MULANYA ruangan berukuran sekitar 5 x 4 meter itu tampak tenang. Seorang lelaki berkumis sedikit tebal bicara datar. Mata lelaki itu menatap baris demi bari kalimat pada laptop di depannya. Ia terus menjelaskan soal kebebasan beragama dalam kehidupan bermasyarakat.
Fuad Mardhatillah namanya. Ia akademisi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Hari itu, Jumat 15 Juni 2012 petang. Dalam ruangan diskusi lembaga riset International Centre for Aceh and Ocean Studies (ICAIOS) di Darussalam tersebut sedang berlangsung pelemparan wacana “Islam Protestan” oleh Fuad.
“Perbedaan seharusnya menjadi sesuatu yang bisa dihargai sebagai hasanah dialektika sosial. Ijtihad perlu terus didorong. Agama harus menjadi ruh dari segala ijtihad atau pencarian tersebut,” ujar Fuad dalam pengantar materinya.
Didasarkan pemikiran tersebut, ia telah menulis sebuah artikel dengan judul “Islam Protestan”. Tulisan ilmiah populer yang bertujuan menjawab berbagai dilema dalam kehidupan umat Islam itu diterbitkan oleh Komunitas Tikar Pandan, sebuah lembaga kebudayaan berlokasi di Lamreueng nomor 20, Ulee Kareng, Banda Aceh.
Ruangan yang awalnya tenang dan khidmad mendengar penjelasan Fuad tiba-tiba berubah gaduh. Kegaduhan mulai muncul saat moderator Teuku Muhammad Jafar Sulaiman mempersilakan peserta untuk bertanya. Sejumlah tangan pun menunjuk ke langi-langit.
Jafar tidak kuasa membendung pertanyaan. Akhirnya, sesi pertama ia persilakan enam penanya. Namun, dalam perjalanannya, nyaris 10 orang bertanya pada sesi pertama itu. Semua penanya semangat memprotes wacana yang diusung oleh Fuad yakni “Islam Protestan”.
“Mengapa ada nama "Islam Protestan"? Ini akan membingungkan umat. Dengan ijtihad saja semua persoalan bisa terjawab. Kalau ada perubahan dalam kehidupan Islam, pintu ijtihad selalu terbuka. Tidak perlu pakai nama-nama protestan,” ujar Said Zuliza, peserta yang hadir atas nama Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
Hal yang sama diutarakan oleh Ridwan Ibrahim, dari dinas yang sama. “Kalau judulnya Islam Protestan, Islam yang mana yang diprotes? Saya sebagai orang Islam tersinggung dengan istilah Bang Fuad,” kata lelaki yang mengenakan baju kuning dan berpeci itu. Ia mengaku dulunya sebagai teman Fuad Mardhatillah.
Mirip dengan protes Ridwan, peserta lainnya juga menyatakan tidak senang dengan istilah Islam Protestan tersebut. “Dengan istilah Islam Protestan, seolah ada Islam lain yang diprotes,” kata Muhammad Riza.
Mencoba menyeimbangi pertanyaan, Irfiansyah dari ICAIOS turut mengemukakan pendapat. “Saya rasa istilah yang digunakan oleh Pak Fuad belum ada landasan filosofisnya,” ujar dia.
Nuraini dari Pascasarjana IAIN Ar-Raniry juga menyebutkan hal yang sama. Menurut dia, apa yang diungkapkan oleh Fuad dengan istilah “Islam Protestan” bukanlah definisi secara normatif, melainkan Islam realitas. Namun demikian, Nuraini juga keberatan dengan istilah “protestan” tersebut.
Beberapa peserta sepakat, agar Fuad, jika hendak memberikan wacana ke publik baiknya tidak mesti kontroversial. Apalagi, kata Fauzi, peserta lainnya, Fuad sampai mencoba menafsirkan Alquran dengan pemikiran pribadinya.
“Tafsir ayat Alquran yang dipaparkan oleh dia tadi itu berdasarkan pribadinya. Jangan berbuat aneh-anehlah. Memang kalau mau terkenal itu mudah, berbuat aneh-aneh. Kalau perlu kencingi saja air zamzam,” tutur Fauzi sembari mengutip pepatah Arab.
Menjawab itu, Fuad mengatakan bahwa ia bukan menafsirkan Alquran, tetapi ia hanya mencoba memaparkan isi hati dengan terinspirasi ayat Alquran. “Itu bukan tafsir, tapi inspirasi,” kata Fuad.
Akademisi IAIN itu juga menyebutkan bahwa pemilihan judul “Islam Protestan” hanya menyangkut marketing. Menurut dia, judul yang kontroversi akan cepat dibaca orang. Karena itulah, ia memilih judul “Islam Protestan”.
Diskusi terus berlanjut hingga menjelang magrib. Moderator yang semua sudah memadai pertanyaan dari perserta tidak kuasa berbuat banyak. Sejumlah peserta lain yang belum mendapat giliran terus saja mengacung tangan dan langsung memaparkan pemikirannya, baik pertanyaan maupun sanggahan.
Seorang peserta lainnya, Muhammad Wali, mengatakan sebenarnya istilah protestan sudah muncul sejak 2007. “Istilah protestan ini dimunculkan oleh mereka di luar sana, mereka yang islam liberal, agar dapat hidup bebas,” kata Wali yang dulunya pernah sekantor dengan Fuad.
Akhirnya, diskusi yang hampir saja ribut itu ditutup tanpa pledoi terakhir dari Fuad sebagai pemateri, karena rata-rata peserta sudah mulai tidak sepakat dengan apa yang diutarakan Fuad. Peneliti senior di Aceh Institute itu terkesan seperti berada dalam persidangan, yang semua orang sedang mempermasalahkannya.[]