Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh merupakan alat musit khas tradisional Aceh yang mampu mengalunkan instrumen-instrumen luar biasa yang mengiringi lagu-lagu nan syahdu maupun heroik yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh sejak zaman Kerajaan-Kerajaan Aceh sampai sekarang.
Alat musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan di masa raja diraja zaman keemasan kerajaan Aceh Darussalam.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Serune Kalee merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Aceh. Alat musik ini merupakan salah satu jenis serunai atau clarinet yang tersebar dalam masyarakat Melayu.
1. Asal-usul
Kata Serune Kalee menunjuk pada dua hal yang berbeda. Kata yang pertama, Serune menunjuk pada alat tiup tradisional Aceh yang sering dimainkan bersama rapai. Sedangkan Kalee adalah sebutan sebuah nama desa di Laweung, Kabupaten Pidie. Sehingga, Serune Kalee mempunyai arti serunai dari Kalee. Pemberian nama tersebut mungkin dikaitkan dengan pembuatan atau pemunculannya.
Peralatan musik ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran perlengkapan ini mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat dengan sebutan serupa (Firdaus Burhan, ed. 1986: 81). Masing-masing daerah yang menggunakan musik jenis ini memberi berbagai macam variasi pada peralatan tersebut, sehingga bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune, terdapat kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras nada, vibrasi, volume suara, dinamika suaranya.
Peralatan ini berbentuk memanjang bulat lurus dan bulat. Bagian atas peralatan ini berbentuk kecil, kemudian membesar hingga di ujung bagian bawah. Pada tubuhnya terdapat lubang-lubang untuk jari dengan ukuran yang cukup besar. Bagian paling bawah peralatan ini membesar seperti kelopak teratai. Untuk membawa peralatan ini cukup dimasukkan ke dalam kantong yang diberi pengikat pada tampuk kain, kemudian disandang di bahu.
Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh. Ada sebagian yang mengatakan peralatan ini berasal dari Tiongkok (Z. H. Idris, 1993: 48-49). Terlepas dari asumsi tersebut, pada kenyataannya memang Aceh pada zaman dahulu merupakan kerajaan yang terbuka. Hal tersebut menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah di luar negeri. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh mempunyai posisi penting. Pada masa ini kebudayaan di Aceh juga berkembang dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang kental.
Saat ini peralatan Serune Kalee masih memegang peranan penting dalam berbagai pertunjukan kesenian, dalam berbagai upacara, serta acara-acara yang lain. Permainan musik Serune Kalee menjadi hiburan bagi masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang.
2. Lintasan Sejarah Serunee Kalee
Abad VII M Islam sudah berkembang di Aceh, seorang ulama dari Persi, Syech Abdullah membawa alat musik yaitu “Serunee Kalee” untuk mengajak para masyarakat belajar ilmu agama islam.
Selanjutnya pada abad X seorang ulama besar : Syech Abdul Kadir Zaelani dari Arab / Iraq ke Aceh untuk mendampingi “Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam” yang bernama Mahdum Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan ilmu pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni Rapa’I dan Debus asal Persia.
Serunee Kalee berkembang menjadi alat untuk penyambutan dan memuliakan tamu kenegaraan yang datang ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Serunee Kalee masih digunakan dalam acara adat-adat pernikahan, penyambutan tamu dan berkesenian di tengah masyarakat Aceh hingga saat ini.
Maestro Serunee Kalee yang selamat dari bencana tsunami Desember 2004 adalah : Ismail Sarong, Pimpinan Sanggar Putroe Ijoe Gampoung Pandee Banda Aceh.
Beliau seorang putra Aceh yang sudah melanglang buana ke manca negara untuk memperkenalkan Serunee Kale dan Seni Budaya Aceh
3. Fungsi Serune Kalee
Serune Kalee sebagai alat primer, berperan membawa lagu yang lebih cenderung instrumentalia. Serune Kalee dimainkan dengan alunan suara yang terus-menerus dan tidak putus-putus. Suara tersebut dihasilkan dari teknik meniup dengan mengambil napas dari mulut dan hidung serta leher. Dengan suara Serune Kalee yang tajam musik akan terdengar dinamik, terkesan heroik, dan mendatangkan semangat. Gaya musikal Serune Kalee yang khas tidak akan terganggu atau mengganggu suara lain pada waktu ikut mengiringi alat tabuh semisal rapai (Z. H. Idris, 1993: 53).
Selain digelar dalam berbagai pertunjukan atau sebagai pelengkap alat musik yang lain, alat musik tradisional ini juga berperan sebagai penunjang dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang berhubungan antarmanusia. Misalnya, upacara perkawinan, melepaskan nazar, penyambutan tamu, peresmian proyek, dan sebagainya (Z. H. Idris, 1993: 54).
Saat ini peran Serune Kalee bukan hanya berhubungan dengan dakwah Islam, namun juga dalam berbagai kegiatan yang lain secara umum. Jenis alat musik serupa Serune Kalee juga banyak tersebar di berbagai daerah, bahkan hingga ke mancanegara.
4. Bentuk Serune Kalee
Wujud dan bentuk peralatan ini seperti pentungan, bulat, dan lurus mulai dari batas atas (mondstuk) hingga ke bagian bawah (bell). Bagian atas peralatan ini kecil dan membesar di bagian bawahnya. Di bagian badan atau tubuh terdapat lubang-lubang sebagai tempat memainkan nada yang diinginkan. Peralatan ini mempunyai warna dasar hitam, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlalu banyak dipegang atau memang warna dasar kayu yang dibuat untuk peralatan ini berwarna hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh..
Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Serune kalee yang terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.Serune kalee ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Alat musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan di masa raja diraja zaman keemasan kerajaan Aceh Darussalam.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Serune Kalee merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Aceh. Alat musik ini merupakan salah satu jenis serunai atau clarinet yang tersebar dalam masyarakat Melayu.
1. Asal-usul
Kata Serune Kalee menunjuk pada dua hal yang berbeda. Kata yang pertama, Serune menunjuk pada alat tiup tradisional Aceh yang sering dimainkan bersama rapai. Sedangkan Kalee adalah sebutan sebuah nama desa di Laweung, Kabupaten Pidie. Sehingga, Serune Kalee mempunyai arti serunai dari Kalee. Pemberian nama tersebut mungkin dikaitkan dengan pembuatan atau pemunculannya.
Peralatan musik ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran perlengkapan ini mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat dengan sebutan serupa (Firdaus Burhan, ed. 1986: 81). Masing-masing daerah yang menggunakan musik jenis ini memberi berbagai macam variasi pada peralatan tersebut, sehingga bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune, terdapat kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras nada, vibrasi, volume suara, dinamika suaranya.
Peralatan ini berbentuk memanjang bulat lurus dan bulat. Bagian atas peralatan ini berbentuk kecil, kemudian membesar hingga di ujung bagian bawah. Pada tubuhnya terdapat lubang-lubang untuk jari dengan ukuran yang cukup besar. Bagian paling bawah peralatan ini membesar seperti kelopak teratai. Untuk membawa peralatan ini cukup dimasukkan ke dalam kantong yang diberi pengikat pada tampuk kain, kemudian disandang di bahu.
Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh. Ada sebagian yang mengatakan peralatan ini berasal dari Tiongkok (Z. H. Idris, 1993: 48-49). Terlepas dari asumsi tersebut, pada kenyataannya memang Aceh pada zaman dahulu merupakan kerajaan yang terbuka. Hal tersebut menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah di luar negeri. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh mempunyai posisi penting. Pada masa ini kebudayaan di Aceh juga berkembang dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang kental.
Saat ini peralatan Serune Kalee masih memegang peranan penting dalam berbagai pertunjukan kesenian, dalam berbagai upacara, serta acara-acara yang lain. Permainan musik Serune Kalee menjadi hiburan bagi masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang.
2. Lintasan Sejarah Serunee Kalee
Abad VII M Islam sudah berkembang di Aceh, seorang ulama dari Persi, Syech Abdullah membawa alat musik yaitu “Serunee Kalee” untuk mengajak para masyarakat belajar ilmu agama islam.
Selanjutnya pada abad X seorang ulama besar : Syech Abdul Kadir Zaelani dari Arab / Iraq ke Aceh untuk mendampingi “Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam” yang bernama Mahdum Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan ilmu pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni Rapa’I dan Debus asal Persia.
Serunee Kalee berkembang menjadi alat untuk penyambutan dan memuliakan tamu kenegaraan yang datang ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Serunee Kalee masih digunakan dalam acara adat-adat pernikahan, penyambutan tamu dan berkesenian di tengah masyarakat Aceh hingga saat ini.
Maestro Serunee Kalee yang selamat dari bencana tsunami Desember 2004 adalah : Ismail Sarong, Pimpinan Sanggar Putroe Ijoe Gampoung Pandee Banda Aceh.
Beliau seorang putra Aceh yang sudah melanglang buana ke manca negara untuk memperkenalkan Serunee Kale dan Seni Budaya Aceh
3. Fungsi Serune Kalee
Serune Kalee sebagai alat primer, berperan membawa lagu yang lebih cenderung instrumentalia. Serune Kalee dimainkan dengan alunan suara yang terus-menerus dan tidak putus-putus. Suara tersebut dihasilkan dari teknik meniup dengan mengambil napas dari mulut dan hidung serta leher. Dengan suara Serune Kalee yang tajam musik akan terdengar dinamik, terkesan heroik, dan mendatangkan semangat. Gaya musikal Serune Kalee yang khas tidak akan terganggu atau mengganggu suara lain pada waktu ikut mengiringi alat tabuh semisal rapai (Z. H. Idris, 1993: 53).
Selain digelar dalam berbagai pertunjukan atau sebagai pelengkap alat musik yang lain, alat musik tradisional ini juga berperan sebagai penunjang dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang berhubungan antarmanusia. Misalnya, upacara perkawinan, melepaskan nazar, penyambutan tamu, peresmian proyek, dan sebagainya (Z. H. Idris, 1993: 54).
Saat ini peran Serune Kalee bukan hanya berhubungan dengan dakwah Islam, namun juga dalam berbagai kegiatan yang lain secara umum. Jenis alat musik serupa Serune Kalee juga banyak tersebar di berbagai daerah, bahkan hingga ke mancanegara.
4. Bentuk Serune Kalee
Wujud dan bentuk peralatan ini seperti pentungan, bulat, dan lurus mulai dari batas atas (mondstuk) hingga ke bagian bawah (bell). Bagian atas peralatan ini kecil dan membesar di bagian bawahnya. Di bagian badan atau tubuh terdapat lubang-lubang sebagai tempat memainkan nada yang diinginkan. Peralatan ini mempunyai warna dasar hitam, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlalu banyak dipegang atau memang warna dasar kayu yang dibuat untuk peralatan ini berwarna hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh..
Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Serune kalee yang terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.Serune kalee ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Bentuk dan bagian-bagian Serune Kalee
Sumber: Z. H. Idris, 1993. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian, Pengkajian,
dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, p. 58.
Sumber: Z. H. Idris, 1993. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian, Pengkajian,
dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, p. 58.
Corak suara yang dihasilkan oleh peralatan ini adalah suara yang sengau (bindeng), serak (roco), tajam, dinamis, dan mendatangkan semangat ketika mendengarnya. Suara alat ini bisa terdengar hingga jauh tanpa menggunakan pengeras suara. Mungkin kerasnya suara yang dihasilkan oleh peralatan dikarenakan bahan baku pembuat Serune yang tua, keras, dan ringan (Z. H. Idris, 1993: 51).
Pada peralatan ini tidak ada ornamen atau hiasan yang mencolok. Hanya berupa ukiran pada badan Serune Kalee. Ukiran ini tergurat dalam bentuk lurus mengelilingi badan Serune Kalee agar Serune Kalee tampak indah dan terkesan canggih. Pada bagian atas dekat mondstuck terdapat sebuah ring yang berfungsi sebagai pengaman agar peralatan ini tidak mudah retak. Selain itu, ring juga difungsikan sebagai hiasan. Bagian bell kadang dilapisi dengan plat perak yang diberi sedikit ukiran. Tidak ada makna secara simbolis untuk ukiran ini. Bila peralatan ini kita balik dengan bagian atas berada di bawah akan terlihat seperti sebuah pentungan atau pemukul beduk.
5. Cara Pembuatan
Bahan utama untuk membuat Serune adalah kayu yang kuat dan keras, namun ringan. Batang kayu yang akan dibuat Serune direndam terlebih dahulu selama tiga bulan. Kemudian ditarah sehingga yang tersisa adalah hati kayunya saja. Setelah itu kayu dibor dan dibubut mulai dari atas hingga ke bawah, sehingga membentuk lubang yang panjang lurus dengan garis tengah 2 cm. Selain membuat lubang pada kayu juga memerlukan bantuan korekan dengan pisau panjang dan perataan lubang dengan besi panas. Kemudian membuat lubang sebanyak tujuh buah, enam yang berada di atas atau bagian muka dan digunakan untuk interval nada, dan satu lagi berada di bawah yang tidak mempunyai utama. Meski tidak mempunyai fungsi utama ketika alat musik ini dimainkan, bila lubang bawah ini tidak ada, semua nada akan berubah dan alat musik ini sulit dibunyikan.
Ratt dibuat dari daun lontar. Daun lontar untuk membuat bagian ini adalah daun lontar yang baik dan tidak terlalu tebal. Setiap ritt terdiri dari dua helai daun lontar. Ritt tersebut dihubungkan dengan lipai yang kemudian disambung dengan badan Serune Kalee. Pada bagian ujung tempat meniup Serune Kalee terdapat penahan bibir yang disebut “perise” sebagai penahan bibir pada waktu meniup. Bentuknya agak cembung ke depan menyesuaikan dengan bentuk bibir sehingga angin yang dihembuskan melalui bibir tidak akan keluar. Bahan untuk membuatnya adalah tempurung kelapa. Bagian ini juga diukir berbagai bentuk ornamen dengan ukuran panjang 6-8 cm dan lebar bagian tengah sekitar 4 cm.
Proses pembuatan Serunee Kalee tidak didahului dengan upacara sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Aceh. Pembuatan alat musik ini juga tidak melibatkan kekuatan gaib atau sihir. Saat ini, pembuat atau pengrajin alat musik tiup tradisional ini tinggal beberapa orang. Selain hanya beberapa orang yang tersisa, jarang ada pemesanan pembuatan Serune Kalee.
6.Cara Memainkan Serune Kalee
Alat musik tradisional ini ditiup dengan posisi vertikal. Pemain alat ini dapat meniupnya sambil berdiri, duduk bersila di atas tikar, atau dapat juga dengan duduk di atas kursi. Dalam acara pertunjukan atau acara resmi, pemain Serune Kalee mengenakan pakaian adat. Seorang yang menjadi peniup Serune Kalee disyaratkan mempunyai gigi yang utuh dan pernapasan yang kuat, karena harus melakukan pengambilan dan penyimpanan napas secara kontinyu (Z. H. Idris, 1993: 54).
Sementara itu, jari-jari kedua belah tangan berfungsi sebagai pengatur nada dengan membuka dan menutup lubang nada. Jari tangan inilah yang akan mengatur tinggi dan rendahnya nada. Komposisi pemain biasanya terdiri dari tiga orang, yaitu 1 orang peniup Serune Kalee, 1 orang penabuh gendrang, seorang yang lain memainkan rapai. Tekanan melodi biasanya jatuh pada ketok irama terakhir.
Permainan musik Serune Kalee biasanya bertempo 2/4 atau 4/4 yang dapat dimainkan dalam irama andante, moderato, dan allegro. Formasi ideal dalam pertunjukan Serune Kalee adalah 1 buah Bulon Perindu, 8 rapai, 2 genderang, 4 rapai pase. Kadangkala peralatan musik ini digabungkan dengan berbagai jenis peralatan musik yang lain, seperti drum, gitar elektrik, bas, clarinet, dan lain-lain.
7. Nilai-nilai
Serune Kalee merupakan peralatan musik yang banyak digunakan masyarakat Aceh. Peralatan musik ini mengandung nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyararakat Aceh. Nilai-nilai tersebut adalah:
• Nilai budaya
Peralatan musik ini merupakan satu satu bagian dari kebudayaan masyarakat Aceh. Pertunjukan dan pengembangan peralatan musik ini merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya. Selain itu, bentuk-bentuk pelestarian itu merupakan bentuk pengembangan kebudayaan lokal untuk dikenal oleh masyarakat secara luas. Hingga saat ini peralatan Serune Kalee masih digunakan, baik dalam berbagai pertunjukan yang bersifat seremonial perayaan maupun upacara adat.
• Nilai seni
Serune Kalee mengandung nilai seni yang tinggi. Peralatan ini dibuat dari bahan dan peralatan yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal penduduk. Suara khas yang dihasilkan oleh Serune Kalee juga menjadi tanda bahwa peralatan ini mengandung keindahan tertentu. Serune Kalee merupakan peralatan yang cukup fleksibel, artinya dapat digabungkan dengan peralatan lain pada waktu digunakan. Kekhasan nada dan suara yang muncul dari peralatan ini, membuat musik yang dihasilkan ketika alat ini dipadukan dengan alat lain menjadi lebih dinamis.
• Nilai tradisi
Masyarakat Melayu terkenal dengan kekayaan tradisinya. Salah satu tradisi tersebut adalah pertunjukan musik Serune Kalee, baik yang dimainkan secara tunggal maupun dipadukan dengan peralatan lain. Lebih dari itu, Serune Kalee sebenarnya hanya merupakan salah satu varian dari alat serunai yang banyak tersebar dan menjadi peralatan musik masyarakat Melayu di berbagai daerah. Pertunjukan Serune Kalee dalam berbagai perhelatan merupakan salah satu wujud pelestarian tradisi yang ada di dalam masyarakat Melayu.
• Nilai kearifan lokal
Setiap masyarakat, setiap daerah mempunyai pandangan sendiri-sendiri baik mengenai, diri, orang lain, sejarah, dan kebudayaan mereka. Terdapat kearifan tertentu dalam setiap tradisi dan budaya yang senantiasa dihidupi oleh masyarakat tersebut. Tidak berbeda halnya dengan peralatan Serune Kalee.
8. Penutup
Serune Kalee merupakan salah satu peralatan musik tradisional masyarakat Aceh yang hingga saat ini masih dipelihara dalam berbagai pertunjukan. Hal ini dapat menjadi salah satu tolok ukur bahwa sebagian kebudayaan dan tradisi masih terpelihara dengan baik di masyarakat Aceh. Hal ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lain dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dan tradisi merreka.
(Mujibur Rohman/bdy/13/11-2010)
Sumber foto: Firdaus Burhan, ed. 1986. Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, p. 82.
Referensi
Firdaus Burhan, ed. 1986. Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Z. H. Idris, 1993. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.