Melacak Jejak Nilai Demokrasi Dalam Islam

Melacak Jejak Nilai Demokrasi Dalam Islam
Oleh : Farhan Kurniawan*
Islam dan Demokrasi

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) dan “kratos” (kekuasaan). Aristoteles dalam bukunya “Organon” bab “Retorika” ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai “jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan”.

Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah).
Sedang dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir.

Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad XX.

Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.

Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.

Sikap bebas dan demokratis merupakan ciri kehidupan yang hilang dari tengan-tengah sebagian besar ummat Islam pada saat ini, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.

Nabi Muhammad (Saw.) dan Sikap Demokratis.

Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya, Nabi Muhammad (Saw.) merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Sikap demokratis Nabi Muhammad (Saw.) ini barangkali merupakan sikap demokratis pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan, dan non-egaliter.

Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (Saw.) merupakan seorang demokrat adalah:
Ketika Nabi Muhammad (Saw.) diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan beliau sebagai tekhnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Pernyataan setia ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai “Bai’at Aqabah I & II”. Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk “pernyataan setia” atau bai’at.

Berdasarkan prinsip ini maka ajaran Islam menolak kudeta atau merebut kekuasaan secara inkonstitusional, karena kudeta merupakan bentuk pernyataan sepihak sebagai penguasa. Sedangkan legitimasi kekuasaan harus diperoleh dari rakyat secara sukarela tanpa ada paksaan apapun.

Setelah Nabi Muhammad (Saw.) bermigrasi ke Madinah, beliau mengangkat budak kulit hitam Ethiopia yang bernama Bilal menjadi pengumandang panggilan shalat (azan). Posisi ini merupakan sebuah kedudukan prestisius bagi seorang budak kulit hitam dalam belantara kabilah-kabilah Arab yang terhormat.

Ketika beliau membentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu negara Madinah yang multi agama. Beliau tidak menggunakan Al Quran sebagai konstitusi negara Madinah. Karena Al Quran hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya, yaitu kaum muslimin. Beliau menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi negara Madinah. Pada masa negara Madinah ini pula beliau mengenalkan konsep “bangsa” (al ummah) sebagai satu kesatuan warga negara Madinah tanpa membedakan asal-usul suku.

Nabi Muhammad (Saw.) mendirikan negara Madinah ini berdasarkan kontrak sosial (al ‘aqd al ijtima’i) antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Kristen, dan kaum Arab pagan yang berdiam di Madinah. Piagam Madinah berisi prinsip-prinsip interaksi yang baik antarpemeluk agama; saling membantu menghadapi musuh yang menyerang negara Madinah, menegakkan keadilan dan membela orang yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.
Sewaktu Perang Badar, perang pertama kali dalam sejarah Islam antara kaum muslimin dengan orang-orang Arab pagan, Nabi Muhammad (Saw.) menanggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat sahabatnya dalam menyusun strategi perang yang jitu.

Perjalanan Demokrasi dalam Masyarakat Islam Pasca Nabi Muhammad (Saw.).

Sepeninggal Nabi Muhammad (Saw.) nilai-nilai demokratis yang beliau ajarkan mulai pudar. Hal ini terjadi akibat pertentangan dan persaingan kekuasaan yang menghebat.

Pada peralihan kekuasaan setelah wafatnya beliau ke tangan penggantinya Abu Bakar proses demokrasi dapat berjalan baik meski agak alot. Karena setiap kabilah Arab merasa berhak memegang tampuk kepemimpinan. Di balai pertemuan Bani Saadah di Madinah, Abu Bakar terpilih dengan dukungan mayoritas melalui bai’at atas kepemimpinannya.

Berdasarkan pengalaman peralihan kekuasaan pada masanya yang alot, maka Abu Bakar menunjuk penggantinya secara langsung sebelum ia wafat untuk memegang tampuk khalifah.

Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab. Takut terjadi kericuhan dan kealotan dalam peralihan kekuasaan selanjutnya, Umar menunjuk enam orang untuk bermusyawarah menetapkan penggantinya. Pergantian kekuasaan setelah Umar berjalan lancar, dan terpilihlah Utsman bin Affan, meski ada rasa ketidakpuasan di antara orang-orang yang ditunjuk hingga menimbulkan friksi-friksi tajam.

Setelah Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi semakin berdarah-darah. Pemilihan penggantinya Ali bin Abi Talib jauh dari tata cara yang sempurna.
Pada masa ini, sikap politik ummat Islam terbagi menjadi empat. Dua kekuatan besar menjadi mainstream yaitu: pendukung Ali dan pendukung khalifah terbunuh Utsman bin Affan yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pandangan politik pendukung Ali selanjutnya terlembaga menjadi sebuah ideologi dan sekte agama, yaitu Syi’ah.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang anti kelompok pertama dan kedua, kelompok ini menamakan diri Khawarij. Khawarij berusaha melakukan pembunuhan politik terhadap tokoh-tokoh kelompok pertama dan kedua, karena beranggapan bahwa mereka adalah biang keladi perpecahan ummat. Selanjutnya kelompok keempat adalah orang-orang yang tidak mengambil peran dalam konflik politik ini. Mereka menghindar sambil menyerahkan permasalahan ini kepada Allah untuk diselesaikan pada Hari Pembalasan, kelompok ini bernama Murji’ah.

Munculnya empat golongan ini terjadi pada akhir masa kekuasaan para sahabat dekat Nabi Muhammad (Saw.). Dalam sejarah Islam pemerintahan empat sahabat dekat beliau merupakan rujukan kedua, sebagai bentuk pemerintahan ideal pasca pemerintahan Nabi Muhammad (Saw.).

Hilangnya Sikap Demokratis dari Masyarakat Islam.

Kebebasan dan sikap demokratis mulai hilang dalam Islam seiring dengan berakhirnya kekuasaan khalifah keempat, Ali bin Abi Talib.

Setelah Ali terbunuh, pengikutnya membai’at anaknya Al Hasan bin Ali sebagai khalifah. Al Hasan bukanlah seorang kuat disamping ia selalu menghindar dari konfrontasi politik. Dengan alasan demi persatuan ummat Islam, maka ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, lawan politik Ali yang juga keluarga dekat Utsman.

Ketika Muawiyah berkuasa inilah kebebasan dan sikap demokratis yang diajarkan Nabi Muhammad (Saw.) mulai terpasung. Dengan menggunakan jargon-jargon agama yang totalistik (al jabariyah) dan ketajaman pedang, Muawiyah berusaha memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat dan mempertahankannya. Muawiyah selalu mengatakan bahwa kekuasaannya merupakan kehendak Tuhan, karena itu tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya.

Pada masa Muawiyah pula terjadi pewarisan kekuasaan pertama dalam sejarah Islam. Muawiyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam dari demokrasi (pemerintahan yang dikelola bersama-sama dengan sistem syuro/musyawarah) menjadi monarkhi. Kekuasaan Muawiyah ini dikenal dengan “Dinasti Bani Umaiyah”, dan ia memindahkan ibukota Islam dari Kufah di Irak ke Damaskus, Syiria.

Pada masa Muawiyah dan keturunannya penindasan kejam terhadap kelompok oposisi dimulai, khususnya terhadap para pendukung keluarga Ali. Tindakan represif Bani Umaiyah ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam sebelumnya.

Ketika Dinasti Umaiyah runtuh dan digantikan dengan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, balas dendam politik terhadap para pembantai keluarga Ali tak terelakkan. Begitulah seterusnya, setiap penguasa muslim menggunakan agama untuk mengekalkan kekuasaannya dan membuang jauh-jauh kehendak rakyat. Dan hampir setiap pergantian kekuasaan selalu disertai pertumpahan darah.

Penguasa Mamalik di Mesir bahkan menggunakan militer untuk memisahkan kekuasaan dengan rakyat, sehingga rakyat tidak dapat berhubungan langsung dengan penguasa. Politik Mamalik ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde baru di Indonesia, menggunakan militer untuk melindungi kekuasaan dan menyekat kekuasaan dari rakyat. Begitu pula pada jaman Ottoman, institusi khilafah yang agung dan demokratis hanya berupa nama. Para khalifah Ottoman merupakan raja-raja yang tidak memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat.

Semenjak jaman Muawiyah ummat Islam tidak pernah menikmati kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan nyata. Kebebasan dan demokrasi hanya ada dalam teks-teks suci. Para penguasa muslim yang despotis berkuasa tanpa legitimasi rakyat dan selalu memerangi kehendak mereka.

Dalam suasana despotis dan penuh ketakutan semacam ini maka teori-teori politik tidak pernah berkembang baik dalam Islam, akibat kondisi yang tidak mendukung. Oleh sebab itu kita tidak banyak menjumpai literatur Islam yang membahas tentang politik dan tata negara (fikih as siyasah), dibanding dengan buku-buku yang berbicara tentang ibadat (fikih al ibadah), konsep pembersihan hati (tasawuf), ilmu tauhid (ilmu kalam).

Sebab-Sebab Hilangnya Demokrasi dari Masyarakat Islam.

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab hilangnya kebebasan dan demokrasi dari masyarakat Islam.

Faktor pertama adalah kekejaman para penguasa muslim pada masa lalu. Sikap despotis ini telah membentuk sebuah masyarakat yang miskin tata negara. Karena para ilmuwan muslim tidak banyak menulis perihal sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan ideal, akibat kerasnya tekanan penguasa.

Faktor kedua adalah hilangnya sistem konstitusi sebagai tempat berpijak bagi kehidupan bernegara. Tradisi membangun konstitusi sebenarnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad (Saw.) tatkala membangun negara Madinah. Konstitusi negara Madinah bernama “Piagam Madinah” (Watsiqah Al Madinah) hingga kini masih dapat dijumpai dalam literatur Islam. Namun entah mengapa tradisi berkonstitusi pada praktek kenegaraan kaum muslimin selanjutnya hilang. Hilangnya tradisi konstitusi ini berdampak pada hilangnya demokrasi dan timbulnya pertumpahan darah yang runyam pada setiap kali peralihan kekuasaan.

Faktor ketiga adalah pengekangan kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi. Setiap penguasa Islam pada masa lalu (hingga saat ini) memilih mazhab atau aliran agama tertentu sebagai aliran resmi negara dengan menyingkirkan aliran-aliran lain. Sebagaimana pada beberapa kurun Dinasti Abbasiyah yang bermazhab Mu’tazilah (rasionalis). Pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir bermazhab Syi’ah. Begitu pula dengan kondisi negara-negara Islam moderen, seperti Kerajaan Arab Saudi dan Iran.

Pengekangan kebebasan ini pada satu sisi untuk memperoleh dukungan dan legimitasi dalam rangka memperkuat kekuasaan. Namun di sisi lain, keberpihakan ini merupakan pemberangusan kebebasan yang merupakan dasar demokrasi. Penerimaan ataupun penolakan sebuah aliran keagamaan dalam tradisi asli Islam bukanlah dengan menggunakan kekuasaan dan politik, melainkan melalui tradisi keilmuan dalam bentuk dialog, debat, dan retorika dengan dalil-dalil ilmiah yang meyakinkan.

Faktor terakhir adalah sikap beragama yang menyimpang di kalangan kaum muslimin. Sikap beragama yang menyimpang ini pada akhirnya menimbulkan ekstrimitas; ekstrim dalam berinteraksi dengan keduniaan dan esktrim tidak peduli dengan urusan keduniaan.

Sikap ekstrem pertama menumbuhkan despotisme jika berkuasa, dan sikap ekstrem kedua tidak peduli dunia. Kedua sikap ini kontraproduktif, karena Nabi Muhammad (Saw.) mengajarkan keseimbangan hidup antara urusan dunia dan akhirat. (FK).

——————————————————————————————————
* Mahasiswa fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar Kairo, jurusan Akidah & Filsafat.

Share this