Jarum jam masih menunjukan pukul 05:15 dini hari waktu Swedia. Namun, cahaya matahari sudah terlihat jelas. Maklum saja, seluruh Eropa masih dalam suasana musim panas. Di saat puncak musim panas ini, Senin 6 Agustus, penulis beserta dua warga Aceh lainnya di Swedia mampir disebuah rumah warga Aceh dekat pusat kota Nyköping, 85 Km arah Selatan Stockholm. Pagi itu, dua delegasi perwakilan warga Aceh berangkat ke Belanda untuk memenuhi undangan dari sebuah organisasi internasional yang menjadi payung bagi bangsa-bangsa yang tertindas di seantero dunia.
"Sebenarnya bagi Musafir seperti Anda boleh tidak berpuasa, namun jika masih mampu, silakan tetap berpuasa" ujar Iqbal Al Farisi sebagai pemilik rumah, saat mengantarkan kami ke bandar udara Skavsta Nyköping dengan menumpang Ryan Air menuju Den Haag. Layaknya Swedia, begitu menginjakan kaki di tanah Belanda, suasana kehidupan masyarakatnya sama saja. Lupakan suasana Puasa karena gaungnya memang tidak begitu bergema disini.
Di pekan ke 32 ini, selain 2 warga Aceh di Swedia, ternyata ditambah lagi seorang warga Aceh di Belanda berencana mengikuti program pelatihan advokasi HAM (Hak Azasi Manusia) yang diadakan oleh UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization). Progam ini pula bekerja sama dengan Netherlands Institute of International Relations, Den Haag, kota yang di Belanda dijuluki sebagai kota internasional untuk perdamaian dan keadilan.
UNPO adalah sebuah organisasi alternatif yang bertaraf internasional yang memberikan perhatian kepada rakyat dan bangsa-bangsa yang tidak terwakili dalam Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satunya membantu anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan mereka dengan cara-cara diplomasi dan tanpa kekerasan. Singkatnya, UNPO seperti PBB nya organisasi para pejuang kemerdekaan dibelahan dunia. Pelatihan lobi hubungan dengan NGO internasional secara percuma juga termasuk dalam bagian agenda yang diberikan kepada anggotanya.
"Semasa Tgk Hasan Tiro aktif dulu, bersama aktivis Timor-Timur, Papua dan Maluku, beliau selalu hadir dalam setiap acara UNPO di Den Haag, Belanda. Terkadang juga rapat dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss" terang Yusuf Daud, warga Aceh senior di Swedia. Menurut Yusuf, Wali nanggroe Tgk Hasan Tiro mendaftarkan ASNLF (Acheh Sumatra National Liberation Front) sebagai anggota UNPO pada awal 1992, setahun setelah organisasi tersebut didirikan. Tetapi setelah Tengku Hasan Tiro uzur, forum-forum internasional semisal UNPO dan Komisi Hak Asasi Manusia yang berpusat di Jenewa tidak pernah dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang telah mengambil alih kepemimpinan GAM waktu itu. Kini, setelah puluhan tahun pasif, jalan untuk menjadi keanggotan UNPO itu pun mulai dirintis kembali.
Melalui komunikasi email, keterangan yang diterima dari UNPO, pelatihan HAM yang bertemakan "SpeakOut! 2012" dirancang untuk menyatukan pemuda dan pemudi anggota UNPO dari berbagai bangsa yang berminat mendalami seluk beluk pengetahuan Hak Asasi Manusia. Fokus utamanya adalah memberikan pelatihan advokasi, mendalami fungsi dan mekanisme daripada cabang-cabang PBB dan membentuk jaringan lobi internasional masalah HAM. Sesuai jadwal program, pelatihan akan dilaksanakan selama 3 hari sejak Rabu hingga Jum’at 10 Agustus mendatang.
Menyadari kemudahan transportasi, warga Aceh di Eropa tidak pernah menyia-nyiakan setiap ada kesempatan untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman melalui keikutsertaan dalam berbagai even internasional. Sejak lahir kembali pada awal April lalu, momen-momen seperti ini selalu dimanfaatkan oleh para aktivis ASNLF di luar negeri. Yang lebih istimewa kali ini, "SpeakOut 2012" tahun ini ditujukan khusus kepada aktivis-aktivis yang masih muda di seluruh dunia.
Dari laman web asnlf.org, mereka menilai kalau perdamaian di Aceh tanpa keadilan dan pelaku kejahatan HAM dasyat kebal daripada hukum. "Kekerasan sudah menjadi satu bagian penting dari sejarah singkat Indonesia", tulis ASNLF sambil mengutip laporan NGO HAM Asia Watch, "secara sistematis telah melanggar hak asasi manusia yang fundamental selama lebih dari 20 tahun terus menerus tanpa adanya hukuman" demikian rilis ASNLF sebelumnya ketika menggambarkan perkembangan HAM Indonesia.