Inong Aceh dan Kontes "Ratu-ratuan"

Inong Aceh dan Kontes "Ratu-ratuan"
MEMBINCANGKAN inong Aceh, seakan tiada pernah berujung. Beberapa waktu lalu, ramai dibincangkan dalam media ini tentang keberadaan mereka di warung-warung kopi atau café-café yang tumbuh menggurita di Aceh, terutama sejak pascatsunami tujuh tahun silam; “Inong Bak Keude Kupi” oleh Azwardi (27 April 2011), yang diberi catatan oleh Jufrizal dengan “Hikayat Inong Keude Kupi” (30 April 2011), dan Susita melengkapi perbincangan tersebut dengan “Cut Nyak dan Keude Kupi” (4 Mei 2011).

Kini, dara Aceh sepertinya akan kembali menjadi objek perbincangan hangat sehubungan dengan keikutsertaan mereka dalam pemilihan puteri Indonesia tahun ini. Seperti diberitakan Serambi Indonesia (9/7), pemilihan puteri Indonesia (PPI) 2011 kembali digelar di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk Aceh. Salah seorang panitia, mengatakan, persyaratan peserta PPI 2011 untuk daerah pemilihan Aceh pada umumnya sama dengan provinsi lain, hanya dibedakan dengan adanya perjanjian yang mengikat peserta untuk tetap menggunakan jilbab hingga final.

Belajar dari Daoed Joesoep
Menyikapi berita di atas, pertanyaan besar yang urgen untuk dijawab adalah, haruskah dara Aceh mengikuti kontes tersebut atau kontes-kontes serupa lainnya? Untuk menjawabnya, mari kita belajar dari memoar yang ditulis oleh Dr. Daoed Joesoep, “Aku dan Dia; Memoar Pencari Kebenaran”(A. Husein; 2009). Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed memberikan porsi cukup panjang (hal.649-657) untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri.

Daoed Joesoep, saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) periode 1977-1982 menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Pada masanya memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss; miss Kecamatan, Miss Fiat, Miss Pantai, di samping pemilihan Ratu Ayu Daerah, Ratu Ayu Indonesia yang langsung dikaitkan dengan beragam jenis keratuan internasional. Semuanya menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat Indonesia.

Daoed menegaskan, pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang pada hakikatnya adalah sebuah penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini tak lain adalah untuk meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu seperti perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, atau salon kecantikan yang mengeksploitasi kecantikan sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk hidup mewah.

Wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed menyampaikan kritik pedasnya: “Pendek kata, kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut “meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.” Bahkan, Daoed menyamakan peserta kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: “setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan) nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”

Daoed menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan karena banyak pesertanya yang mahasiswi. “Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan.

Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tegasnya. Terhadap orang yang menyatakan bahwa yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. “Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.

Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa menarik wisatawan.

Secara terbuka Daoed mengimbau: “Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani, masih berhasrat menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar menjadi Ibu yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga, perannya yang paling alami. Jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci.”

Dari nukilan-nukilan di atas, masihkan ada dara Aceh yang tetap ngotot mengikuti ajang tersebut? Sebagai penutup, kita meminta umara dan ulama negeri bersyariat ini harus turun tangan menyelamatkan marwah dara dan inong Aceh dari jebakan kontes puteri-puterian. Jika tidak, jangan salahkan jika pada suatu masa kelak, anak cucu kita akan berkata, “Oh, ternyata Pak Daoed yang sekuler itu lebih `islami’ dan pro rakyat daripada indatu kita”.

* Penulis adalah mantan pengurus pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta.


h

Share this