Mari kita berbicara tetang hal yang sedikit pribadi, namun begitu
mendominasi alur kehidupan kita sehari-hari, Ego. Apa yang anda ketahui
tentang ego dan mengapa ia muncul ?. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi 2008, Ego berarti “Aku” atau “diri pribadi”, kemudian
egoisme didefinisikan sebagai teori yg berpendapat bahwa segala
perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk
menguntungkan diri sendiri. Ya, terlepas apapun penjabarannya dari
berbagai sudut pandang, namun kita akan melihat “Sang Ego” dari sudut
pandang yang berbeda, medis.
Ego, menurut teori Sigmund
Freud (Bapak Psikiatri Dunia), adalah salah satu perangkat dari tiga
instrumen mental yang paling primitif dalam alam bawah sadar kita, ia
terdiri dari Ego, Super Ego dan Id. Id adalah satu-satunya komponen
kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar
dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, Id
adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian
diterjemahkan sebagai sesuatu yang paling diinginkan oleh manusia dan
timbul secara instinctive (Murni naluriah dasar), seperti
hidup, mati, kebutuhan seksual, senang-senang dan lain-lain. Sedangkan
Super ego adalah kebalikan dari Id, ia bekerja sebagai pengontrol, atau
pikiran penyeimbang dari Id. Nah, Ego sendiri proses penentuan jiwa yang
keluar dari pikiran kita dari “pertarungan” Id dan Super Ego. Ehm,
Misalnya seperti ini Id berkata, “Aku pengen banget dapet istri cantik dan pintar”, kemudian super ego menjawab, “Hey bos…, Lu ngaca dulu mendingan, uda muka Lu jelek, miskin lagi”.
Ketika dua gejolak jiwa ini berbenturan, maka lahirlah EGO, ia yang
memutuskan harus seperti apa, memenangkan Id kah?, atau memilih Super
ego, atau bahkan memunculkan opsi lainnya, seperti kombinasi dari
keduanya atau ide yang sama sekali baru. Ego yang muncul kepermukaan,
menembus alam bawah sadar kita, itulah representasi jiwa kita terhadap
dunia luar.
Ego adalah ke”akuan” kita, jadi jika ada hal
yang mengahadangnya, maka beragam mekanisme pertahanan yang tercipta,
dari yang paling Narsis sampai yang dewasa. Misalnya, ketika ada tugas
kelompok perkuliahan, kita berusaha mengerjakannya, namun ada beberapa
orang yang tidak mengerjakan, akhirnya tugas pun tak terselesaikan
dengan sempurna, kita pun dikenai hukuman dari guru atau dosen yang
memberi tugas tersebut. Disitulah Ego kita keluar menganga. Jika
mekanisme pertahanan ego kita belum sepenuhnya dewasa, maka respon yang
mungkin keluar adalah, “Ini kan bukan salah gua, salahin dia donk,
kenapa kamaren ga ikut nimbrung, gua kan uda rela ngeprint, nulis ini
itu, pokoknya gua ga terima…!” atau jika mekanisme pertahanan ego kita dewasa, maka responnya mungkin seperti ini, “Ya uda, ga apa-apa, ga usah disesali, jadikan ini pelajaran lain kali kita lebih kompak ya…” atau dengan humor seperti, “Iya nih, tugas ga siap karena printernya ngambek, lain kali kita temenan dulu ama ntu printer.” Dan masih banyak lagi mekanisme pertahanan ego yang tercipta.
Ego
adalah gejolak jiwa, ia mempunyai narasi yang cukup mendalam dan sangat
tidak sederhana. Termasuk dalam hal cinta. Ketika kita mencintai suatu
hal,menurut teori psikososial, berarti kita telah memindahkan sebagian
atau mungkin keseluruhan ego kita terhadap hal tersebut. Jiwa kita hidup
didalamnya. Ehm, sederhananya seperti ini jika seorang Budi yang amat
mencintai Helm Putihnya, walaupun Helm tersebut tidak lebih menarik dari
Helm mahal milik Ari atau Helm hitam metalik milik Hendra, entah apapun
alasannya, yang jelas Budi amat mencintainya. Ia menjaga dan merawat
Helm tersebut seperti anaknya sendiri. Suatu ketika Helm tersebut
hilang, seseorang telah mencurinya, perasaan budi hancur berkeping
keping, dunia terasa hampa, butuh waktu yang lama untuk mengobati rasa
kecewa akibat kehilangan helm tercintanya. Jiwanya terenggut membersamai
kepergian sang Helm Putih tercinta. Tak terbayangkan jika Budi
mengetahui siapa pelaku pencurian Helm tersebut.
Atau
dengan kisah Anda dan kekasihnya, entah apapun alasannya, anda amat
mencintai sang pujaan hati. Bagaimana respon Anda ketika sang kekasih
meminta ini dan itu, walaupun Anda terkadang tak dapat memenuhi
permintaanya, namun setidaknya anda tidak ingin melukai perasaanya. Atau
bagaimanakah respon anda jika kekasih anda disakiti seseorang, secara
naluriah anda pasti merasakan perasaan yang sama, anda juga ikut
tersakiti, padahal ia (sang kekasih) mungkin baru berapa bulan anda
kenal, pastinya lebih mengenal Ibu Anda yang hidup bersama Anda selama
betahun-tahun, menyirami anda dengan cinta tanpa pamrihnya secara
terus-menerus.
Tapi begitulah cinta bekerja, ia
memindahkan sebagian diri kita, ego kita, kedalam sesuatu yang kita
cintai. Bayangkanlah kisah Anda tadi, apa jadinya bila sang kekasih mati
mendadak, dengan serta merta meninggalkan anda. Anda kehilangan separuh
jiwa anda yang hidup didalam raganya. Jadi janganlah merasa heran kalau
orang yang amat mencintai kekasihnya, kemudian putus cinta, lalu
menggalau, depresi berat, bahkan kemudian gila. Egonya melayang,
melambung entah kemana.
Itulah Ego dan Romantismenya, ia
bisa menyebabkan gangguan jiwa bila kita tidak dapat menemukan mekanisme
pertahanannya dengan baik. Jika Depresi didefenisikan (dalam teori
kedokteran jiwa) sebagai Lost of Loved Things, kehilangan
sesuatu yang dicinta. Maka alternatif untuk mencegahnya hanyalah dua.
Yang pertama tebarkan cintamu dimana-mana, pada keluarga, sahabat,
orang-orang terdekat, tempat-tempat istimewa, dan sebagainya, dengan
begitu kita akan membagi ego kita, jiwa kita, keberbagai ruang dan
waktu. Jika satu cinta hilang, maka masih banyak cinta lain yang bisa
menguatkan kita. Ego kita termanajemen dengan sempurna. Atau cara kedua,
dengan mencintai “sesuatu” yang tidak pernah meninggalkan anda sampai
kapanpun, tak pernah membuat anda kecewa, selalu ada dimanapun anda
berada, Tuhan.
Semoga bermanfaat, ^_^
Iqbal Amin, Bangsal dokter muda Kedoteran Jiwa, April 2012