Dari Pidie, ia berangkat ke Banda Aceh dengan modal Rp 1,5 juta. Kini, dari sejumlah bisnis yang digeluti ia meraih omset hingga Rp 2 miliar setiap bulan. Menariknya, usaha itu berkembang tanpa pinjaman uang bank.
_______________________________________________________________________________
Hari masih pagi ketika seorang lelaki turun dari mobil grand vitara warna putih yang diparkir di depan warung. Di dalam warung, pengunjung belum terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa orang sedang menikmati secangkir kopi sambil sarapan pagi. Di luar, lalu lalang kendaraan mulai riuh rendah di perempatan Simpang Surabaya, Banda Aceh. Ketika matahari merambat naik, yang datang kian ramai. Lalu lalang mobil dari empat penjuru di jalan raya tak mengurangi kenikmatan mereka sarapan.
Begitulah pemandangan sehari-hari di Dhapu Kupi, warung kopi 24 jam yang memakai tiga pintu toko dan menjadi salah satu tempat ngopi favorit di Banda Aceh. Hampir sepanjang hari, dari pagi hingga tengah malam, warung ini tak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang untuk sekedar menikmati secangkir kopi atau janjian dengan teman.
Pagi itu, akhir pekan lalu, Tarmizi sang pemilik warung bergabung dengan beberapa orang dalam satu meja. Mengenakan baju putih, Tarmizi larut dalam obrolan santai bersama pengunjung. "Mereka rakan Dhapu Kupi. Mulai dari pengusaha, pengawai negeri dan notaris, sebelum ke kantor ngopi dulu disini," kata Tarmizi yang akrab disapa Bang Midi.
Pagi adalah jadwal rutin bagi Midi mengunjungi gerai kopi miliknya. Jika mencari Tarmizi, gampang. Cari saja mobil grand vitara putih bertulisan Dhapu Kupi di bagian sampingnya. Itulah mobil milik Midi yang dibeli dari hasil usahanya. Tak hanya itu, dari kerja kerasnya membangun bisnis dari nol, di usia 44 tahun, Tarmizi telah meraup omset mencapai Rp 2 miliar per bulan.
Jiwa dagang pria ramah itu turun dari orang tuanya. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Tarmizi sering menemani orang tuanya berjualan barang-barang kelontong di Simpang Tiga, Pidie. Dari situlah ia pelan-pelan mengenal seluk-beluk berdagang.
Ia mulai merintis usaha sendiri sejak masih duduk di bangku kuliah pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1989. Ketika itu, sebagai mahasiswa ia menyewa satu kamar kos di Perumnas Lingke, Banda Aceh. Kebetulan, di samping kamarnya ada satu kios kecil. Melihat ada peluang usaha, Midi nekat menyewa kios itu. Modalnya? “Saya minta pinjam dari orang tua sebesar Rp 1,5 juta,” kata Midi.
Jadilah Midi kuliah sambil berusaha. Setiap hari, ia turun tangan langsung melayani pembeli. Bahkan ia tak sungkan mengantar barang pesanan langsung ke rumah pembeli. Menggunakan sebuah vespa ia ikut mengantar telur atau beras pesanan warga kompleks tanpa dikenakan biaya tambahan.
Pelayanan lebih itulah yang membuat kios Midi kebanjiran pelanggan. Usahanya berkembang pesat. Tak berapa lama, Midi mengembangkan sayap bisnis dengan membuka empat kios di tempat lain. Masing-masing kios dikelola adiknya.
Pada 1995, ia membuka usaha grosir Istana Telor di Pasar Aceh. Ia melayani penjualan telur ayam dalam partai besar. Tahun 2002, Midi membuat tonggak baru dalam perjalanan bisnisnya. Ia membuka sebuah mini market di depan Masjid Raya. Namanya ditabalkan sebagai nama usaha: Mizi Market.
Kini, kelima kios miliknya sudah berubah menjadi minimarket. Bisnis dagangan sudah mulai menyegarkan hidupnya. Tahun 2008, dari hasil jerih payahnya, ia membeli toko di Simpang Surabaya tanpa pinjaman uang bank. “Sampai sekarang saya belum pernah pinjam uang bank untuk usaha,” ujarnya.
Toko itulah yang kini dijadikan Dhapu Kupi. Warung kopi sebenarnya adalah bisnis yang asing bagi Midi. Ia sama sekali tidak tahu soal seluk beluk warung kopi. Namun, pengalaman buruk di sebuah warung membuatnya bertekad membuka warung dengan pelayanan lebih baik. Ceritanya, suatu malam, Midi diajak seorang kawan nongkrong di warung kopi. Malam itu mereka tidak langsung mendapat tempat duduk, melainkan harus antri menunggu meja kosong. “Dari situlah saya termovitasi untuk membuka warung kopi,” kenang Midi.
Dhapu Kupi menawarkan warna baru dibandingkan warung kopi yang lain di Banda Aceh. Dirancang dengan konsep terbuka, pengunjung bisa menikmati suasana jalan simpang empat Simpang Surabaya dari lantai dua selama 24 jam. Menariknya, dari Dhapu Kupi, konsep warung kopi dua lantai menjalar ke tempat lain. "Kami yang pertama berhasil membawa pelanggan duduk di lantai dua." Kini, hampir semua warung kopi di Banda Aceh menyediakan kursi dan meja untuk pelanggannya di lantai dua.
Melihat bisnis warung kopi yang menjanjikan, Tarmizi nekat membuka cabang di daerah Punge. Meski sibuk di bisnis kopi, ia masih juga menyempatkan diri mengurus bisnis minimarketnya.
Tarmizi mengaku tidak punya kiat khusus dalam mengelola sejumlah bisnisnya. Dia menjalaninya seperti air mengalir. Di semua bisnisnya, kini Midi hanya mengontrol dan mengatur pengelolaan. "Pasti ada hambatan sana-sini, jadi harus pandai mencari celah. Jadi jangan dipaksakan, kita jalani saja kalau nanti sudah mentok kita geser ke samping," ujarnya.
Dari bisnis minimarket dan warung kopi, Midi kini menampung 49 tenaga kerja. Baginya, membuka peluang kerja bagi orang lain merupakan kebahagiaan tersendiri. Itu sebabnya, menjadi pegawai negeri tidak pernah masuk dalam daftar cita-citanya.
“Cita-cita saya hanya ingin membuka lowongan kerja dan menyejahterakan karyawan,” kata Tarmizi. []