Serunai Kelabu

Serunai Kelabu
horizon
Oleh : Pilo Poly

Hari semakin tua di ufuk senja. Mentari seakan enggan menyapa dunia yang fana. kelebat-kelebat rindu yang kau pertaruhkan dengan nyawa benar-benar telah mencampakkanmu. Kini kau menyepi lagi disudut keramaian.

Awan-awan tak pernah berhenti menyapamu dengan kesejatian yang ia sembunyikan. Mendung-mendung enggan menelurkan benih-benih cair yang menentramkan. Ya! Itu hujan yang selalu kau istilahkan setelah hujan pelangi akan datang. Namun..! ada kekecewaan yang tak bisa kau lukis dengan kanvas ceria. atau kau sunting dalam bahasa terdalam jiwa. kini kau rapuh melepuh dalam sedih yang tak terkira.

Sedangkan aku terus saja memperhatikanmu memainkan boneka di balik jeruji berwarna jingga. Aku menantimu kembali, sayang. Walau aku tahu itu tak mungkin menjadi nyata. untuk bisa kembali membelai mesra pipimu yang merah itu atau duduk sambil memberimu sepucuk bunga berwarna kuning yang ku petik di kebun kecil rumah kita.

Teruslah kau menatap dinding-dinding itu. Jangan lihat aku. karena aku akan selalu melihatmu. Sayangku.

***

Soekarno Hatta.

Kunjungan orang tuamu ke Jakarta dari Surabaya menyimpan seribu duka yang mendalam. aku melepasmu hari itu di Bandara Soekarno Hatta. Tak ada gelagat aneh dari dalam sanubari jiwaku. Ia tentram. sebening sungai yang tak lelah mengalir ke muara.

"Aku berangkat dulu ya, Mas" Ucapmu kepadaku sambil menciumi pipi kiri dan kananku. Lalu aku memeluk Ayah dan Ibu kita. Hanya Raihan yang ikut denganmu. karena umurnya yang masih sangat senja untuk ditinggalkan. Sedangkan Syella harus tinggal di sini lantaran harus menyelesaikan kuliahnya.

Waktu itu aku melihat guratan awan yang hitam pekat membumbung di kaki langit. Sungguh pekat. Lalu setelah keberangkatanmu mengarungi jelaga-jelaga angkasa percikan mutiara tumpah membasahi bumi yang terlalu lama gersang.

"Pah. Hati Syellah nggak enak" Ucap anak kita. Aku hanya menanggapi celotehan itu dengan senyum yang ranum. Belum mengerti akan bahasa tubuh yang coba Syella perlihatkan di indera lihatku.

***

Teras Belakang Rumah.

Aku mendekati bunga seruni laut yang tumbuh subur di perkarang rumah kita. Setiap saat kau ada disana bersama Wedelia biflora. Wedelia biflora yang kita katakan bunga seruni laut berwarna kuning. kau juga selalu menyamakannya dengan serunai. Padahal serunai adalah alat musik tiup jenis klarinet yang dibuat dari kayu. Kau tetap saja membantah klarifikasiku. Dan aku selalu tersenyum melihat kegigihanmu.

Ketika panas matahari mulai terik dan membakar seluruh alam Tuhan. Aku mulai memikirkanmu. Aku ambil ponsel kecil lipat dari saku celana berwarna mawar. Aku menekan-nekan tuts ponsel sambil melirik namamu disana. Beberapa kali aku menghubungimu, namun tidak ada sambutan dari penyedia layanan. Nomor yang anda tuju sedang diluar jangkauan. Aku terpukau sesaat. Sengatan terik matahari tak lagi terasa kali ini.

Senja mulai merangkul malam dan menyambut bintang. Rembulan akan cerah seperti biasanya. Aku yakin akan hal itu. Terkadang tebakanku selalu tepat mengenai sasaran. Tapi tidak dengan kali ini. Aku salah! Tebakanku meleset! Malam ini cahaya pendar rembulan tak memperlihatkan keperkasaannya.

Di ruangan yang terang ini seakan gelap gulita yang kurasa. Apalagi setelah Syella mengatakan bahwa pesawat yang membawamu ke Surabaya jatuh di salah satu lautan disana. Aku mengertakan gigi yang rapat ini. Ribuan pertanyaan silih berganti. Dimana kah kau kini Anissa? Orang Tua kita? Anak kita?

***

Berita Di Televisi.

Kepastian kecelakaan pesawat yang kau tumpangi beserta keluarga kecilmu dan Anakku nyata sudah. Beberapa orang terlihat histeris di depan kamera dalam perkarangan Bandara Soeta. Syella Anak kita shock bukan main. dinding-dinding kamarnya yang cerah dengan warna ungu perlahan sendu mengikuti desahan tangisan yang belum terhenti, Sedangkan aku terdiam sejuta salah. Gelagat yang di perlihatkan Anak kita tak dapat kutangkap maknanya.

"Ma! Dugaan Syella, benarkan..? Mama mau pergi..?" dengan segenap sesak Syella anak kita masih saja tertiup kepiluan. Baru kali ini juga aku melihat anak kita begitu terpukul dan aku merasa sangat bersalah Anissa!

Kabar dari seluruh penjuru tersebar sudah. Bahkan burung-burung yang terbang rendah di bawah kaki langit ingin sekali bersenandung pilu lewat siulan-siulan perkabungannya. Siluet yang indah dari pemilik senja meredup tak berdaya. Sedangkan aku bagaikan tonggak yang tak bertahta hiasan ukiran.

"Apa aku harus mengikuti jejakmu?" tanyaku dalam hati yang redup ini, tak kuasa menahan diri hingga secara tersembunyi keputusasaan pelan mengapitku ke dalam kehancuran. Hampir saja ku gariskan nadi ini dengan serpihan kaca penghias kamar yang aku lempari dengan vas berisi bunga serunai kuning kepunyaanmu jika saja Syella tidak menghalangi.

Kau memang tidak pergi ke alamat terakhir manusia berada. Hanya Ayah, Ibu dan Raihan yang di jemput malaikat bersayap putih karena titah sang pemilikNya yang tak bisa terbantah. Tapi! yang pergi hanya ingatanmu tentang keluarga kita. Aku terpaksa memasungmu di balik jeruji jingga. Dan aku selalu memperhatikanmu dari sudut hatiku yang terluka.

END.

Share this