Oleh. Marlisa Rahmi
“Kalau
ada makanan berlebih, jangan pelit untuk berbagi. Karena kita tidak
tahu mungkin kedepannya kita lah yang mengiba kasih pada orang lain.
Tapi jika makanan itu hanya cukup buatmu, ada baiknya kamu tidak
memakannya di tempat ramai, carilah tempat tersembunyi jadi tidak ada
yang akan mengatakan kamu pelit”
Setidaknya itulah sepotong kata Ibu yang sangat ku aplikasikan hidupku. Potongan kata terakhir yang paling membekas karena diucapkan kembali olehnya saat melepaskanku di pagar depan rumah. Aku yang akan pergi merantau, melengkapi serpihan mozaik hidupku, menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren kabupaten sebelah.
***
Malam itu genap seminggu aku nyantri di pondok pesantren ini. Sempat ada air mata di dua malam awal, tapi ya syukurlah setidaknya rasa gengsiku untuk menangis di depan teman-teman lebih besar dari rasa rindu ingin pulang ke kampung halaman. Ibu, aku tidak durhaka bukan?
Setiap hari kami punya aktivitas rutin yang wajib kami patuhi. Jika tidak, mungkin kalian tahu sendiri akibatnya. Aroma dari toilet umum yang tercium dari jarak seratus meter aku rasa cukup jadi alarm untuk kami tidak melanggar aturan di pondok pesantren ini. Ya, kami harus rela disekap dua jam disana untuk satu jenis kesalahan.
Dan seperti biasa setelah makan malam para santri dipersilakan mandiri, belajar atau apapun itu asalkan tetap di dalam kawasan pondok. Malam itu aku lebih memilih mencari pojok pondok yang yakinku hanya orang iseng yang mau menuju ke sana. Tempat jemuran para santri. Entah mengapa tiba-tiba terbersit secebis senyuman Ratna, gadis manis yang sering aku lewati rumahnya tiap pulang dari sekolah dasar dulu. Ah tidak lucu bukan jika aku harus membayangkan gadis itu di tengah gelak tawa teman-temanku di kamar?
Bulan yang begelayut manja di lengan sang awan seakan malu membiaskan sedikit cahayanya ke tubuhku yang berbaring di atas rumput. Mungkin dia malu melihat senyumku yang tak kunjung padam disebabkan oleh satu nama. Sang bintang pun demikian, enggan berkelip meski hanya sekejap mata. Ya terang saja, semua itu karena langit malam ini mendung.
Tapi di balik perihal senyuman Ratna, sebenarnya ada hal lain yang menyebabkan aku harus menyendiri malam ini. Ada dua buah salak medan yang cukup manis yang ku dapat dari Ustazd Jamil tadi sore. Bukankah kau masih ingat potongan pesan ibuku yang sudah ku sampaikan di awal, kawan? Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti dengan menuruti pesannya, tidak lebih. Tapi satu hal yang aku tahu, bahwa pelit itu wajar. Terlebih jika sesuatu itu sangat maknyus untuk disantap sendiri.
Sepuluh menit pertama semua baik-baik saja, namun di hitungan menit selanjutnya aku sedikit terkejut ketika ada derap langkah yang mendekati tempat ku berbaring. Aku bergerak memperbaiki posisiku, lebih spesifiknya menyembunyikan satu buah salak lagi yang belum sempat aku makan.
Gerakan langkah itu terhenti, persis segaris dengan kepalaku. Aku sedikit panik, dan lagi-lagi potongan kata-kata ibu yang kembali terngiang.
“..carilah tempat tersembunyi jadi tidak ada yang akan mengatakan kamu pelit”
Sigap aku melompat, ada jurang tepi sungai di belakang pondok pesantren kami. Aku turun dan bersembunyi di sana. Ibu, bukankah kali ini aku termasuk anak yang sangat berbakti padamu?
Sedikit ku ceritakan padamu kawan, pondok pesantren kami letaknya sangat strategis, yaitu di antara pertemuan dua buah sungai yang saling bersilangan.
“Maliing.. Maliiing.. Maliiing.. Panggil bagian keamanaaan.” Seseorang itu berteriak dengan gamblangnya memanggil pasukan santri, karena menyangka aku adalah maling yang tengah menyusupi pondok pesantren mereka. Kabar baiknya, kecepatan kakiku berlari mengalahi kecepatan suara si peneriak tersebut.
Lima menit berlalu, suasana kembali senyap, tidak ada lagi jejak langkah yang terdengar. Lembut semilir angin kemenangan menerpa wajahku. Perlahan aku keluar dari bunker persembunyian, merangkak pasti menuju ke atas.
''Itu malingnyaaa.. Itu malingnyaaa..''
Angin yang tadinya berhembus sepoi sekarang seakan berubah murka menjadi hembusan topan yang seolah menertawakan kebodohanku. Saat itu hanya ada dua hal yang terlintas di pikiranku. Potongan kata-kata ibu, dan aroma toilet.
“Dugg” Ada batu yang dilempar ke arahku. Syukurnya tidak kena, kasihan mereka.
Aku merasa nyawaku di ujung tanduk, tidak ada cara lain selain mengambil langkah seribu. Berlari terbirit-birit di sepanjang tepian sungai, tidak perduli pekatnya malam yang menjuntai ataupun ranjau di tanah yang bisa saja aku tersandung olehnya. Satu asaku, aku tidak boleh tertangkap.
Setelah ratusan meter berlari, aku merasa hembusan angin sepoi kembali berpihak kepadaku. Aku mencari jalan memutar dan dengan sangat hati-hati kembali memasuki kawasan pondok pesantren. Sedikit lega, karena ternyata aku masih mampu bertahan hidup. Aku berjalan perlahan dan menuju laboratorium komputer sekolahku, kebetulan aku salah seorang pengurus laboratorium tersebut, jadinya aku pikir di sanalah tempat yang paling aman untuk bersembunyi dan menenangkan diri. Terlebih ada satu buah salak lagi di saku bajuku, aku rasa ranumnya buah ini akan menjadi obat penenang paling ampuh malam itu. Ayolah, bukankah aku berlari mempertaruhkan nyaawa hanya untuk menyelamatkan sebuah salak di sakuku?
***
Akhirnya sang mentari menapaki diri juga melintasi cakrawala. Itu artinya aku bisa benar-benar bernafas lega sekarang. Kembali melakukan rutinitas seperti hari-hari biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Adalah sebuah rekayasa yang sempurna, kawan!
Istilah “bahkan dinding pun bisa berbicara” juga berlaku di pondok kami. Kabar tentang adanya maling yang semalam menyusup mulai tersebar luas. Bahkan para santri diperingatkan lebih keras untuk berwaspada.
“..Iya, kayanya maling semalam itu punya ilmu ninja. Larinya cepat banget kaya ninja terbang, masuk jurang dan menghilang dengan aneh di sana..”
Itu sepenggal percakapan antar seniorku yang sempat aku dengar, yang membuatku harus berlari menjauh mencari space kosong untuk melepaskan gelak tawa. Padahal Ibu, bukankah aku hanya menuruti nasihatmu?