Tarikh atau sejarah yang akan dipaparkan berikut ini adalah rangkaian panjang dari tulisan ”SEJARAH PERJUANGAN UMMAH ACEH-SUMATERA”. Sumber tulisan ini adalah Serial Penelitian dan Penerbitan The Acheh Renaissance Movement, karya Al-Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty. Dia adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah sebagai rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim ke XI di Medan Sumut.
Bukan hanya itu, Hilmy Bakar juga sebagai Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI), Direktur RD Universitas Islam Azzahra, Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara serta dosen dan Direktur Institut Pendidikan Safa Malaysia, Ketum Yayasan Islam An-Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), dan beberapa jabatan penting lainnya.
Seri tulisan ini diserahkan beberapa waktu lalu kepada Hamdani, wartawan MODUS ACEH, untuk dipublikasikan, setelah mendapat izin penulis.
Sebagai catatan, langkah ini sebagai usaha untuk membangkitkan ”batang terendam” sejarah Aceh dari berbagai versi, tentunya dengan tidak diklaim sebagai mutlak benar, tapi setidaknya merupakan sejarah dari hasil penelitian yang ilmiah, tentu tidak tertutup kemungkinan ada versi sejarah yang lain.
Seperti apakah isi buku tersebut? Berikut, bagian pertama dari tulisan panjang yang direncanakan akan dipublikasikan dalam bentuk buku, yang saat ini masih dalam bentuk draft.
Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”.
Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”. Jeumpa (Champa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa”. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya.
Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Mahligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.
Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair :
Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani
Hamzah di negeri Melayu,Dari rangkaian syair tadi, jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini.
Tempatnya kapur di dalam kayu
Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data dan analisis yang dikemukakan, bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh berkaitan satu dengan lainnya.
Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Mengenai kebenaran teori ini tentunya menjadi tantangan buat peneliti selanjutnya untuk membuktikan, karena selama ini Kerajaan Perlak lah yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di nusantara. [modusaceh.com]***
View the original article here
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah