Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft
Chik Rini [Mantan Wartawan Analisa Terbitan Medan]
Sebuah bus memasuki terminal Lhokseumawe pada
suatu pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih sibuk. Warung
kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan
penumpang, yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak
mesin juga masih parkir depan terminal. Pengemudinya menunggu
penumpang.
Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari
hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di
kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh
cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada
di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.
Lhokseumawe
memang pusat industri Aceh. Ia kota kedua terbesar di Aceh sesudah
ibukota Banda Aceh. Dalam perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas
alam terbesar di Indonesia. Sejak Exxon Mobil, sebuah perusahaan
Amerika, menemukan sumur-sumur gas di Aceh Utara pada 1970-an, daerah
ini dengan cepat melihat pertumbuhan industri hasil alam. Di bagian
barat Lhokseumawe, terdapat kilang penyulingan gas alam cair PT Arun
LNG, pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda, pabrik pupuk PT Asean Aceh
Fertilizer, dan pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh. Sedang di bagian
timur kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil.
Ironisnya,
Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Orang Aceh banyak yang miskin,
hidup di pinggiran pabrik-pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit
keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke daerah itu.
Di
Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan
bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk
memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer
Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah
Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh
Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430
mengalami penganiayaan.
Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara
penumpang bus yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria yang membawa tas
baju, kamera Betacam, dan peti berisi kabel, mikropon, dan perlengkapan
penyuntingan video. Mereka wartawan RCTI, sebuah stasiun televisi
Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak Presiden Soeharto,
Bambang Trihatmodjo.
"Oke, sekarang kita ke mana?" tanya Umar HN.
"Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman," jawab Imam Wahyudi.
Fipin
Kurniawan, orang ketiga dalam rombongan ini, diam saja dan sibuk
mengecek alat-alat yang dibawanya dari Jakarta. Dia menenteng kamera
Betacam yang beratnya hampir 20 kilogram.
Umar H. Nurdin, populer
sebagai Umar H.N., adalah koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995.
Umar boleh dibilang wartawan senior. Jadi wartawan sejak 1970-an dan
pernah jadi wartawan harian Waspada terbitan Medan selama 14 tahun. Umar
juga mengambil gambar video maupun foto yang acapkali dijualnya kepada
organisasi berita internasional Reuters dan Associated Press biro
Jakarta. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap. Wajah sangat khas
Aceh, rahang keras, berkumis tebal, rambut keriting, dan berkulit hitam.
Perokok berat.
Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah
RCTI Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden daerah. Pria
berumur 34 tahun ini sudah bekerja di RCTI sejak 1994. Kariernya
termasuk cepat. Dia reporter andalan RCTI untuk daerah-daerah konflik
Indonesia. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di lapangan. Imam
orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap para korespondennya kalau mereka
salah dalam mengambil gambar atau reportase. Imam sudah bolak-balik ke
Papua dan Timor Timur di mana juga ada perlawanan bersenjata terhadap
Jakarta. Datang ke Aceh adalah keinginannya sejak lama, karena belum
sekali pun dia menginjakkan kakinya ke daerah ini.
Ide meliput
datang ketika Imam ikut pelatihan jurnalisme televisi di Medan, tiga
hari sebelum kedatangannya ke Lhokseumawe. Di pelatihan itu ada Umar dan
mereka diskusi banyak tentang Aceh.
Saat itu di Aceh ada
perlawanan terhadap pemilihan umum yang akan berlangsung pada Juli 1999.
Kampanye di Aceh tak berjalan. Seruan boikot pemilihan umum gencar
dilakukan oleh berbagai organisasi massa di Aceh. Mereka lebih suka
mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh. Referendum untuk
memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia.
Aceh memang
makin memanas sesudah runtuhnya rezim Soeharto di Jakarta pada Mei 1998.
Presiden B.J. Habibie, pengganti Soeharto, memutuskan mencabut status
Daerah Operasi Militer untuk Aceh pada Agustus 1998. Ironisnya,
kekerasan masih berlangsung. GAM, kelompok separatis yang
memproklamasikan kemerdekaan bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga
makin meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di daerah pedesaan.
Kekerasan
militer Indonesia menimbulkan dendam dan luka di hati orang Aceh. Orang
Aceh banyak yang tak suka militer Indonesia. Mereka mengungkapkannya
lewat beberapa demonstrasi atau huru-hara. Kerusuhan massal pertama
meletus saat terjadi penarikan pasukan Kopassus pada Agustus 1998.
Kopassus dianggap pasukan elit yang banyak melakukan kekejaman di Aceh.
Orang-orang menyerang dan melempari truk-truk Kopassus dengan batu. Pada
November 1998, ada konvoi bersenjata oleh seratusan orang di Geudong,
sebuah kota kecil dekat Lhokseumawe. Pada Januari 1999, massa membakar
tiga kantor polisi dan delapan kantor pemerintah di Lhokseumawe. Aksi
ini muncul sesudah militer Indonesia menyerang basis pertahanan Ahmad
Kandang. Buntutnya, sembilan orang Aceh mati, 23 luka-luka, dan 132
ditangkap. Ahmad Kandang seorang pentolan GAM yang berbasis di kecamatan
Kandang, tiga kilometer arah timur Lhokseumawe. Tak lama berselang,
polisi menangkap 40 orang simpatisan Ahmad Kandang. Penahanan ini jadi
tragis setelah mereka dipindahkan ke gedung milik sebuah organisasi
kepemudaan. Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an
tentara Indonesia. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.
Umar
banyak mengirim gambar kekerasan Aceh ke RCTI. Tapi Imam Wahyudi ingin
sesuatu yang dianggapnya belum diberikan Umar. Imam mengatakan di antara
sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya.
Imam ingin gambaran itu kepada penonton RCTI.
Dari Medan, Imam
menelepon dan minta redaksi RCTI di Jakarta mengirim satu kame-rawan
yang akan mendampinginya pergi ke Aceh. Fipin Kurniawan menyusulnya ke
Medan. Fipin seorang pria yang agak pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus,
berhidung mancung, dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam
sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan televisi luar negeri.
Fipin sudah sembilan tahun jadi kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh
ketika bekerja di salah satu rumah produksi.
Mereka bertiga naik
dua becak mesin dari terminal Lhokseumawe. Suaranya yang berisik
memecah keheningan malam. Jalan sepi sekali. Imam duduk satu becak
dengan Umar. Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata "referendum"
di badan jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di badan
jalan, tapi juga di tembok pasar dan papan reklame.
Umar membawa
Imam dan Fipin ke sebuah hotel. Umar meninggalkan kedua tamunya dan
pulang ke rumahnya sendiri di Lhokseumawe. Dia sudah berada di Medan
hampir seminggu dan rindu keluarganya. Imam dan Fipin tak banyak
mengobrol karena sudah mengantuk. Tapi mereka sempat berkoordinasi untuk
liputan esok, sebelum keduanya terlelap kelelahan.
TUJUHBELAS
kilometer dari hotel, pada waktu yang hampir bersamaan, dini hari itu
juga, di kota kecil Krueng Geukeuh, kecamatan Dewantara, ada sekitar
300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga. Gardu itu mirip
rumah panggung kecil tanpa dinding berukuran 2x1,5 meter. Orang Aceh
biasa menyebutnya bale-bale.
Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter
dari gerbang pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik
ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh
tembok setinggi satu meter.
Bale-bale itu ada sejak masa Daerah
Operasi Militer. Orang-orang Bangka Jaya biasa berjaga malam di situ.
Tapi malam itu jumlahnya sangat banyak. Semua laki-laki. Suara mereka
ramai. Semua bicara dengan bahasa Aceh.
"Sudah, ambil saja truk itu. Kalau tidak dikasih bakar saja," seorang laki-laki berteriak.
Orang-orang
ribut lagi. Ada yang setuju ada yang tidak. Rencananya, mereka akan
melakukan demonstrasi ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng
Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut
orang dari kampung-kampung sekitar.
Mereka memang sedang resah.
Sejak lepas magrib ada beberapa laki-laki keliling kampung Bangka Jaya
menyampaikan pengumuman. Laki-laki itu memerintahkan para perempuan
keluar dari rumahnya untuk jaga malam. Perempuan yang kebanyakan ibu-ibu
rumah tangga, disuruh bawa kayu atau parang, untuk jaga keselamatan.
Mereka berkumpul dekat meunasah (masjid).
"Tentara mau menyerang kampung," kata seorang pria.
Di
kampung lain, pengumuman diserukan dari pengeras suara meunasah. Siapa
yang mengumumkannya tak jelas. Seorang pria yang tak dikenal warga masuk
ke meunasah dan mengambil mik pengeras suara. Dia mengumandangkan azan.
lalu membuat pengumuman. "Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar.
Teungku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh."
Orang-orang
kampung mendengar itu. Seperti angin, informasi yang tak jelas
kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Malam itu
kebanyakan desa di kecamatan Dewantara mulai grasak-grusuk. Mereka
merasa khawatir sehingga berjaga-jaga sepanjang malam.
Di jalan
lintas Banda Aceh-Medan, sekitaran Cot Murong, belasan laki-laki
melakukan sweeping sejak lepas salat Isya. Cot Murong adalah sebuah
pemukiman, empat kilometer arah barat Krueng Geukeuh. Di pemukiman itu
terdapat tiga desa: Lancang Barat, Glumpang Sulu Timur, dan Glumpang
Sulu Barat. Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota
ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum diganti jadi
Tentara Nasional Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi
buruk zaman rezim Orde Baru.
Sebagian orang mendengar informasi
bahwa ada warga desa Lancang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. Dua
hari terakhir tentara dari satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud)
Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke wilayah Cot
Murong. Tentara-tentara itu mencari seorang rekan mereka, anggota
Arhanud Rudal yang hilang beberapa hari sebelumnya.
Detasemen
Arhanud Rudal merupakan sebuah instalasi militer yang berfungsi
melakukan pengamanan wilayah Indonesia, setidaknya Pulau Sumatera bagian
utara, dari serangan udara negara lain. Markasnya sudah ada di sini
sejak 1987. Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng
Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu
dijaga keamanannya. Markas Arhanud Rudal terletak di sebuah perbukitan
kecil dan menyimpan senjata-senjata berat termasuk peluru kendali.
KEJADIAN
dengan anggota Arhanud Rudal bermula beberapa hari sebelumnya. Pada
Kamis malam, 30 April 1999, ada perayaan Maulid Nabi Muhammad di
lapangan sepak bola Cot Murong. Acara itu diisi dengan pengajian dan
dakwah. Banyak orang datang. Di Aceh, setiap ada kegiatan keagamaan,
selalu dibanjiri orang. Orang Aceh kebanyakan beragama Islam dengan
fanatik.
Di antara kerumunan orang yang berdiri di lapangan,
menyelinap Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara Arhanud Rudal yang
markasnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Cot Murong. Kabar
dari mulut ke mulut menyebutkan Aditia sedang melakukan kegiatan
mata-mata. Dia membawa radio komunikasi handy talky dan pistol.
Aditia
sering terlihat di sekitaran Krueng Geukeuh. Aditia banyak bergaul dan
memiliki banyak akses dengan masyarakat di situ. Malam itu dia
ditugaskan komandannya untuk memantau keramaian di Cot Murong. Arhanud
Rudal merasa perlu mengawasi wilayah dalam radius lima kilometer dari
markas mereka.
Isi dakwah malam itu sangat panas. Militer Indonesia biasa menyebutnya sebagai "dakwah GAM." Dakwah itu berbau politik.
Beberapa
bulan terakhir di kampung-kampung Aceh Utara memang kerap dilaksanakan
dakwah GAM. Acara itu selalu dihadiri oleh banyak orang. Biasanya
dilaksanakan pada sore atau malam hari. Tempatnya bisa di lapangan
ataupun meunasah. Dibuka dengan pengajian, lantas ada tengku (ulama)
yang ceramah. Yang menarik, terkadang acara itu menghadirkan para korban
militer Indonesia, yang berkisah tentang kekerasan militer terhadap
keluarganya.
Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan
sejarah. Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik
para pahlawan Aceh ketika berperang dengan Belanda pada periode 1884
hingga 1915, dan juga tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di
jalan Allah. Lantas diungkapkan pula perlakuan-perlakuan kejam dan tak
adil dari "pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa ada
Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan diri dari Jakarta.
Aditia
sendirian. Tak banyak orang kampung yang memperhatikannya karena tak
kenal. Tapi sejak malam itu Aditia hilang dan tak kembali ke markasnya.
Padahal empat hari lagi dia akan dilantik sebagai sersan satu.
Keesokan
harinya, Jumat 31 April 1999 pagi. Tiga truk militer dan lima minibus
Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata
lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud Rudal. Mereka masuk
ke kampung Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia.
Orang-orang
kampung resah melihat patroli tentara. Mereka trauma melihat orang
berbaju loreng hijau membawa senjata. Itu pemandangan yang menakutkan.
Kekerasan oleh militer selama 1989 dan 1998 menciptakan citra bahwa
tentara jahat dan suka menyakiti rakyat. Mereka takut akan ada orang
ditangkap, dipukuli, atau ditembak.
Tentara-tentara itu menanyai
setiap orang yang dijumpai tentang keberadaan Aditia. Tapi tak seorang
pun mengaku melihat Aditia malam itu di kampung mereka. Apalagi
tahu-menahu tentang hilangnya Aditia.
Orang Cot Murong tak senang
tentara masuk ke kampung mereka. Mereka kumpul di sepanjang jalan yang
dilalui patroli tentara. Puluhan perempuan sempat mencoba berbaris
menghalangi patroli tentara di jalan.
Orang yang marah melakukan
protes ke Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin minta tentara agar tak
masuk ke kampung mereka lagi. Mereka tak tahu tentang hilangnya Aditia.
Jadi tak ada alasan tentara menanyai dan bikin takut penduduk.
Sorenya
komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan menelepon Camat Marzuki
untuk minta izin masuk kampung mencari sersan yang hilang. Tapi Marzuki
minta tentara jangan dulu masuk kampung, karena orang mulai ribut.
Keesokan
harinya, Sabtu, 1 Mei 1999, diadakan pertemuan antara perwakilan warga
Cot Murong, ulama, tentara, polisi, dan camat di kantor polisi
Dewantara. Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak akan
masuk kampung lagi. Pencarian Sersan Aditia diteruskan oleh tokoh-tokoh
kampung. Teungku Hanafiah, seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong
untuk mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal mendapat
kabar keberadaan Aditia.
Ketika tahu ketidakberhasilan Teungku
Hanafiah, secara diam-diam tentara masuk ke kampung lagi pada Minggu 2
Mei 1999. Tak begitu banyak jumlahnya dan mereka hanya naik satu Toyota
Kijang. Mereka tampaknya khawatir Aditia diculik gerilyawan GAM. Mereka
kembali menanyai orang-orang kampung. Orang-orang kembali resah.
Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di warung, lari
tunggang-langgang melihat tentara. Mereka dibentak. Tentara bahkan
sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit
ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.
Kabar
penempelengan itu segera beredar. Orang-orang marah. Sebab sudah
disepakati tentara tak masuk ke kampung mereka lagi. Apalagi ada bumbu
informasi, yang tak jelas kebenarannya, ada penduduk desa Lancang Barat
ditangkap dan dibawa pergi patroli tentara. Suasana memanas. Isu-isu
yang tak jelas siapa sumbernya menyebar hingga ke kecamatan tetangga.
Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan
orang kampung yang ditangkap.
SENIN pagi-pagi sekitar pukul
09:00. Azhari biasa mangkal di warung kopi langganannya dekat kantor
polisi Lhokseumawe. Sebagai bujangan, tak ada yang menyiapkan sarapan
pagi untuk dirinya. Dia sarapan sepiring nasi gurih dan secangkir kopi.
Azhari adalah asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia baru
tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32 tahun. Azhari orang
yang selalu berhati-hati dan cenderung penakut. Sebagai wartawan baru,
dia ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja keras membuat
laporan sebanyak mungkin, karena dia dibayar berdasarkan jumlah berita
yang dibuatnya. Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan
Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas.
Di Aceh,
warung kopi jadi tempat yang sangat ramai dikunjungi orang laki-laki.
Dari yang sekadar minum kopi, membaca koran gratis, nonton televisi,
maupun mengobrol. Selagi minum kopi, Azhari menangkap pembicaraan
beberapa orang yang duduk dekat mejanya.
"Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)."
"Peu acara (Acara apa)?"
"Naa
awak geutanyou jidrop lee si Pa'i. Ramee ureueng jak demo ke Koramil
(Ada orang kita ditangkap si Pa'i. Ramai orang pergi demo ke Koramil)."
Azhari
tertarik. Cepat dia kembali ke kantornya yang tak jauh dari warung
kopi. Kantor Antara hanya sebuah rumah kontrakan. Kantor itu juga jadi
tempat tinggal Azhari. Dia sendirian bekerja di situ.
Azhari
menelepon beberapa wartawan di kota itu untuk mencari kebenarannya.
Azhari pun memutuskan ke Krueng Geukeuh. Disambarnya kamera di atas
meja. Sudah terisi film, tinggal dipakai saja.
Sabtu sebelumnya,
Azhari sudah mendengar kabar ada intel tentara hilang di Cot Murong.
Azhari memutuskan meliput. Biasanya kalau massa sudah berkumpul akan ada
buntut peristiwa yang bisa diberitakan.
Beberapa kilometer dari
tempat Azhari, Imam Wahyudi dan Fipin masih bermalas-malasan di atas
kasur. Imam menelepon Umar minta dia menemani mereka melakukan liputan
suasana kota Lhokseumawe.
Dengan mobil Isuzu Panther merah milik
Umar, mereka keliling Lhokseumawe. Fipin mengambil gambar suasana kota.
Spanduk tentang tuntutan referendum dan penolakan terhadap rencana
pembentukan Komando Daerah Militer Aceh tergantung, melintang di atas
jalan menuju pusat pasar. Pagi itu pasar ramai dengan orang dan
kendaraan lalu lalang. Dari kota, Umar membawa Imam dan Fipin ke arah
Kandang, di pinggiran Lhokseumawe. Mereka akan ambil gambar bendera GAM
berlambang bulan bintang yang dipasang di tower RRI.
"Saya masih
trauma kalau memasuki daerah ini," kata Umar. Ia pernah terjebak dalam
kontak senjata antara tentara Indonesia dan kelompok Ahmad Kandang.
Dari
Kandang mereka kembali ke Lhokseumawe. Mereka bertemu dengan Ali Raban
yang menunggu dekat pasar. Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk
Umar. Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali membantu
Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama kali di Lhokseumawe.
Ali
Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan, sering mengabaikan
keselamatan jiwa dan kurang perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan
sederhana. Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang baru dua
bulan lahir.
Tiba-tiba penyeranta yang bergantung di pinggang
Umar berbunyi. Pesan masuk dari seseorang. "Ada pemblokiran di Krueng
Geukeuh," kata Umar.
"Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat.
Umar
belum berniat secepatnya ke Krueng Geukeuh. Tapi Ali mendesak. Sejak
setengah jam lalu, Ali juga mendapat pesan serupa di penyerantanya.
Umar
dan Ali mempunyai orang-orang yang bisa jadi sumber informasi mereka
hampir di tiap kota kecamatan. Terkadang Umar membayar orang-orang yang
membantunya sebagai informan. "Channel" itulah yang jadi ujung tombak
kecepatan mereka mengejar berita.
Mereka terpaksa pulang dulu ke
rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto. Di jalan mereka bertemu
dengan sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng Geukeuh. Dari si
sopir mereka melakukan verifikasi kalau memang ada pencegatan massa di
sana dan kejadiannya masih baru.
Mereka sepakat ke sana. Tapi tiba-tiba Umar bilang, "Kita cari makanan dulu."
Umar
mempunyai kebiasaan membawa makanan lebih kalau mau meliput jauh.
Pengalamannya, kalau sudah masuk ke tempat konflik, akan susah cari
makan. Dia termasuk orang yang susah kalau lapar.
"Udah, kita jalan saja. Nanti terlambat dapat gambar," bantah Raban.
Umar
dan Ali berdebat soal jadi tidaknya mereka beli makanan. Imam dan Fipin
tak banyak komentar, walau sebenarnya mereka juga butuh makan. Imam dan
Fipin belum sempat sarapan.
Imam setuju dengan Raban. Imam
adalah wartawan televisi tulen. Jika tak segera mengambil momentum
pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua. Waktu
sudah terbuang.
Di sepanjang jalan Ali merepet dengan bahasa Aceh
pada Umar. Dia kesal karena Umar dianggapnya membuang waktu hanya
karena membeli makanan. Itu peristiwa penting, dan mereka seharusnya
mengejar waktu secepat mungkin menuju ke Krueng Geukeuh.
"Uh, dasar yang dipikirin makan melulu," gerutu Raban. Mereka membeli nasi Padang di pasar.
JAM
sudah menunjukkan angka 10. Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter sejak
dia diturunkan dari sepeda motor temannya dekat tugu depan perumahan PT
Pupuk Iskandar Muda. Temannya disuruhnya kembali ke Lhokseumawe, karena
jalan sudah diblokir. Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima
kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar
udara Malikul Saleh. Di Bungkah, kendaraan umum yang hendak menuju
Lhokseumawe, melintasi Krueng Geukeuh, juga dilarang lewat.
Azhari
berhenti di pinggir jalan depan sebuah pemakaman dan melihat sebuah bus
kecil penuh penumpang berhenti. Beberapa pria, tak sampai 10 orang,
menghadang bus yang datang dari arah Lhokseumawe. Bus itu hendak menuju
ke Bireuen, sebuah kota 45 kilometer barat Lhokseumawe. Penumpangnya
disuruh turun.
"Kalau mau lanjutkan perjalanan, lewat Simpang
Kraft bisa sambung bus lain," kata para penghadang. Mereka yang merasa
harus sampai ke tempat tujuannya secepat mungkin, memutuskan jalan kaki
ke Simpang Kraft, yang berjarak dua kilometer dari situ, dengan harapan
bisa menyambung kendaraan lainnya. Banyak kendaraan yang terpaksa
kembali ke Lhokseumawe karena tak diizinkan lewat.
Tak lama,
sebuah mobil Toyota Kijang berkaca gelap menepi tak jauh dari tempat
Azhari berdiri. Dari dalamnya keluar delapan orang pasukan Gegana,
pasukan elit polisi Indonesia khusus antipeledakan. Mereka berseragam
kaos hitam berlambang burung walet dan memegang senjata jenis Styer.
Wajah mereka tampak kebingungan melihat ramai orang di tengah jalan dan
kendaraan banyak yang berhenti.
Orang-orang yang menghadang bus
tak peduli ada Gegana dekat mereka. Jalanan telah dikuasai warga. Mereka
membuat barikade dari tumpukan ban bekas, dahan kayu, dan drum kosong.
Yang ingin ke Krueng Geukeuh harus minta izin dulu kepada penghadang.
Krueng Geukeuh berada di lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kawasan itu
termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe sebab di sana berdiri
pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta
pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.
Azhari berjalan pelan menuju
persimpangan Krueng Geukeuh. Tak ada satu pun kendaraan berseliweran di
jalanan. Yang ramai hanya orang-orang, yang ketika itu sudah berkeluaran
dari rumah mereka. Mereka tertarik menonton keramaian. Beberapa
laki-laki terlihat membawa senjata tajam.
Tak ada orang yang
menanyai identitas Azhari. Di dompet dalam saku celananya, hanya ada
selembar kertas surat tugas dari Antara. Kamera yang dibawanya disimpan
dalam tas pinggang. Azhari berpikir lebih baik tak ada yang tahu dia
wartawan. Itu mungkin lebih aman baginya.
Azhari menemukan massa
sudah menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh. Simpang itu terletak
dekat komplek perumahan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer. Pusat kota
Krueng Geukeuh masuk dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter
ke arah dalam. Di sana terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh,
kantor polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola.
Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer.
Toko
dan warung yang berderet sekitar persimpangan kebanyakan telah ditutup
pemiliknya. Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak
menumpuk di persimpangan.
Di antara ratusan orang itu, Azhari
berjumpa dengan Sabri, temannya yang sekolah di sebuah akademi di Banda
Aceh. Sabri tak sempat bercakap lama dengan Azhari. Sabri sedang sibuk.
Sabri dan beberapa pria sedang melakukan sweeping. Mereka naik ke sebuah
bus besar yang berhenti dekat simpang empat. Kartu identitas penumpang
diperiksa satu per satu. Mereka mencari kalau ada tentara Indonesia di
dalamnya.
Azhari berdiri diam di emperan toko dan memperhatikan
keadaan. Sekitar pukul 11.00 Azhari melihat ada iringan mobil datang
dari Lhokseumawe. Dengan kecepatan sedang sebuah Taft hijau tua dan
Toyota Kijang penuh orang di dalamnya berusaha menerobos massa yang
mengumpul di tengah jalan. Di belakang kedua mobil itu mengekor sebuah
truk tanki minyak.
Azhari kenal orang yang duduk di bangku depan
mobil Taft. Itu komandan Komando Distrik Militer Aceh Utara Letnan
Kolonel Sugiono. Penumpang dalam Kijang sepertinya tentara berpakaian
preman, pengawal Sugiono. Massa menghentikan mobil. "Tidak bisa lewat,
Pak."
Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft. Alasannya,
kedatangan mereka telah ditunggu. Massa tetap tak mengizinkan mobil
lewat. Apalagi setelah tahu di dalamnya tentara. Terjadi perdebatan.
Entah siapa yang duluan bergerak, mendadak puluhan massa mendekat ke
mobil itu dengan marah. Melihat situasi tak menguntungkan, mobil itu
tancap gas, lari dari massa yang mengejar dengan parang. "Kejar! Kejar!"
teriak orang-orang.
Bunyi decitan ban terdengar cukup keras.
Kedua mobil itu dengan cepat memutar balik, lari kencang kembali ke arah
Lhokseumawe. Truk tangki minyak yang sedari tadi mengekor hampir
terbalik karena sopirnya terkejut dan hampir tak bisa mengendalikan
setir. Truk itu secepatnya juga kembali ke arah Lhokseumawe.
UMAR
HN membawa mobilnya mengebut ke arah Krueng Geukeuh. Sudah pukul 11.00.
Mereka sudah kehilangan banyak waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang
tak penting di Lhokseumawe. Ali sesekali masih merepet, mengeluarkan
kedongkolannya terhadap Umar. Imam dan Fipin banyak tak mengerti dengan
bahasa Aceh yang diucapkan Raban.
Lewat pabrik Pupuk Iskandar
Muda, mobil mereka tak boleh lewat. Umar menyimpan mobilnya di halaman
sebuah tempat usaha sablon. Mereka pun berjalan kaki melewati banyak
orang yang berkumpul di sepanjang jalan. Kedatangan mereka menarik
perhatian orang-orang. Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan.
Imam membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI. Fipin dan Ali memanggul
kamera berlambang RCTI. Umar dan Imam memakai rompi wartawan berwarna
krem berlogo RCTI.
Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang,
kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah,
gusar dan tak sedikit yang beringas.
Di simpang empat Krueng
Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan
emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak. Sekumpulan anak
kecil berlari, mendekat ke arah Fipin dan Ali yang sedang mengambil
gambar massa. Di depan kamera, mereka bersorak sambil meloncat-loncat,
dan berteriak-teriak hingga memekakkan telinga. Anak-anak itu senang
direkam gambarnya.
"Merdeka! Merdeka!"
"Hidup referendum!"
"RCTI oke!"
Suasana
yang tadinya biasa saja jadi ribut, karena orang-orang dewasa turut
berteriak-teriak seperti kelakuan anak-anak kecil di situ. Yang tadinya
berdiri di emperan toko, mulai turun ke jalan sambil bersorak-sorak.
Yang membawa kayu dan parang mengacungkannya ke udara. Mereka overacting
karena ada liputan televisi.
Umar mencium gelagat tak bagus.
Jantungnya berdenyut keras. Ada yang mencegat dan menanyai identitas
mereka berempat. Umar dan Ali yang bisa bahasa Aceh menjelaskan bahwa
mereka wartawan.
Umar tahu kalau tak bicara baik-baik akan susah
dapat izin lewat. Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan
televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka. Orang
menyamakan posisi mereka dengan tentara yang harus dimusuhi.
"Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.
Sambutan
tak ramah itu membuat Umar khawatir. Dengan berkata pelan, Umar
mengingatkan Imam dan Fipin agar tak mengaku sebagai orang Jawa. Ada
sikap anti orang Jawa di Aceh. Imam terkadang sulit menyembunyikan aksen
Jawa dalam ucapannya.
Seorang pria mendekati Imam, "Kamu siapa?"
"Wartawan."
"Wartawan dari mana?"
"RCTI."
"Orang mana?"
"Melayu."
"Melayu mana?"
"Melayu Riau."
Orang-orang
itu menarik kartu identitas Imam dan Fipin yang menggantung di leher,
melihatnya untuk memastikan apa betul mereka wartawan.
Syukur,
datang bantuan. Salah seorang tokoh yang jadi pengatur massa di situ,
menghampiri Imam dan Umar. Dia kenal Umar sebagai wartawan. Mereka
bersalaman. "Ini wartawan RCTI. Tidak apa-apa. Biarkan lewat," pria itu
memberi instruksi pada orang-orang yang berkerumun dekatnya.
Orang-orang
yang tadinya sempat tak senang mendadak berubah sikap jadi baik. Mereka
bilang, massa yang jumlahnya lebih besar lagi sudah berkumpul di
Simpang Kraft. Mereka menawarkan diri untuk mengantar wartawan ke sana,
karena jarak Simpang Kraft sekitar satu setengah kilometer dari situ.
Raban sempat bertanya pada seorang pria muda yang dilihatnya membawa senjata tajam. "Kenapa bawa parang?"
"Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung," katanya.
"Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.
Keempat
wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan sepeda motor milik warga
di situ. Tak ada kendaraan yang melintas di jalanan.
Sepeda motor
yang ditumpangi para wartawan itu harus berjalan zigzag, dengan
kecepatan sedang. Tiap jarak yang dekat ada barikade yang dibuat dengan
tumpukan ban bekas, kursi, kayu, dan drum. Bahkan menjelang Simpang
Kraft jalan sepenuhnya telah ditutup, sehingga mereka harus minta izin
dulu kepada orang-orang yang berjaga agar bisa lewat.
SIMPANG
Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan
lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer.
Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas PT Kertas Kraft
Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke dalam. Di lintasan jalan
menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua
setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini menyimpan peluru
kendali buat perlindungan daerah ini.
Di Simpang Kraft ada
traffic light, yang cuma punya satu lampu kuning, yang terus
berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan
yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati. Simpang itu
merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton besar yang membawa
gulungan-gulungan kertas raksasa.
Sekitar 10 meter dari simpang,
jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan
dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang,
terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko
bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan
makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya
warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi
sebagai gardu jaga.
Di sebelah kanan, berderet lima warung yang
di antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di
depan deretan warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi
gadung. Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua
rumah sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di
kiri kanan jalan.
Rumah-rumah orang lebih banyak berada di
pinggiran jalan Banda Aceh-Medan. Orang di situ sudah terbiasa melihat
truk-truk mengangkut sepasukan tentara melintas keluar masuk Simpang
Kraft, karena di situ ada markas Arhanud Rudal.
Pagi-pagi sekali,
beberapa laki-laki melakukan sweeping di sekitaran Simpang Kraft.
Mereka memeriksa setiap kendaraan yang lewat, memeriksa apakah ada
tentara yang melintas. Pukul 08.00 empat truk militer membawa sepasukan
tentara berbaju loreng hijau, bertopi rimba dan bersenjata masuk ke
kecamatan Dewantara. Tentara itu datang dari Batalyon 113 Korem
Lilawangsa yang markasnya terletak di Bireuen, 45 kilometer barat
Lhokseumawe. Pasukan Batalyon 113 itu biasanya bertugas sebagai pasukan
pengaman proyek-proyek vital di sekitaran Lhokseumawe. Tapi pagi itu
mereka didatangkan sebagai pasukan bala bantuan untuk pengamanan jalan
masuk ke Arhanud Rudal. Jumlah tentara di Arhanud Rudal cuma ada satu
kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya
tentara-tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan
azan di meunasah.
Sejam kemudian gelombang massa pun berdatangan
ke Krueng Geukeuh. Mulanya, 10 truk membawa ratusan laki-laki datang
dari kampung-kampung. Mereka berkumpul di lapangan sepak bola, tak jauh
dari kantor camat. Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin sedang
melakukan rapat persiapan pemilihan umum. Rapat itu bubar, karena massa
berdatangan ke kantor. Mereka menjemput Marzuki untuk dibawa ke Simpang
Kraft. Di sana, orang Cot Murong dan tentara sudah saling
berhadap-hadapan. Marzuki diminta datang untuk mendinginkan suasana yang
memanas.
Hingga pukul 11.00, ada dua konsentrasi massa di Krueng
Geukeuh. Massa pertama ada di depan Koramil Dewantara, dekat pasar
Krueng Geukeuh. Ratusan orang kebanyakan wanita, berkumpul melakukan
demontrasi. Banyak yang membawa anaknya. Mereka datang dari
kampung-kampung sekitar Krueng Geukeuh, dijemput dengan truk.
Wanita-wanita itu bergerombol, ada yang berteriak-teriak. Tak ada
tentara yang menghadapi demonstran. Mereka berdiam diri di dalam kantor
Koramil Krueng Geukeuh yang tertutup rapat. Komandannya ada di Simpang
Kraft.
Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca jendela
koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara yang diparkir di sekitar situ
dibakar hingga hangus. Tentara memberi tembakan peringatan beberapa
kali ke udara. Massa sempat lari.
Peristiwa depan koramil tidak
banyak diketahui oleh massa kedua di Simpang Kraft. Simpang Kraft bagai
lautan manusia. Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus
bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan
anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi. Orang-orang
itu tak hanya datang dari Dewantara, tapi juga dari kecamatan sekitar
seperti Nisam, Muara Dua dan Sawang.
Mereka tergerak ke sana
karena spontanitas, merasa harus bersolidaritas terhadap sesama orang
Aceh. Tak sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara akan
menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu membawa senjata tajam
untuk bela diri. Ada semacam pengerahan massa ke Simpang Kraft, karena
sebagian besar orang yang datang ke situ dikoordinasi oleh sekelompok
orang. Sejak pagi sejumlah truk masuk ke kampung-kampung menjemput orang
diajak berdemonstrasi.
Sebagian lagi, datang ke Simpang Kraft
karena tertarik menonton keramaian yang tak biasa itu. Pemandangan itu
jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang
bersekolah di sekitarnya.
Tak sedikit juga yang terjebak di
Simpang Kraft. Yang terjebak adalah para penumpang yang tadinya berharap
bisa menyambung perjalanan dengan naik bus di Simpang Kraft. Mereka
berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak dari simpang PT Pupuk Iskandar
Muda di mana rombongan RCTI menyimpan mobil. Ternyata tak ada bus yang
menunggu di Simpang Kraft seperti yang dibilang para penghadang di
simpang Pupuk Iskandar Muda. Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu,
bergabung dengan massa di situ.
Keempat wartawan RCTI yang baru
datang segera masuk di antara kerumunan massa. Mereka menyebar. Dua
kamerawan, Ali dan Fipin, merekam gambar dari sudut yang berbeda.
Di
sebelah jalur kanan jalan, ada empat truk militer diparkir berjejer.
Tentara-tentaranya sudah turun. Mereka berjaga di sekitar kawasan itu.
Tentara-tentara itu berkelompok-kelompok, berdiri dekat sebuah tanah
kosong, di depan warung dan dekat truk mereka. Ada banyak wanita dan
anak-anak berdiri sangat dekat dengan tentara-tentara dari Batalyon 113.
AGAK
terpisah dari massa, di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter
dari simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud
Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter.
Keempat
wartawan itu melihat tentara yang berdiri dekat truk militer sudah
terkepung massa. Tapi tak terlihat ketegangan serius antara tentara dan
massa. Tentara-tentara itu tak bereaksi terhadap orang-orang yang
bersorak-sorak di dekatnya. Dan massa pun tak mempedulikan kehadiran
tentara-tentara.
Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana
berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televisi merekam aksi
mereka. Mereka jadi ribut sekali. Mereka berteriak-teriak sambil
mengacungkan apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan
parang menyembul di antara ribuan kepala manusia. Anak-anak kecil
melompat-lompat kegirangan setiap kamera menyorot mereka.
"Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu bersahut-sahutan dari ujung ke ujung.
Mereka juga berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"
"Hidup referendum!"
Imam
dan Fipin naik ke atas salah satu truk tentara yang diparkir di pinggir
jalan. Truk itu pun sudah penuh, dinaiki massa. Dari atas truk itu,
Fipin kembali mengambil gambar lautan massa. Mereka makin ramai
bersorak. Bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah. "Allah
Akbar!"
Sudah pukul 12.00 siang. Langit biru cerah tanpa awan.
Matahari tepat di atas kepala. Panasnya bagai membakar apa saja yang ada
di permukaan bumi. Panas matahari juga dirasakan oleh massa. Tapi
mereka seakan tak peduli. Panas matahari justru makin memanaskan
suasana. Mereka makin ribut, bersorak dan loncat-loncat. Peluh mengucur
deras dari tiap senti tubuh mereka. Mereka berteriak-teriak minta air.
Beberapa
tentara dekat truk tersenyum memperhatikan tingkah massa yang dianggap
lucu, melompat-lompat seperti anak kecil. Tentara-tentara itu tak
bergeming, kendati sesekali terdengar makian dari massa, "Pa'i" tapi
mereka berdiri santai, sesekali bertukar api rokok dengan beberapa
demonstran. Moncong senjata mereka jatuh ke tanah. Salah seorang,
mungkin komandannya, sibuk berbicara melalui handy talky.
Sebagian
wanita berkerudung berteduh di pinggiran warung, bale-bale dan di bawah
pohon. Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di
bale-bale, tertawa ceria sambil turut bersorak-sorak, ketika Fipin
Kurniawan mengarahkan kameranya ke mereka.
Imam Wahyudi melihat
seorang pemuda berkemeja putih, memakai ikat kepala dari kain putih yang
disobek, dielu-elukan massa yang mengangkat-angkat tangannya. Mungkin
dia salah satu pemimpin di situ. Dia agak malu karena kamera Fipin lama
menyorot ke arahnya.
Azhari tiba di Simpang Kraft. Dia tadi jalan
kaki mengikuti serombongan orang dari simpang empat Krueng Geukeuh.
Azhari masuk dalam kerumunan massa. Tubuhnya yang pendek seakan
tenggelam di sana. Dia agak sulit bernafas, karena massa demikian padat.
Azhari
melihat Umar di antara kerumunan orang. Tubuh Umar tampak agak lebih
tinggi dari orang-orang sekitarnya. Azhari tak berusaha menghampiri
Umar. Dia menganggap Umar wartawan yang tidak ingin disaingi dalam
perolehan gambar dan berita. Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak
begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara.
Ali Raban
sendirian, terpisah dari teman-temannya. Ali naik ke atas sebuah drum
yang diletakkan massa tepat di tengah jalan. Dia mengambil gambar
tentara yang terkepung di antara massa yang menyemut.
Raban turun
dari drum dan bergerak masuk lebih jauh ke dalam kerumunan. Ali melihat
camat Marzuki. Dia mengambil gambar Marzuki yang terduduk lemas di
sebuah kursi depan warung kopi yang tutup.
Marzuki ada dalam
tekanan orang-orang sekitarnya. Lencana camatnya dicopot paksa oleh
seseorang. Marzuki harus menanggalkan baju dinas camatnya, dan menjadi
pusat perhatian orang karena cuma berkaos dalam dan bercelana pendek.
Camat
Marzuki, beberapa kali naik ke atas truk dan berbicara kepada massa di
situ. Seorang pemuda berkulit hitam memegang megafone ada dekatnya.
Namanya Faisal. Tampaknya Faisal koordinator lapangan. Marzuki dan
Faisal bernegosiasi. Massa menuntut Marzuki segera menghadirkan
perwakilan tentara, ulama, dan pemerintah di Simpang Kraft.
Raban
berlalu dari tempat Camat Marzuki. Dia menyeberang ke arah jalur kanan
jalan. Mengambil gambar orang-orang yang berdiri di pinggir warung.
Seorang anak kecil dengan wajah gembira minta ibunya mengangkat dirinya
lebih ke atas, biar wajahnya terlihat jelas di kamera. Berkali-kali anak
itu bersorak-sorak agar Ali melihat dirinya.
Raban sangat
kehausan. Dia melihat anak kecil tadi. Anak itu bercelana pendek dan
memakai sandal jepit. Ibunya sudah tak terlihat lagi. Dia memegang botol
Aqua ukuran 600 mililiter. Isinya tak sampai seperempat botol.
Raban mencoba memintanya. "Dik, boleh minta airnya?"
Anak
itu memberi Ali botol air yang dibawanya. Ali meneguknya. Botol yang
masih menyisakan sedikit air, diserahkan lagi ke anak itu.
Umar
berdiri di tengah massa. Beberapa orang yang melihatnya, datang dan
minta Umar dan kawan-kawannya mewawancarai mereka. Umar tak menolaknya.
Lebih baik menuruti orang-orang itu. Dia yakin di antara sekian banyak
orang, banyak yang berpikiran kalut dan di luar kendali.
Umar
memanggil Ali yang jaraknya hanya belasan meter darinya. Imam dan Fipin
sudah turun dari truk. Mereka berempat berkumpul di sebelah jalur kiri
jalan. Mereka akan mewawancarai Faisal.
Faisal masih muda,
berhidung mancung dan berkulit hitam. Dia memakai jaket parasut hitam
sepanjang lutut yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam
dililit pita putih. Dia memegang megafone.
Pemuda-pemuda yang
berada di sekelilingnya berteriak, "Hoi, hoi," berebutan mau bicara dan
ingin masuk televisi. Faisal menolak memakai bahasa Indonesia. "Hana
meuphoum lon." Dia tak bisa berbahasa Indonesia.
Imam
mewawancarai Faisal. Umar menterjemahkannya. Banyak orang yang tertarik
melihat Faisal diwawancarai televisi. Keributan seketika berkurang,
karena Faisal berteriak agar massa diam. Sejenak agak senyap.
Si
Faisal menjelaskan, "Rakyat bangsa Aceh yang ada di Lancang Barat dan
Krueng Geukeuh ke luar ke lapangan, ke jalanan. Karena kami melihat
banyak tentara Jawa, si Pa'i sudah masuk ke desa Teupin, menganiaya
rakyat dan ada saksi mata."
Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai tentara yang menyamar.
"Pa'i, pa'i," orang-orang di sekitar Faisal berteriak.
"Dan si pa'i itu memancing kami masyarakat, sehingga kami menjadi berkelahi," sambungnya.
Menurut
Faisal, pagi itu ada empat truk tentara masuk ke desa Lancang Barat,
bertujuan memancing emosi orang sehingga jadi ribut. "Padahal sudah
janji sebelumnya tidak boleh masuk tentara lagi."
Si pemuda
mengatakan mereka saat ini sedang menunggu datangnya bupati, komandan
korem, komandan kodim, komandan rudal, Palang Merah Internasional, ketua
parlemen setempat, untuk menyelesaikan masalah.
Faisal mengeluh capek, "Kami minta mobil pemadam kebakaran. Tapi sampai sekarang belum sampai. Kami sudah gerah sekali."
Matahari
memancarkan sinar yang cukup panas. Faisal dan massanya masih bertahan
di tengah jalan, tak beranjak. Faisal membuka lembaran buku tulis yang
sudah lecek oleh keringat dan memperlihatkannya kepada wartawan yang
mewawancarainya. Di situ ada kesepakatan tertulis antara massa yang
diwakilinya dengan Camat Marzuki, bahwa Marzuki telah menyatakan
meletakkan jabatannya.
"Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami
dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah
itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.
Massa menyambut teriakan Faisal dengan gemuruh. Ribut lagi. Wawancara itu segera diakhiri.
Keempat
wartawan RCTI itu sepakat kembali ke Lhokseumawe untuk memburu
pengiriman kaset ke Jakarta. Ali dan Fipin secara terpisah mengambil
gambar terakhir kalinya. Umar masih tak beranjak dari posisi semula.
Imam
dan Fipin bergerak beberapa meter. Dekat mereka ada sebuah sepeda motor
merek Honda keluaran 1970-an. Pemiliknya mengizinkan Fipin naik ke atas
sadel belakang. Imam memegang sepeda motor itu agar Fipin tak jatuh.
Imam memegang kaset baru, bersiap hendak menukarnya dengan kaset dalam
kamera Fipin.
Fipin berdiri di atas sepeda motor dengan agak
gemetar. Dia masih bisa memanggul kamera yang berat walau tubuhnya sudah
terasa lemas. Tadi pagi tak sempat sarapan. Dan kini dia sangat haus.
Azhari
berdiri dekat sebuah tembok kecil di sudut kiri jalan. Sedari tadi dia
tak melakukan apapun, hanya menonton keramaian. Azhari tak berusaha
mewawancarai orang-orang di situ, bahkan tak pula ingat mengeluarkan
kameranya untuk memotret. Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak
jalan. Padahal dia bisa memperoleh foto berita di situ.
Tak ada
yang tahu persis siapa yang memulai. Massa makin tak terkendali. Mulai
saling dorong-dorongan. Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri di
tengah massa, mulai terjepit. Ada lemparan batu jatuh di depan deretan
anak-anak dan ibu-ibu. Dua puluh meter dari barisan massa terdepan itu,
berdiri pasukan Arhanud Rudal, jumlahnya berkisar 20-an.
Anak-anak yang melihat ada batu jatuh di depan mereka, spontan mengambil batu dan melemparnya ke arah tentara Arhanud Rudal.
Suasana memanas.
Sebuah
truk militer datang dari kejauhan. Truk itu datang dari markas Arhanud
Rudal. Banyak tentara di dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda
merekam kedatangan truk itu.
Pandangan mata massa semuanya sudah
terkonsentrasi ke arah truk yang datang itu. Mereka merasa ada sesuatu
yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada truk datang, ada truk
datang."
Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di tengah massa.
Tiba-tiba
... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras.
Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar
bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang menyambar. Semua
terkejut. Orang-orang yang tadi berdiri menyemut di jalan, secara reflek
tiarap. Tapi dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan. Mereka
lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara yang mulai melepaskan
peluru-peluru tajam dari moncong senjata mereka.
Tembakan ini
datang dari tentara Arhanud Rudal yang berdiri di kejauhan. Mereka yang
pertama kali melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas dengan
maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara berteriak, "Bubar kalian!
Bubar!"
Tapi beberapa tentara mendadak seperti kesetanan mengejar
orang-orang yang berlarian. Menembaknya dengan serabutan. Sementara,
tentara-tentara dari Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa
dengan cepat menyebar, menyusup ke parit-parit. Mereka juga turut
melepaskan tembakan. Mereka menembaki pohon kelapa yang tumbuh di
sekitar lokasi, hingga daun dan buahnya berjatuhan.
Kepanikan
muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, lari
berhamburan menghindari peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari
arah mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari tentara-tentara
itu yang mendadak brutal menembaki mereka.
Mereka ada yang
berteriak ketakutan minta tolong. Perempuan dan anak-anak menjerit. Tapi
kebanyakan tak mampu lagi bersuara. Suara rentetan senjata yang
memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik. Banyak yang tiarap di
jalanan. Yang lainnya bersembunyi di balik dinding warung. Ada juga yang
memperosokkan diri ke parit.
"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki berteriak dengan keras.
"Allah
Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru. Korban mulai
berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan orang rubuh di jalur kanan jalan.
Yang lain, satu per satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan
tentara.
Massa menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas
sepeda motor jatuh terjengkang. Si empunya sepeda motor tanpa memberi
aba-aba kepada Fipin, membawa lari sepeda motornya secepat kilat.
Fipin
jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan dengan Imam yang tiarap.
Dekat mereka ada beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin
makin lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh orang yang
rebah tak jauh darinya.
Fipin mengangkat kameranya tinggi dan
mengarahkannya ke tentara-tentara dekatnya yang sedang menembaki
pohon-pohon kelapa, hingga buahnya berjatuhan dan daunnya rontok. Di
kejauhan beberapa tentara lainnya sedang melepaskan tembakan secara
brutal ke arah massa yang berlarian. Dia sudah tidak bisa berpikir
apapun. Dia hanya merasa kameranya akan merekam semua adegan itu.
Imam
sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan tubuhnya ke atas aspal.
Dia berada di belakang Fipin. Kaset di tangan Imam terjatuh,
tersepak-sepak oleh massa yang berlarian panik, melompati badan Imam
yang jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.
Hampir
10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan kabel mikrofon ke
kamera yang dipegang Fipin. Imam ingin merekam dan membuat laporan
langsung di tengah ributnya suara letusan senjata.
"Mas,
kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada Fipin. Imam melihat
lampu kecil berwarna merah di kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu
itu berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.
Fipin tersadar.
Dengan cepat dia menghidupkan tombol record kamera. Kamera itu tanpa
diketahui mati ketika Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama 10 menit
pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam apa-apa.
Tentara-tentara
itu masih melepaskan tembakan, ketika seorang anak kecil, merayap dekat
Imam. Ada seorang perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu
bibinya. Anak itu kebingungan mencari perlindungan.
"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.
"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.
Imam
menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh dari situ. Paling
tidak anak itu bisa berlindung di balik dinding. Dengan cepat anak
laki-laki itu, bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping
warung.
Imam kembali melihat ke arah tentara-tentara itu.
Jaraknya kini hanya lima meter dari tempat Imam dan Fipin rebah.
Perasaannya campur aduk saat melihat tentara melepaskan tembakan
bertubi-tubi, mengarahkan muntahan peluru ke arah orang-orang yang
sebagian masih berusaha lari dari tempat itu. Imam terpaku dan belum
berpikir apa pun tentang peristiwa itu. Semua serba cepat.
Ketika
dia melihat ada tumpukan orang rebah di seberang jalan. "Ah,
orang-orang itu cuma bersandiwara saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah
pernah mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan aparat
dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat darah dalam
peristiwa-peristiwa seperti itu.
Saat tembakan agak mereda, Imam
tergerak mendekat ke tumpukan manusia itu. Sambil berjongkok dia dan
Fipin jalan ke sana. Fipin merekam semua gambar dengan baik. Sebagian
tentara masih terus melepaskan tembakan. Tapi ada juga satu dua tentara
yang masih berbaik hati, berusaha mengamankan beberapa wanita yang
menggendong anak mereka yang sedang bersembunyi di balik sebuah gerobak.
Mereka disuruh pergi cepat-cepat dari situ.
Imam melihat seorang
pemuda merangkak di depannya. Imam ingat, itu pemuda yang tadi
dielu-elukan massa. Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan bagai tak
bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia terluka, celana
putihnya penuh darah. Pemuda itu bersandar lemas di dinding warung yang
dengan susah payah dicapainya.
Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang wanita berjilbab kuning di dekatnya, memperhatikannya dengan rasa khawatir.
Cairan
warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan itu keluar dari sela
kaki pemuda itu. Imam mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak
amis," pikirnya.
Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam dalam hati.
Imam
bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari tadi mengusiknya.
Tadi ada sekitar 10 orang rebah di situ. Tapi dengan cepat sebagian
bangun dan lari saat Imam dan Fipin mendekat.
Dari jauh, Imam
seperti melihat sebuah boneka tergeletak di antara tumpukan orang itu.
Imam mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai disambar petir.
Itu seorang anak kecil yang bagian atas kuping kirinya sudah bolong
setengah. Air otaknya terlihat jelas. Imam shock.
"Tidak benar
ini. Masya Allah. Ini gila," Imam berteriak dalam hati. Perasaan marah,
benci tak percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak boleh
terjadi, tak masuk akal."
Itu bukan boneka. Itu anak kecil yang
telah tak bernyawa. Peluru tentara telah menghancurkan kepala kirinya.
Imam tak tahan dan menangis melihat itu.
Fipin sendiri tak tega
ketika mengarahkan kameranya ke arah anak kecil yang kepalanya telah
bolong itu. Saking tak tahan melihat kesadisan itu, Fipin menutup
matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu dari dekat.
Fipin
menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan baik. Dia merekam semua
yang dilihatnya. Dia terus berada bersama Imam. Dia merekam seorang
pemuda yang sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil malaikat
pencabut nyawa.
Umar dengan panik berlari ke depan sebuah toko
penjual makanan ternak, ketika bunyi letusan senjata terdengar. Di depan
toko yang ditutup pemiliknya itu, ada tumpukan karung berisi dedak
makanan bebek. Umar bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia
seorang di situ, karena ada beberapa orang lain yang berebutan tempat
bersamanya. Umar terjepit di antara orang-orang yang takut itu.
Umar
juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau kencing dalam celana.
Tapi dia berpikir cepat untuk segera memotret peristiwa itu. Umar
menjepret apa pun yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga
tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin dan Imam ada di
sana juga. Tapi jepretan Umar banyak yang meleset tak tentu arah, ke
langit dan ke atas pohon.
Trat .... trat .... trat ....
berondongan senjata terus terdengar. Umar memotret tanpa berpikir banyak
apakah dia mendapat angle yang bagus atau tidak. Umar sangat terkejut
ketika kameranya secara tak sengaja membidik seorang anak kecil di
seberang jalan yang terjatuh. Kamera Umar mengabadikannya, tepat saat
peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya berhamburan. Umar terkejut
luar biasa, hingga kameranya terjatuh dari pegangannya. Umar merasa
kasihan terhadap anak itu.
Ali Raban dalam posisi merekam gambar
di sudut kanan Simpang Kraft, ketika tiba-tiba meletus suara senjata. Di
depannya, massa secara reflek tiarap. Ali melihat tentara di depan
warung, tak jauh darinya mulai berpencar. Massa kemudian dengan cepat
bangun dan berlarian tak tentu arah.
Raban tidak lari. Dia
berdiri dengan tegap dan merekam orang-orang yang berlarian itu. Mereka
panik dan berusaha mencari tempat perlindungan terdekat.
Tiba-tiba
ada yang mendorongnya dari belakang. Ali terjatuh. Tapi dia masih mampu
mempertahankan kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku
tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan anak-anak mulai
berjatuhan. Mereka kena tembak. Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.
Beberapa
menit berlalu. Tentara-tentara masih menembak. Sambil jongkok Ali lari
ke tengah pertigaan jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia
merasa pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer yang berderet
di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah kempes, kena peluru nyasar.
Dinding warung penuh lubang.
Azhari kebingungan ketika mendengar
suara letusan senjata. Dia berusaha melihat lebih jelas ke arah
tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah berlarian. Seruan "Allah
Akbar," muncul dari antara orang-orang itu.
Azhari kaget. Dia
melihat ke arah tentara yang ada sekian puluh meter darinya. Tentara itu
menembaki orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau. Tadinya
Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa takutnya timbul ketika melihat di
antara orang-orang yang berlarian, seorang pria jatuh tersungkur.
Azhari melihat darah membasahi belakang bajunya.
Dia pun dengan
cepat lari, mengikuti orang-orang yang lari menyelamatkan diri ke arah
Krueng Geukeuh. Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang kecil, dia
pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.
Azhari merasa
tentara itu bagai mengejar dirinya karena rentetan tembakan masih terus
terdengar. Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung kaa
ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah ditembaki, sudah lari
semua)."
Azhari berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke
kebun, dan menerobos pagar berduri rumah penduduk tanpa sadar. Ada
ratusan orang lain berlarian seperti dirinya. Azhari menemukan sebuah
riol tak berair. Lalu bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat
Azhari bersembunyi. Mereka ikut menyusup dekat Azhari. Suara tembakan
masih terdengar. Orang-orang melompati riol yang disusupi Azhari. Mereka
berlarian susul menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas,
Azhari keluar dari riol itu dan kembali lari.
Sudah lebih dari
setengah jam ketika tembakan mulai mereda. Fipin mengeluh ke Imam. Dia
mulai limbung karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka mencari
minum ke sebuah warung.
Keempat wartawan itu kembali berkumpul.
Mereka tak banyak berbicara. Mereka masih tegang karena masih ada
tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak bisa menyembunyikan kesedihan
mereka. Mata mereka berair. Menangis.
Di tempat itu tidak ada
lagi massa. Lengang sekali. Yang tersisa di situ hanya para korban yang
terkapar dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil, sandal, kayu, batu,
parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang tadi panik
berlarian. Mungkin mereka sudah tewas dan mungkin ada yang selamat.
Jerit kesakitan dari orang-orang yang kena tembak mulai terdengar
sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak jelas dari mana saja.
Tentara-tentara
datang mendekat. Mereka melakukan penyisiran, hingga ke persimpangan.
Ada yang naik truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu
berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau berbuat apa,
karena masih ada tentara yang kalap dekat mereka.
Mendadak dua
tentara bertopi rimba datang mendekati wartawan dengan berlari. Wajah
kedua tentara itu sangat marah. Entah disengaja atau tidak, moncong
senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu. Mereka memaki-maki
keempat wartawan yang terdiam itu. Umar, Raban, dan Imam berdiri,
sedang Fipin berjongkok, melindungi kameranya seperti dia melindungi
bayinya.
Tentara itu berteriak dengan marah kepada
wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang kalian inginkan?" Ia mencecar
mereka dengan marah.
Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting. Memangnya kita cover boy?"
Imam
berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin tentara yang marah itu
terekam dalam kamera. Tapi Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan
ketahuan kalau dia merekam sebab lampu merah akan berkedip-kedip. Ali
juga sudah mengingatkan agar dia menutup kameranya.
Dua tentara
itu masih marah-marah, saat komandannya, seorang perwira berpangkat
letnan datang mendekati. Dia berusaha mendinginkan kedua anak buahnya.
"Sudah. Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya itu kembali
ke pasukan mereka.
"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi kembali ke pasukannya.
Imam
merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak segera menyimpan
kaset video yang masih tersimpan di kamera. Imam merasa ajaib bahwa
tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka.
Sepeninggal
tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari ke arah bale-bale. Di sana
ada seorang ibu mengerang. Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang
anak laki berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak itu
mengaduh kesakitan.
"Tulong Pak," anak itu mengerang.
Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."
Umar
juga sedang panik menelepon istrinya di rumah lewat telepon seluler.
Umar menyuruh istrinya menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia.
Di Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha menelepon Umar karena
mendengar ada keributan di Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat
menyebar ke Lhokseumawe.
Evakuasi korban pertama terjadi pukul
13.05. Yang datang pertama kali adalah sebuah labi-labi yang datang dari
arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu datang dengan kecepatan tinggi,
menikung dan berhenti. Semula orang-orang mau mengangkat mayat, tapi
Imam mencegahnya.
"Selamatkan dulu yang masih hidup," katanya.
Imam memimpin evakuasi itu dengan cepat. Syukur orang-orang di situ
menuruti perintahnya.
Selain beberapa labi-labi dari Krueng
Geukeuh, beberapa mobil milik orang dekat lokasi juga dikerahkan untuk
mengangkat korban. Orang sudah mulai ramai datang ke Simpang Kraft.
Korban satu per satu dievakuasi. Para korban diangkat dari jalan, parit,
sawah, kebun, halaman dan dalam rumah penduduk. Mereka kritis.
Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.
Orang-orang mengerubungi
mayat anak kecil yang tertembak kepalanya. Tangannya sudah dilipat ke
dada, seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di situ hanya
mampu berseru, "Laillahaillah."
Raban masih merekam gambar
korban-korban yang tergeletak di jalan, dan di parit-parit. Saat itu dia
melihat seorang anak kecil di tengah jalan, merangkak karena kakinya
tertembak. Ali mengambil gambarnya. Tapi dia tak tahan membiarkan anak
itu terus merangkak sementara dia merekam adegan itu. Ali mengambilnya
dan membopong anak itu ke mobil bak terbuka yang dipakai untuk
mengevakuasi korban.
Tak lama datang ambulans. Sirenenya
mengaung-aung serasa menyayat hati orang-orang yang ada di lokasi
penembakan. Di kejauhan puluhan tentara bergerak perlahan pulang ke
markas Arhanud Rudal.
Imam dan Umar turut mengangkat korban. Imam
mengangkat korban ke dalam ambulans. Umar memotretnya. Foto itu
kemudian yang jadi headline di media massa Indonesia.
Di antara
orang-orang yang datang menolong, Imam melihat seorang pria yang seperti
sok jagoan. Belum lagi mengangkat korban, pria itu membuka bajunya dan
melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda, sibuk
mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di jalan. Mereka datang ke
Imam dan Fipin, untuk memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli
lagi. Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan dirinya
sendiri.
Di tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung,
Imam berbicara di depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya korban di simpang
Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh
bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan Umar
HN melaporkan dari Lhokseumawe."
SIANG itu, bagai ada perang
besar di Aceh Utara. Korban-korban penembakan di Simpang Kraft,
dievakuasi ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng Geukeuh,
Batuphat, dan Lhokseumawe. Mobil-mobil yang membawa korban lari kencang
melintasi jalan antara Krueng Geukeuh-Lhokseumawe. Sirene
mengaung-ngaung, menarik perhatian orang. Ruang gawat darurat rumah
sakit penuh sesak oleh korban-korban yang kritis. Mereka harus antre
untuk mendapat pertolongan. Sebagian korban terpaksa dijejer di lantai
karena tempat tidur tak cukup. Kejadian itu mendadak. Para medis
kewalahan.
Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT Arun
LNG. Mereka mengambil gambar dan data korban. Dokter dan perawat tampak
sangat sibuk. Mereka sempat melarang wartawan mengambil gambar. Tapi
Fipin merekamnya diam-diam.
Di lantai rumah sakit itu, beberapa
korban yang sudah tak bernyawa digeletakkan berjejer di lantai sebuah
ruangan. Darah mengotori lantai dan bau amisnya tercium sangat kuat,
bercampur dengan bau keringat dan debu yang lengket di tubuh korban.
Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan kondisi
mengenaskan.
Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah
jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit.
Suasana agak kacau.
Para wartawan itu mulai merasa ada kenal satu
per satu dengan korban. Ali terpaku, saat melihat anak kecil yang
kepalanya bolong itu, ternyata yang tadi memberi air padanya. Imam baru
tahu, kalau ibu yang tadi tergeletak di gardu, ternyata kena tembak
ginjalnya. Padahal baru beberapa jam lalu si ibu masih tertawa gembira,
bersorak-sorak bersama massa. Imam lagi-lagi mengangis melihat itu.
Keluar
dari rumah sakit, mereka berhenti di masjid Batu Phat. Istirahat
sekalian makan nasi bungkus. Mereka sudah sangat lemas. Imam menelepon
RCTI Jakarta. Beritanya cuma satu. "Ada kejadian mirip Santa Cruz di
Aceh dan kalian harus segera follow-up. Aku akan segera mengirim
materinya. Tapi situasi sangat berbahaya."
Santa Cruz adalah nama
sebuah kuburan di Dili, Timor Timur, di mana pada 12 November 1991,
pasukan Indonesia menembaki orang-orang Timor yang berdemonstrasi di
pemakaman itu, memperingati empat puluh hari terbunuhnya seorang aktifis
pro kemerdekaan.
Imam merasa ada bahaya yang menunggunya. Dia
menyempatkan menelepon seorang temannya untuk memberi kabar ke istrinya.
Dia ingin istrinya tahu bahwa keadaannya baik-baik saja.
Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, "Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe."
Mereka
merasa harus segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab
itu merupakan gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer. Umar
kemudian menitipkan kaset rekaman mereka ke salah seorang saudaranya.
Imam
terus bergerak mencari data korban ke rumah sakit Cut Mutia di
Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih dahsyat. Korban lebih banyak.
Hampir tak bisa tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah
sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia,
yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu
pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.
Azhari
masih sedikit tegang ketika dia tiba di Lhokseumawe pukul tiga siang.
Dia tadi menumpang sebuah mobil sedan yang hendak ke Lhokseumawe. Dia
mendatangi rumah sakit Cut Mutia untuk mencari data korban. Berita
pertamanya di Antara telah naik. Berita itu berjudul, "Tentara
Membubarkan Demonstran di Simpang Kraft dengan Tembakan." Azhari
menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka.
Hingga
malam, Azhari masih bekerja sendiri di kantornya. Dia melaporkan jumlah
korban yang terus bertambah. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya
tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi
siang.
Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton,
mencari data berulang-ulang ke rumah sakit. Dia tersentak ketika kepala
biro Antara Banda Aceh menelepon menanyakan foto peristiwa itu. Di situ
baru disadarinya, ternyata tustelnya masih tersimpan di tas yang masih
menggantung di pinggangnya. Dia bahkan lupa memotret korban di rumah
sakit.
Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya suara
sirene ambulans terdengar sampai pukul 10 malam. Jalanan sepi. Tak ada
mobilitas tentara. Markas polisi dan tentara di Lhokseumawe dijaga ketat
aparat keamanan. Keramaian malam itu terkonsentrasi di rumah sakit.
Keluarga korban dan orang-orang terus berdatangan, untuk menyumbangkan
darah, memberikan bantuan uang, atau sekadar menunjukkan rasa simpati.
Persediaan darah di palang merah kosong. Hingga tengah malam, dokter dan
paramedis masih melakukan operasi mengeluarkan butir-butir peluru dari
tubuh korban yang kritis.
Orang-orang di Lhokseumawe terus
menunggu perkembangan berita. Mereka menunggunya di televisi dan radio.
Berita pertama muncul di acara Seputar Indonesia RCTI pukul 18.30.
Peristiwa itu muncul sebagai headline. Redaksi RCTI melakukan telewicara
dengan Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Jhonny Wahab dan juga
laporan telepon dari Imam Wahyudi langsung dari Lhokseumawe. Sampai di
situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada
wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu.
Malam itu banyak
orang di Lhokseumawe menonton siaran RCTI. Mereka kembali mendengar
berita tentang penembakan orang-orang di Simpang Kraft. Pukul 21.00 RCTI
dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia Dalam Berita milik
TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia.
Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara
terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal,
sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga.
Orang-orang
yang menonton berita itu melalui RCTI marah. Mereka menganggap RCTI
mengeluarkan berita bohong. Tak ada satu pun orang yang menyerang
Arhanud Rudal. Mereka tidak mengerti, kalau sebenarnya itu berita TVRI.
Kegusaran
orang itu tidak diketahui Imam, Umar dan Fipin. Malam itu, mereka
sedang menikmati ikan panggang di pantai Ujung Blang.
Pukul 22.00
kaset rekaman yang berharga itu dikirim melalui bus ke Medan untuk
dikargokan dengan pesawat ke Jakarta. Imam menitipkan kaset yang direkam
Fipin. Ada tiga kaset dengan alamat yang berbeda yang dikirim Umar.
Satu untuk RCTI, satu untuk Associated Press dan satu untuk Reuters.
Umar menggandakan rekaman milik Ali untuk dikirimnya ke dua kantor
berita internasional. Ali sempat protes.
SELASA 4 Mei 1999
pukul 06.00 berita Nuansa Pagi RCTI kembali menyiarkan laporan langsung
Imam dari Lhokseumawe. Wawancara telepon dengan Kolonel Jhonny Wahab
juga dimunculkan. Jhonny Wahab mengatakan tentara bertindak sesuai
prosedur dalam peristiwa Simpang Kraft siang kemarin.
Umar
tergopoh-gopoh datang bersama Ali ke hotel. Dia mengabarkan kepada Imam
dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe marah pada RCTI karena
pemberitaan semalam.
Ketika mereka berada di rumah sakit Cut
Mutia semua itu jadi jelas. Imam merasa dr. Mulya Hasjmy, pemimpin rumah
sakit, tak bebas bicara ketika Imam mewawancarainya. Ada yang mengikuti
mereka sejak di rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.
Pemuda
itu terus mengekor keempat wartawan itu. Di pelataran rumah sakit, Imam
dicerca seorang aktivis mahasiswi yang membuka pos kemanusiaan.
"RCTI pembohong," tuding gadis berjilbab itu.
Orang-orang
mulai mengerubungi Imam. Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda
bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri
memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai tudingan.
"RCTI pembohong," kata bapak itu.
"Itu bukan kami, itu TVRI," kata Imam.
"Kalau begitu saya mau diwawancara."
"Wawancara soal apa?" tanya Imam.
"Soal Simpang Kraft."
"Kemarin Bapak di mana? Saya ada di sana. Tidak perlu mewawancarai Bapak. Saya tahu kejadiannya."
"Ya, tapi berita RCTI itu bohong."
"Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit," sahut Imam.
"Kalau begitu saya mau diwawancara soal Aceh," bapak itu masih berkeras juga.
"Kalau
soal Aceh, kalau saya wawancara bapak, saya punya kewajiban untuk
mewawancarai pihak lain yang menjadi lawan bapak. Mungkin ini militer,"
kata Imam lagi.
"Ya, tapi RCTI ....."
Imam cepat memotong,
"Begini Pak. Saya menghadapi situasi seperti ini bukan yang pertama.
Sebelumnya saya sudah mengalami kejadian serupa, termasuk di Timor
Timur. Bapak tahu Timor Timur? Di sana orangnya Kristen. Tapi di sana
saya memberitakan apa adanya. Kemudian saya menjadi tidak disukai oleh
kalangan militer, saya tempuh risiko itu. Itu orang Kristen, Pak. Ini
Aceh, Islam. Saya Islam."
"Ya tapi kan berita itu bohong. Tidak perlu takut."
"Pak,
saya kasih tahu. Bahwa wartawan itu harus berpijak pada kebenaran, pada
apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya
menyuarakan kebenaran itu jihad," Imam berkata sambil mendorong
telunjuknya ke dada bapak itu. Orang-orang yang semula mencecar Imam
terdiam.
Kebanyakan keluarga korban yang memenuhi rumah sakit
bereaksi keras terhadap media. Tidak hanya televisi tapi juga koran yang
terbit pagi itu. Mereka protes karena menganggap jumlah korban lebih
banyak dari yang diberitakan media. Tak semua korban tewas dibawa ke
rumah sakit. Beberapa anggota keluarga yang tewas ada yang membawa
pulang langsung mayat karena ketakutan.
Jumlah korban masih
simpang siur. Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun
di rumah sakit. Bahkan para mahasiswa yang membuka pos kemanusiaan,
mengklaim jumlah yang tewas sampai seratus orang. Tapi data lengkap dari
tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan
sepuluh orang hilang.
Sempat muncul rasa tidak senang terhadap
wartawan, sehingga siapa pun wartawan yang datang ke rumah sakit,
diperiksa identitasnya dengan ketat. Sejumlah wartawan dari Jakarta,
sudah berdatangan ke Lhokseumawe untuk meliput peristiwa penembakan
Simpang Kraft. Umar sempat berdebat dengan beberapa orang yang
mencurigai seorang wartawan radio lokal. "Itu wartawan juga. Saya kenal
mereka," katanya.
Azhari dan seorang temannya yang juga wartawan
lokal, baru sampai di ruang gawat darurat dan sedang mencatat data
korban, saat dua pria menghampirinya. Salah satunya, seorang pria
bertubuh tinggi, berkulit hitam dan memakai jaket panjang hingga ke mata
kaki. Dia mengintrograsi Azhari. "Dari mana?"
"Wartawan Antara."
"Coba tulis sedikit," dia menyodorkan kertas ke Azhari.
"Abang dari mana kok tanya identitas saya?" Azhari mengira orang itu intel polisi.
"Saya
dari Angkatan Aceh Merdeka," lelaki itu menyibak belahan jaketnya.
Tampak senjata laras panjang jenis AK 47 yang gagangnya terlipat.
Azhari
sempat terpelongo karena baru kali itu dia melihat ada orang dari Aceh
Merdeka. Azhari merasa perlu bicara baik-baik dengan mereka. Di koridor
rumah sakit belasan laki-laki lainnya datang mendekat. Pria dari Aceh
Merdeka itu marah. "Wartawan kenapa buat berita begini. Orang yang mati
banyak sekali, kenapa ditulis cuma 20?"
"Begini, Teungku. Jangan salahkan wartawan, data ini dari rumah sakit."
"Enggak, korban banyak lebih dari 40 orang."
"Oke,
sekarang kita buat perjanjian. Kami menulis apa adanya. Sebab
seandainya kami menulis lebih, orang bisa menuntut kami. Kami enggak
punya apa-apa. Gaji kami tak seberapa. Kami hanya mengabdi untuk
masyarakat," Azhari melawan argumentasi orang-orang itu.
Umar
sendiri panik ketika istrinya melaporkan sambil menangis bahwa ada
beberapa orang yang terus menelepon ke rumah mereka sejak siang. Orang
itu mengancam akan membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita
bohong di RCTI. Umar resah dan dia sampai terpikir untuk membuat
selebaran bahwa RCTI bukan TVRI.
Rasa tidak aman setelah
peristiwa itu dirasakan oleh keempat wartawan RCTI tersebut. Orang dari
Korem Lilawangsa berkali-kali menelepon Umar, ingin bertemu Imam Wahyudi
untuk minta rekaman gambar peristiwa. "Dia sudah pulang ke Jakarta dan
terus ke Singapura untuk berlibur," Umar berbohong.
Ray Wijaya,
produser Seputar Indonesia di Jakarta berkali-kali mengingatkan Imam,
"Kau harus segera pergi dari situ." Sore itu juga, Imam dan Fipin
berangkat ke Banda Aceh dengan bus. Mereka berusaha menyamarkan atribut
RCTI agar orang-orang tidak tahu keberadaan mereka.
Di kantornya
Azhari mulai menerima telepon-telepon misterius dengan nada mengancam
dirinya. Tidak jelas siapa mereka. Azhari selalu berangkat tidur dengan
rasa takut yang tinggi. Sehingga dia terpaksa minta seorang saudaranya
menemaninya.
Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar
video penembakan orang-orang sipil di Simpang Kraft muncul di
televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali Raban yang disiarkan Reuters
ke pelanggannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat
ratusan orang berhamburan dengan panik saat tentara menembak sungguh
membangkitkan emosi siapa saja yang menontonnya. Tragedi ini kemudian
lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft.
RCTI ketinggalan
satu setengah jam dari berita pukul 17.00 di Anteve yang menyiarkan
gambar Reuters. Gambar Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar
Indonesia pukul 18.30. Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi
Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas
dengan brutal dari Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan.
Sisanya sejarah.
Epilog
PASCAPERISTIWA itu Imam
Wahyudi mengalami trauma. Hampir setahun dia merasa dikejar-kejar
bayangan orang-orang yang ditembak di depan matanya. Setiap datang ke
Lhokseumawe, Imam menyempatkan diri datang ke Simpang Kraft. Di situ,
dia bisa lama menghabiskan waktunya, duduk, berdiri, diam, seakan hendak
mengulang kembali semua yang dilihat dan dirasakannya ketika peristiwa
itu berlangsung.
Imam tak pernah bisa menyembunyikan emosinya
ketika menceritakan peristiwa penembakan itu kepada saya dalam dua kali
pertemuan bersama Fipin Kurniawan di Jakarta pada November 2001. Saat
saya menonton rekaman video Simpang Kraft, mulanya Imam menemani saya di
ruang editing. Tapi ketika layar monitor mulai memperlihatkan
gambar-gambar penembakan itu, Imam menghilang keluar ruangan tanpa saya
ketahui.
Fipin Kurniawan mendapat IJTI Award dari Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia sebagai kamerawan terbaik pada 1999. Ali Raban
kurang beruntung tak mendapatkan penghargaan walau Ali lebih berhasil
merekam dalam adegan penembakan. Ali merasa kecewa.
Ali Raban dan
Umar HN telah pecah kongsi. Ali jadi kamerawan Metro TV Lhokseumawe.
Umar jadi koresponden Lativi. Saya mewawancarai mereka secara terpisah
di Lhokseumawe pada Desember 2001.
Umar dan Ali Raban sering
mengalami intimidasi bahkan kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia
ketika meliput di lapangan. Tak mudah jadi wartawan di Aceh. Sangat
tidak mudah. Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara
hati-hati. Dia dan keluarganya tak mau diteror lagi.
Simpang
Kraft masih seperti tiga tahun lalu. Bale-bale di sudut kiri simpang
masih berdiri. Toko dan warung berdinding papan, yang berdiri di
sepanjang kiri kanan simpang, masih membuka usahanya. Tanah kosong di
samping warung belum berubah fungsi. Dulu di sana ada sebuah rumah
panggung sederhana. Tapi sudah dibongkar si empunya rumah, setelah anak
gadisnya turut tewas dalam penembakan. Gadis malang itu, baru pulang
sekolah, dan hendak menukar baju di kamarnya, ketika mendadak peluru
nyasar menembus dinding rumah dan menerjang tubuh si gadis.
Pada
suatu siang berudara mendung Januari lalu, saya duduk persis menghadap
Simpang Kraft. Di bawah pohon rindang, saya bersama Muhajir, anak muda
yang jadi pemandu saya. Mei berdarah itu Muhajir masih murid sekolah
menengah. Dia baru pulang ujian ketika ikut membaur dengan ribuan orang
di Simpang Kraft. Ketika tentara menembak, Muhajir tiarap bersama ribuan
orang. Beberapa kawan baiknya tewas dan luka-luka. Muhajir yang
menemani saya mewawancara orang-orang kampung dan beberapa korban yang
dikenalnya.
Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit
dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh.
Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah
wajah baru. Orang-orang militer yang bertanggung jawab dalam peristiwa
itu, entah di mana kini bertugas. Mereka tak tersentuh hukum. Tapi
Sersan Dua Aditia juga tak ketahuan rimbanya. Dia dinyatakan hilang.
Pihak
militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada
di balik aksi provokasi massa. Tentara menembak karena ada tembakan yang
ditujukan kepada mereka. Peristiwa itu bermula ketika muncul tembakan
ke arah massa dari sebuah bukit kecil di kiri jalan. Akibatnya, sebagian
massa lari ke arah aparat untuk mencari perlindungan. Suasana kacau dan
memanas. Di tengah kerumunan massa yang mulai panik, tentara melihat
ada orang yang membawa senjata AK 47, yang umum dipakai GAM. Orang ini
melepaskan tembakan ke arah tentara.
Karena diserang, tentara
membalas tembakan yang ditujukan ke tengah massa. Maka terjadilah
korban. Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur,
karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas
Detasemen Arhanud Rudal. Berbahaya jika terjadi penyerangan karena
markas itu menyimpan senjata berat dan amunisi termasuk peluru kendali.
Jika meledak, akan terjadi bencana besar yang memakan korban dalam
radius lima kilometer dari markas.
Camat Dewantara Marzuki
Muhammad Amin, saya jumpai seminggu sebelum keberangkatannya ke tanah
suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. "Tembakan pertama itu datang
dari pasukan Arhanud Rudal yang berdiri dekat pohon asam. Mungkin mereka
panik karena dilempari batu oleh massa," kata Marzuki. Marzuki selamat,
karena dia berlindung di balik sebuah pohon. Pohon itu berlubang
sembilan dihantam peluru tentara.
Kasus peristiwa Simpang Kraft bagai
tenggelam oleh berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan di
Aceh selama tiga tahun terakhir. Kasus pembantaian itu rupanya bukan
akhir dari cerita sedih yang menimpa orang Aceh. Tak lama, giliran
Teungku Bantaqiah, seorang ulama di Beutong Ateuh, sebuah wilayah
pegunungan terpencil di Aceh Barat, ditembak mati tentara bersama 51
murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24
prajurit lapangan yang terlibat dalam kasus Bataqiah akhirnya dihukum.
Hampir
tiga tahun lebih para korban Peristiwa Simpang Kraft mencari keadilan.
Koalisi NGO HAM Aceh adalah organisasi nonpemerintah di Banda Aceh yang
selama ini berupaya melakukan advokasi terhadap para korban. Upaya hukum
pertama dilakukan pada September 1999 bersama Lembaga Studi Advokasi
Masyarakat Jakarta. Mereka mendaftarkan gugatan perdata terhadap
Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Panglima Kodam Bukit
Barisan, Komandan Korem Lilawangsa, dan Komandan Kodim Aceh Utara,
dengan tuntutan Rp 83 miliar. Peradilan itu belum pernah berlangsung
karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir
seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total.
Sejak Januari 2002,
sidang gugatan perdata Peristiwa Simpang Kraft berlangsung di
pengadilan Jakarta Pusat. "Ini bukan masalah uang, tapi lebih dari upaya
kita untuk memberikan keadilan untuk para korban. Tapi sayang,
pemerintah tampaknya tidak serius menegakkan keadilan untuk rakyat
Aceh," kata ketua Koalisi NGO HAM Aceh Maimul Fidar.
"Sebenarnya
para korban sudah pesimis untuk mencari keadilan. Selain itu mereka juga
takut karena jika memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak-pihak
yang terlibat dalam kasus itu," kata Maimul Fidar.
Rasa curiga
itulah yang saya tangkap pada seorang anak muda. Dia teman Muhajir. Kami
menemuinya sedang duduk bersama sejumlah anak muda lain di sebuah
warung rokok tak jauh dari Simpang Kraft. Kata Muhajir, anak muda itu
ikut tertembak. Ajaib dia selamat, padahal sejumlah peluru bersarang di
punggungnya. Tapi dia menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu
banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi
tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah
tembak kami orang Aceh."
Saya terpaku dan tak banyak berkata. Saya bahkan tak sempat menanyakan namanya, karena secara halus dia mengusir saya pergi.
[sumber: www.chikrini.blogspot.com, Publish by pantau Mei 2002]
[Photo Ihwanasia]