Belanda dan Inggris sama-sama membangun kerja sama perdagangan dengan Kerajaan Aceh, tapi Portugis membuat perkara, menyerang Kerajaan Aceh untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Laksamana Keumalahayati mengusirnya bersama Darma Wangsa Tun Pangkat yang kelak dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda.
Oleh Iskandar Norman
Menjelang tahun 1602 pedagang-pedagang dari Belanda di bawah pimpinan Geral de Roy dan Laurent Bicker dengan beberapa kapal tiba di pelabuhan Aceh. Mereka sengaja datang ke Aceh atas perintah Pangeran Maurist untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh.
Mereka membawa sepucuk surat dan beberapa hadiah dari Pangeran Maurist untuk sulthan Aceh. Dalam surat itu Pangeran Maurist mengakui baiknya sambutan Kerajaan Aceh terhadap para pedagang dari Belanda ketika mereka pertama kali datang ke Aceh. Karena adanya hasutan dari pihak luarlah Sulthan Aceh dan bala tentaranya menjadi bertindak tidak baik terhadap para tamunya tersebut.
Dalam surat itu Pangeran Maurist juga meminta kepada Sulthan Aceh untuk tidak mempercayai lagi hasutan-hasutan dari pihak luar. Ia memohon agar Sulthan Aceh mau membebaskan kembali orang-orang Belanda yang sedang ditawan di penjara Kerajaan Aceh.
J. K. J De Jonge (1862) dalam buku “De Opkompst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie” menjelaskan, Laurens Bicker sebagai salah seorang pimpinan rombongan misi Belanda yang membawa surat Pangeran Maurist untuk Sulthan Aceh itu juga meminta maaf atas dan menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Van Caerden dan kawan-kawan dahulu yang menenggelamkan kapal Aceh setelah merampas rempah-rempah di dalamnya.
Laurens Bicker berjanji kepada Sulthan Aceh, sekembalinya ke negeri Belanda akan menuntut perusahaan dagang (kompeni) Van caerden atas tindakannya itu. Ketika kembali ke Belanda, Bicker benar-benar memenuhi janjinya itu. Ia menyeret perusahaan itu ke pengadilan. Perusahaan itu kemudian dijatuhkan hukuman dan denda oleh Mahkamah Amsterdam harus membayar denda sebanyak 50.000 gulden kepada Kerajaan Aceh. Denda itu kemudian benar-benar dibayarkan.
Setelah Bicker berhasil meyakinkan Sulthan Aceh melalui Laksamana Keumalahayati, maka Sultan Aceh kemudian bersedia menerima mereka di istana. Mereka diberi izin berdagan di Aceh, dan Frederick de Houtman yang ditawaan di penjara Kerajaan Aceh dibebaskan kembali oleh Laksaman Keumalahayati.
Setelah itu, Sulthan Aceh mengirim tiga utusan (diplomat) Aceh untuk menghadap Pangeran Maurist dan Majelis Wakil Raykat Belanda. Ketiga utusan itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad, dan seorang perwira angkatan laut yang diutus oleh Laksamana Keumalahayati, serta seorang bangsawan yang bermana Mir Hasan.
Ketiganya merupakan duta-duta yang pertama kali dari sebuah Kerajaan di Asia yang mengunjungi Negeri Belanda. Utusan Kerajaan Aceh itu diterima oleh Kerajaan Belanda dengan suatu upacara kebesaran, meski waktu itu Kerajaan Belanda sedang berperang memperjuangkan kemerdekaan dengan Spanyol. Dalam upacara itu hadir tamu-tamu kehormatan dari beberapa negara Eropa yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh terhadap Belanda.
Jacob dan Wab mengungkapkan, dengan hadirnya diplomat Kerajaan Aceh itu, telah mengangkat derajat Negeri Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Pangeran Maurist pendiri dinasti oranye di mata negara-negara Eropa waktu itu. Salah seorang diplomat Aceh yakni Abdoel Hamid yang telah berusia 71 tahun, meniggal di kota Middelburg dan dimakamkan di sana dengan suatu upacara kehormatan. Semua biaya pemakanan dan upacara kebesaran itu ditanggung oleh kompeni Hindia Timur (VOC). Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat.
Inggris. Pada tanggal 6 Juni 1602, perwira angkatan laut Inggris, James Lancaster dan rombongannya tiba di pelabuhan Aceh. Sebelum bertemu dengan Sultan Aceh mereka melakukan perundingan dulu dengan Laksamana Keumalahayati. Pembicaraan mereka dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster waktu itu membawa penerjemah seorang Yahudi dari Inggris yang lancar berbahasa Arab.
Dalam pembicaraan itu utusan Inggris mengemukakan tentang pentingnya menjalin hubungan dagang antara Inggris dengan Aceh. Selain itu Lancaster meminta kepada Keumalahayati agar tetap memusuhi Potugis dan menerima dan membantu orang Inggris yang mengunjungi dan berdagang di wilayah Kerajaan Aceh.
Denys Lombard, dalam “Kerajaan Aceh Jaman Sulthan Iskandar Muda”, Balai Pustana, 1986, mengungkapkan, dalam pembicaraan itu, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Lancaster agar semua keinginan Inggris itu disampaikan atas nama Ratu Inggris dan dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada Sulthan Aceh. Setelah surat itu selesai dibuat, Keumalahayati baru memperkenankan Lancester menjumpai Sulthan Aceh. Sulthan Aceh kemudian didampingi Laksamana Keumalahayati bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil Ratu Inggris.
Kedatangan diplomat dan misi dagang Belanda dan Inggris ke Acehitu ternyata membuat Portugis tidak senang. Portugis kemudian mencoba menyerang wilayah Aceh dan merebut sebuah pulau di pantai Aceh untuk mendirikan sebuah benteng pertahanan. Sulthan Aceh tidak terima wilayah kekuasaannya dicaplok. Laksaman Keumalahayati ditugaskan dengan armadanya untuk mengusir Portugis tersebut.
Kudeta Terhadap Sultan
Masih menurut Denys Lombard, pada tahun 1603, Sulthan Alaiddin Riayat Syah Al Mukkammil, mengangkap putranya yang tertua untuk mendampinginya dalam memerintah Kerajaan Aceh. Tapi politik orang-orang di kalangan istana kerajaan Aceh kemudian membuat kekuasaan sulthan dikudeta oleh anaknya sendiri. Putranya itu kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai Sulthan dengan gelar yakni 1604 sampai 1607.
tahun-tahun pertama pemerinthan Sulthan Ali Riayat Syah, Kerajaan Aceh ditimpa musibah kemarau panjang dan pertikaian berdarah dengan adik-adiknya. Kondisi itu diperparah lagi dengan ancaman Portugis. Silthan Ali Riayat Syah yang naik tahta dengan mengkudetakan ayahnya itu tidak mampu mengatasi kemelut tersebut. Apalagi pemerintahannya berjalan dengan tidak mampu memenuhi keinginan rakyat.
Menurut Denys Lombard, hal itu terjadi karena caranya menduduki jabatan Sulthan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri dari singgasana kerajaan. Rasa tidak puas terhadap kepemimpinannya juga ditunjukkan oleh kemenakannya sendiri yang bernama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian atas perintah sulthan ditangkap dan dipenjara.
Pada bulan Juni 1606, orang-orang Portugis dibawah pimpinan Alfonso de Castro datang dan menyerang kerajaan Aceh. Saat itu Darma Wangsa Tun Pangkat masih berada dalam penjara. Meskipun demikian ia tidak tinggal diam. Ia meminta kepada sulthan agar dibebaskan dari tahanan supaya dapat ikut berperang melawan Portugis.
Permintaan itu diperkuat dengan permohonan kepada raja yang dilakukan Laksamana Keumalahayati dan kemudian dikabulkan oleh Sulthan Ali Riayat Syah. Bersama Laksamana Keumala Hayati, Darma Wangsa Tun Pangkat berhasil mengusir Portugis. Darma Wangsa Tun Pangkat inilah yang kemudian dikenal sebagai Sulthan Iskandar Muda, raja paling tersohor di Kerajaan Aceh.[]