Ada Bunda di Bola Mataku

Ada Bunda di Bola Mataku
Bundaku..
Sungguh, aku tak tau bagaimana halusnya kulitmu, warna rambutmu, bentuk jempolmu, senyummu, suaramu, bagaimana bentuk tubuhmu.
Kata Ayah, saat menanti kelahiranku, Ayah dan Bunda berdua bersepadan. Mengoyak-ngoyak sepi dan menyisir kesabaran. Menantiku. Benar begitu, Bun?

"Adinda, aku ingin memelukmu" kata Ayah menyela
"jangan. Perut Bunda sudah terlampau besar. Bunda tak mau anak kita terjepit karena pelukan Ayah." jawabnya singkat.
Aku terlalu mencintaimu, anakku. Bahkan ketika dokter menyatakan aku hamil. Setelah 15 tahun kebersamaan Ayah Bundamu.

Mengajakku berbicara, mendengarkanku murottal al-qur’an, mengelusku meski kita terhalang oleh kulit perutmu yang putih bersih.

tapi dia tidak pernah bosan, dia Bundaku.

Aku adalah seorang Istri berumur 39 tahun. Bekerja sebagai seorang penulis langganan di salah satu koran ternama di kota ini. Dan suamiku, adalah seorang pegawai negri sipil. 5 tahun lebih tua dariku.
Hari ini adalah hari pernikahan kami yang ke- 19. Ingatanku kembali ke masa-masa dia berucap ijab kabul dengan lugas dan tenang di hadapan Ayahku.
Kasihku, insya Allah darah daging kita juga akan melengkapi kebahagiaan di 19 tahun pernikahan kita.

Kini aku sudah 20 tahun, Aku tetap tak tau bagaimana halusnya kulitmu, warna rambutmu, bentuk jempolmu, senyummu, suaramu, bagaimana bentuk tubuhmu. Yang aku tau, hari ini Ayah ulangtahun ke 65. Dan kami akan merayakannya bersama di panti asuhan. Ditemani dengan dentingan piano yang akan aku mainkan. Kata Ayah, Bunda dulu jagonya main piano. Benar begitu, Bun?

“Selamat ulang tahun untuk yang ke 65,, Ayah.”
“Terimakasih, Sayang. Kau mengagetkan Ayah.  Jadi malam ini ke panti asuhan?” Seperti biasa, kepalaku selalu dielusnya ketika kami tengah bersama.
“Jelas, dong. Afifah mau membahagiakan adik-adik di sana dengan menunjukkan permainan piano Afifah.”
“Baiklah, yuk siap-siap. Sebentar lagi kita berangkat. Perlu Ayah antar menuju kamarmu?”
“ Ayah, Afifah sudah 20 tahun. Afifah bukan anak kecil lagi”  

Tiba-tiba di tengah lamunan, seorang dokter datang menghampiriku.
“Ibu, setengah jam lagi kita akan masuk ke ruang operasi”
Anakku, sungguh aku ingin melahirkanmu secara normal. Agar dapat kudengar suara tangismu. Aku tak kuasa saat dokter menyatakan tubuhku harus di caesar.  Tapi demimu, aku akan bertahan nak.  Dan kau harus berjanji padaku untuk tetap bertahan dalam posisimu yang baik. Jangan terlampau lasak.

tapi dia tidak pernah mengeluh. dia ibuku

“Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun Ayahnya kak Afifah,” Ucap mereka. Membuat getir dan aliran darahku bergetar. Sederhana sekali. Ya. Aku berbagi Ayah di sini. Aku tau bagaimana rasanya tidak memiliki seorang yang lengkap. Apalagi mereka? Bahkan seorang atau dua orang itu entah di mana.

Fifah, mainkan pianonya,” Seru Ayah.. “Siap, bos!” Seruku sembali melambaikan tangan ke arahnya.

Piano ini pelan-pelan mulai bersuara. Aku yakin sekali. Sebab tutsnya sudah kutekan. Ah, semoga tak fals. Imagine. melayangkan aku pada sebuah kerajaan langit yang berpendar warna pelangi. disana aku bebas berimajinasi. Kata Ayah, Bunda piawai menciptakan dunia untukku ketika aku masih berada dalam rahimnya, bukan lagi bumi yang akan kujejal namun surga yang kurasakan. Sebab bunda selalu menyanyikan nada itu, piano itu. Kata Ayah ini adalah ladangku mengeja kenikmatan. Tanpa sumbang secuilpun. Aku telah terbang bersama mimpi.

Aku sudah berada di ruang operasi, Suamiku setia sekali mendampingi. Duhai anakku, kami adalah dua orang tua yang teramat sangat merindukanmu.
Cairan infus sudah mengalir di darahku. Seperti sudah firasat, aku mengingat kembali perkataanku kepada suamiku tadi “Jika ada sesuatu yang terjadi padanya. Entah itu ia buta, atau memerlukan ginjalku, atau apapun itu, jangan lupa donorkan mataku untuknya, ataupun ginjalku, atau apapun. Kumohon suamiku”
Perlahan aku tertidur dan mendekap jemari suamiku. Aku semakin dalam. Lebih dalam.

Hingga tiba-tiba aku merasa telah melepaskan tangannya. Bersama kerinduan yang kupupuk habis-habisan. Anakku…

Jilbabmu, bajumu, telah menemaniku. Kata Ayah, badanku mirip badanmu. Berat badan kita pun tak jauh berbeda. Benar begitu, bun?

Aku menangis.
“Bunda..” Desahku. Air mata ini telah menggenang di pelupuk mataku. Sekali kedip saja, maka tumpah ruahlah ia. Menyeruak melihat dunia.
Ayah memelukku dari belakang mencium pipi tembemku. “Anak gadisku seorang. Tumbuhlah kau menjadi penyejuk di panasnya siang. Menjadi penyejuk di padang hijau itu. Gunakan mata Bunda dengan baik. Perhatikan warna-warna, rasakanlah nak. Kita tak hidup di dalam mimpi. “  
Aku yang mencintaimu dalam bayang-bayang. 

Bunda, teruslah menerangi hari-hariku hingga saatnya aku akan bertemu denganmu.
Di suasana yang berbeda.


Dia terbaring disana. Dia istriku yang telah melahirkan seorang anak cantik nan rupawan. Anak yang kita rindukan akan hidup dengan bola matamu, sayang.



Banda Aceh 13 April 2014
Sri Luhur Syastari (@cutdekAyi)

Share this