Kalau kita membaca apa saja syarat untuk menjadi mujtahid, pasti belum apa-apa kita sudah balik kanan grak duluan.
Sebab dari segi ilmu dan kemampuan, ternyata kelengkapan ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid itu jauh di atas para kualifikasi ahli tafsir dan ahli hadits.
Saya seringkali mendengar dari guru saya yang seorang doktor ilmu hadits berkata,"Kalau hadits ini saya jamin keshahihannya. Tapi bagaimana kesimpulan hukumnya, saya angkat tangan. Saya bukan mujtahid, bukan ahli hukum syariah".
Kalau dalam dunia kedokteran, kita kenal ada dokter umum dan dokter spesialis. Kalau sakit kita ringan, cukup ditangani oleh dokter umum. Tapi kalau sakit yang rada berat, misalnya gangguan penyakit dalam, maka dokter umum akan merekomendasikan pasien ke rumah sakit, biar ditangani oleh dokter yang lebih tinggi, yaitu dokter spesialis.
Tetapi dokter spesialis tidak mungkin bekerja sendirian. Untuk menangani masalah yang rada kompleks, kadang beberapa dokter spesialis dari berbagai jenis spesialisasi harus duduk bersama. Mereka harus bekerja-sama sebagai satu team yang kompak, agar satu sama lain bisa saling memberikan penjelasan. Biasanya team itu diketuai oleh seorang dokter yang jauh lebih senior lagi.
Dalam realitasnya, nyaris tidak ada dokter yang menguasai semua jenis spesialisasi, sehingga dia bisa bekerja sendirian dalam menangani masalah. Selalu ada team yang terdiri dari dokter ahli dan spesialis.
Kalau sampai ada dokter yang telalu genius dan menguasai semua detail spesialisasi, maka tentu saja kedudukannya pasti sangat tinggi di dalam dunia kedokteran. Bahkan boleh jadi termasuk sosok yang langka, yang belum tentu terlahir dalam periode sekian abad.
Nah, kalau perumpamaan itu kita terapkan dalam dunia ilmu fiqih dan syariah, para dokter umum itu adalah para ahli fiqih yang sudah jadi mujtahid, tetapi masih berada di dalam hirarki yang paling rendah.
Di atas para mujtahid level rendah itu, ada mujtahid yang juga spesialis di bidang tertentu. Dan di atasnya lagi, barulah ada mujtahid mutlak seperti Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Lalu posisi kita dimana?
Posisi kita bukan dokter spesialis, apalagi ketua team dokter. Bahkan posisi kita juga bukan dokter umum. Dan lebih parah lagi, kita pun bukan mahasiswa fakultas kedokteran. So, kita ini buta dengan ilmu kedokteran.
Posisi kita cuma sampai anak-anak lulus SMU yang ingin kuliah di kedokteran, tetapi kagak lulus tes masuk.
Hanya saja kebetulan kita berteman dengan orang yang jadi tetangganya pak dokter. Kita tidak kenal pak dokter, kita cuma kenal dengan tetangganya doang.
Lalu bagaimana mungkin kita yang jelas-jelas bukan dokter, bahkan juga bukan tetangganya dokter, tiba-tiba sok ngaku-ngaku jadi dokter. Sudah gitu, pakai sok bilang bahwa dokter ini dan dokter itu dungu, bego, tolol, idiot, sesat, bid'ah dst dsb dll.
Apa mentang-mentang sudah bisa membaca satu hadits, lalu kita merasa sudah menjadi mujtahid mutlak, lalu kita merasa berhak merojihkan pendapat ini dan memarjuhkan pendapat itu?
aina nahnu min haulair-rijal . . .
penulis: Ust. Sarwat, Lc.