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak datgang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara. Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupakan oleh Jhon Lie. Sampai di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut ditampung oleh pengusaha asal Aceh, diantaranya Teuku Makam, Jaâfar Hanafiah, dan Ali Basyah Tawi. 

Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan yang semakin memburuk, maka daerah keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 juga mengeluarkan uang kertas sendiri.

Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja, 2 sampai 8 Mei 1949, dicetak uang rupiah oripsui sebayak 156.750.000 yang terdiri atas 405.000 lembar Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.

Adalah Abdul Muid, pegawai keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas mempertahankan nilai banding uang oripsu dengan dolar Singapura.

Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan Dolar Singapura tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebnayak 500.000.000. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya impor barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.

Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya pembentukan suatu badan penyehatan yang diketuai oleh M Nue El Ibrahimi. Tugas badan ini mempertinggi produksi barang dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.

Namun nasib para eksportir Aceh yang menyokong pembiayaan republik tersebut akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949, Syarifuddin Prawira Negara mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas ekspor barang dari daerah Sumatera Utara.

Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Mentreri tanggal 17 Oktober 1949 nomor 1/1949/WPM, yang mencabut ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948 nomor 7, yang mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi.

Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang diambil oleh pemerintah daerah soal ekspor impor barang dari dan ke Semenanjung Malaysia.

Lebih ironis lagi, para saudagar Aceh yang melakukan kontak dagang pengusaha di Semenanjung Malaysia, setelah Indonesia benar-benar merdeka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah. Hutan getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.

Hanya Muhammad Saman yang berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran hutang dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.

Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor 335/1952 g, tanggal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.

Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, Jakarta, namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1966 PT perdata tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.

Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai disitu, ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum Mahkamah Agung dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi tersebut. Lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada para saudagar Aceh.


Source from acehforum.org

Segala Kekhasan Aceh, Marwah yang tak mudah dihancurkan

“…Akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan,Segala kekhasan Aceh adalah marwah (harkat-martabat) yang tak mudah dirampas atau bahkan dihancurkan. Selain itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…??”

By Antony Reid

Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898, edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh sampai dengan hari ini.

Reid sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan berpesta pora di Aceh.

Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik. Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai duri dalam daging’, masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..

Dengan gamblang Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.


Tulisan ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama, berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap, sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.

Upaya Rakyat Aceh Bertahan dari Kolonialisasi

Sebagaimana diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai) menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.

Pasai muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan (dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis.

Pada bulan Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga berhasil menjadikan Bandar Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan Portugis.

Wilayah ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan. Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh.

Pasca wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagoe) yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalangterkemuka.

Pada masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.

Restrukturisasi kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727 gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi. Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang. Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun 1850-an.

Pada periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi.
Karenanya kesultanan memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele danLhokseumawe, menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga membaik.

Paska perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandangAceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan persekutuan denganAceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan, karena itu berarti mengakui kekuasaanSultan Aceh. Belanda yang mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai Sumatera secara keseluruhan.

Belanda sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang denganAceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di pelabuhan Acehatas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari maskapai Zeeuw berlabuh diBanda Aceh.

Tanggal 8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler. Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896 peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya untuk memburu Sultan dan Panglima Polem.

Setelah penangkapan-penangkapan terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.

Tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.

Upaya Aceh Mempertahankan Pengakuan Identitas Diri

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan, Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama. Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada Belanda.

Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.

Beberapa bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh. Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan, namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama PUSA.

Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan “Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar merah.

Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireuen. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.

Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.

Upaya Aceh Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik

Pada tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu 1955.
Sebagai salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik Aceh.

Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis. Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI .

Harapan tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu, yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.

Pada masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah “Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an, pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor.

Pada periode 1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya (90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20 tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.

Gemerlap ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa kasus itu hanya berupa janji-janji).

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front (ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata. Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976. Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953, Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.

Bagi Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya, Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah, menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumateradapat hidup bermartabat. Apa yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi baru terhadap Aceh.

Pertumpahan darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada diAceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.

Semua peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut menghargai marwahmereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.

Semoga semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak, terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan kapan akan berhenti.


Ketika Amerika Menyerang Aceh, Perlawanan Kuala Batee

"Aceh pernah digempur Amerika Serikat akibat politik dagang dan provokasi Belanda. Pelabuhan Kuala Batu di Susoh, Aceh Selatan pun rata dengan tanah."

Sejak tahun 1789 Aceh sudah menjalin hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Kapal-kapal dari Amerika datang untuk memuat lada yang kemudia diangkut ke Amerika Serikat, Eropa dan Cina. Menurut M Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, setiap tahun diangkut sekitar 42.00 pikul atau sekitar 3.000 ton. Pusat perdagangan itu dilakukan di Pelabuhan Kuala Batu, Susoh.

Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh.

Pada 7 Februari 1831 kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan. Ketika Endicot dan anak huahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar US $ 50.000 dan tiga anak buahnya terbunuh.

Peristiwa itu kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Pasalnya, selama setengah abat menjalin hubungan dagang belum pernah terjadi perompakan seperti itu. Menurut M Nur El Ibrahimy, ada beberapa penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

Pertama, peristiwa itu dipicu oleh kekecawaan orang Aceh yang selalu ditipu oleh Amerika dalam perdagangan lada. Hal itu diketahui sustu ketika, berat lada yang dibeli dari Aceh 3.986 pikul tapi ketika dijual kembali oleh Amerika beratnya menjadi 4.583 pikul. Hal itu dilakukan melalui pemalsuan takaran timbangan. “Caranya, melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbohot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh sebanyak 30 kati,” jelas M Nur El Ibrahimy.

Penyebab lainnya, perompakan itu terjadi akibat provokasi Belanda karena Amerika telah berhasil menguasai perdagangan lada dikawasan pantai barat-selatan Aceh. Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh dimata dunia dengan tuduhan bajak laut dan tidak mampu melindungi kapal-kapal asing yang berlabuh diperairannya.

Aceh membantah hal itu, kepada para pedagang asing dan dunia internasional kerajaan Aceh memberi penjelasan bahwa perompakan itu ditunggangi Belanda. Belanda sengaja mempersenjatai sebuah kapal Aceh yang dirampasnya. Kapal itu dinahkodai oleh seorang suruhan Belanda yang bernama Lahuda Langkap.

Saat merompak kapal Friendship milik Amerika di Kuala Batu pada 7 Februari 1831, Lahuda Langkap dan anak buahnya yang dibayar Belanda dalam perampokan itu menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Pembajakan kapal Friendship itu kemudian tersiar luas di Amerika Serikat menjadi jelas ketika kapal tersebut tiba kembali di pelabuhan Salem pada tanggal 16 Juli 1831. Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dan Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831.

Silsbee meminta agar Pemerintah Amerika menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh penduduk Kuala Batu terhadap kapal Friendship. Ia juga menyampaikan petisi yang ditandatangani oleh seluruh pedagang Salem kepada Pemerintah Amerika Serikat. Isinya, meminta agar dikirimkan kapal perang ke perairan Aceh untuk menuntut ganti rugi dan penguasa yang bertanggung jawab atas Kota Pelabuhan Kuala Batu.

Di samping itu, salah seorang pemilik kapal Friendship yang lain. Robert Stones, bersarna dengan Andrew Dunlop dan salah seorang sahabatnya yang dekat dengan Presiden Jackson, meminta kepada Menteri Angkatan Laut, Levy Woodbury, agar mendesak Presiden Jackson mengirim kapal perang ke Kuala Batu. Silsbee sendiri secara pribadi menulis surat kepada Woodbury, menggambarkan betapa besar keresahan yang ditimbulkan oleh peristiwa Kuala Batu di kalangan pedagang-pedagang Salem.

Pemerintah Amerika sebelum menerima imbauan dari Senator Silsbee telah memutuskan akan mengambil tindakan terhadap pelanggaran atas kapal Friendship di Kuala Baru itu. Setelah membaca peristiwa itu dalam surat-surat kabar, Woodbury segera memerintahkan agar disiapkan segala keperluan untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran tersebut.

Sebelum menerima surat dan Silsbee, dia telab mengadakan konsultasi dengan Presiden Jackson pada tanggal 21 Juli 1831. Tujuannya, mendapatkan persetujuan Presiden atas surat yang akan dikirim kepada Silsbee. Isi surat ini meminta informasi mengenai peristiwa Kuala Batu. Selain itu, juga dalam rangka memberi tahu Presiden bahwa dia sedang mempersiapkan eskader Pasifik untuk melaksanakan suatu tugas di Sumatra.

Ketika Presiden Jackson menerima imbauan Silsbee, tanpa ragu-ragu segera mendukung dengan membubuhi disposisi singkat dalam surat tersebut, isinya, meminta agar kasus Kuala Batu menjadi perhatian, serta kalau diangap perlu pemerintah Amerika melalui Menteri Angkatan Laut harus mengeluarkan surat perintah kepada Kapten kapal Potomac.

Potomac merupakan kapal perang terbaik dalam armada Amerika Serikat waktu itu. Ketika kasus Kuala Batu jadi pembicaraan di Amerika, kapal tersebut sedang dalam persiapan membawa Menteri Luar Negeri Amerika Van Buren ke Inggris. Akan tetapi atas perintah Presiden Jackson kapal itu dialihtugaskan untuk berangkat ke Aceh.

Pada tanggal 9 Agustus 1831, Komodor John Downes, selaku kapten Potomac diberi instruksi yang lengkap mengenai segala tindakan yang harus dilakukan sesampainya di Kuala Batu. Pertama-tama dia harus mencari informasi lebih dahulu mengenai insiden di Kuala Batu.

Apabila informasi yang diperoleh sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh kapten kapal Friendship di Washington maka dia harus menuntut ganti rugi atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh terhadap kapal Friendship. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, dia harus menangkap pelaku-pelaku kejahatan tersebut dan inembawa mereka ke Amerika Serikat untuk diadili sebagai bajak laut.

Perintah lainnya, benteng-benteng di Kuala Batu harus dimusnahkan. Sebaliknya, bila informasi yang diperoleh di Kuala Batu berbeda dengan keterangan Kapten Kapal Friendship, maka Amerika hanya meminta ganti rugi serta menghukum pelakunya.

Pada 29 Agustus 1831, kapal Potomac berangka dari New York ke Aceh dengan membawa 260 marinir. Sebelum sampai di Kuala Batu Komodor John Downes kapten kapal tersebut melakukan penyimpangan terhadap instruksi Menteri Angkatan Laut Amerika yang diterimanya.

Ia terpengaruh dengan cerita yang didengarnya dan kapten kapal Friendship, Endicot, dan orang-orang Inggris yang dijumpainya di Tanjung Harapan dalam pelayarannya ke Kuala Batu, yaitu bahwa harapan untuk mendapat ganti rugi dan penguasa Kuala Batu tidak mungkin terpenuhi.

Ia mengirim Letnan Marinir Shubrick untuk mengamat-amati keadaan di darat, tapi penduduk Kuala Batu tidak terkecob oleh penyamaran yang dilakukan Downes. Mereka lalu berkumpul di pantai untuk menghadapi sesuatu kemungkinan. Mendengar laporan yang demikian dan Shubrick, Downes memerintahkan untuk mendarat dengan kekuatan seluruh anak buah Potomac dan mengepung benteng-benteng yang berada di pantai Kuala Batu serta menangkap pemimpin-pemimpinnya.

Subuh 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick mendarat di Kuala Batu dan mengepung benteng-benteng yang ada di sana. Namun, karena ada perlawanan maka marinir Amerika membunuh semua yang berada di dalam benteng-benteng, termasuk wanita dan anak-anak serta merampas segala sesuaru yang berharga.

Setelah melakukan pembunuhan itu, mariner Amerika mengundurkan diri dengan dua orang diantara mereka tewas dan sembilan luka-luka. Downes kemudian memerintahkan menembaki kota pelahuhan Kuala Batu melalui meriam-meriam dari kapal Potomac. Seketika Pelabuhan Kuala batu pun jadi abu.

Tindakan Downes itu dikecam oleh sebagian politikus Amerika, diantaranta George Bencroft, yang pada waktu penembakan Kuala Batu berada di atas kapal Potomac. Sebagian harian Amerika yang terbit di Washington, seperti harian dagang yang sangat berpengaruh, Nile’s Weekly Register, kuga mengecam tindakan tersebut.

Pada tanggal 23 Juli 1832 seorang anggota DPR Amerika, Henry A.S. Dearborn dan Partai Republik Massachusetts yang beroposisi, mengajukan sebuah mosi yang meminta agar Presiden Jackson menyampaikan kepada Kongres mengenai Instruksi Downes untuk menggempur Kuala Batu, dan laporan tentang peristiwa tersebut. Mosi ini diterima oleh sidang. Pada hari itu juga, Presiden Jackson memenuhi permintaan kongres, tetapi minta agar hal tersebut jangan dipublikasikan sebelum laporan lebih lanjut diterima.

Dalam sidang Sabtu malam, tanggal 24 Juli 1832, permintaan Presiden itu diperdebatkan. Anggota Dearborn berpendapat bahwa hal tersebut harus dipublikasikan karena bila menutup-nutupi peristiwa tersebut, Downes akan mendapatkan sorotan jelek dari khalayak ramai. Sebaliknya, Ketua Komisi Urusan Angkatan Laut, Michael Hoffman dan Partai Dernokrat New York, menentang pendapat Dearborn dengan suatu amandemen bahwa peristiwa tersebut dapat dipublikasikan, tetapi harus menunggu laporan lebih lanjut.

Dalam amanat tahunannya, Presiden Jackson tidak menyinggung sama sekali peristiwa penggempuran Kuala Batu oleh Potomac yang dipimpin Downes. “Hal mi menunjukkan bahwa peristiwa pembakaran Kuala Batu dan pernbantaian penduduknya oleh marinir Amerika telah dipeti-es'kan (dibekukan),” tulis M Nur El Ibrahimy

Oleh iskandarnorman.multiply.com