Oleh Ariffadhillah [Ketua Presidium Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)]
Pesta demokrasi telah berakhir dan rakyat
Acheh baru saja melaksanakan hak-hak demokrasi mereka untuk memilih
posisi gubernur, bupati dan walikota dalam pemilu pada 9 April yang
lalu. Hampir 7 tahun setelah penanda tangani Nota Kesepahaman, yang
mengakhiri perang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka
(GAM), sekali lagi rakyat Acheh menjalani salah satu periode paling
sulit dalam masa-masa damai ini.
Meskipun penampilan yang
keterlaluan menjelang pemilu dan selama masa-masa kampanye, calon dari
bekas kombatan yang tergabung dalam Partai Acheh yaitu Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf menang secara mutlak atas kandidat lainnya,
termasuk Irwandi Yusuf yang maju melalui jalur independen, walaupun ia
didukung oleh mayoritas bekas komandan-komandan lapangan GAM.
Pemilu
yang secara terang-terangan dinodai oleh berbagai kekerasan termasuk
serangkaian pembunuhan yang bermotive politik, ancaman-ancaman dan
intimidasi yang luas, pengrusakan kendaraan calon saingan dan segala
macam muslihat kotor lainnya.
Dengan kemenangan ini, Partai
Acheh, yang digambarkan oleh International Crisis Group sebagai satu
"partai otokratis, hampir menyerupai sistem feodal yang tidak menerima
ada perbedaan pendapat", sekarang mengontrol penuh badan legislatif dan
eksekutif. (Acheh’s bloodstained elections, GlobalPost, 6 April 2012).
Ketua
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Nyak Arief Fadhillah lebih lanjut
menegaskan bahwa Partai Acheh mengintimidasi para pemilih hampir di
seluruh wilayah, memaksa mereka untuk memilih kandidat dari partai itu.
"Kami mendapat laporan intimidasi dari hampir semua daerah. Di Pidie,
misalnya, seorang petugas TPS memberikan suara tiga kali. Kami masih
mengumpulkan lebih banyak bukti untuk mendukung dakwaan kami bahwa
intimidasi terjadi secara besar-besaran," katanya. (Paswaslu: Intimidasi
Terjadi di Hampir seluruh Daerah, Achehkita.com, 10 April 2012).
Asian
Network For Free Elections (ANFREL), dalam laporan awalnya tanggal 11
April, sangat kritis terhadap bagaimana pemilu ini berlangsung. Para
pengamat dari organisasi ini menyatakan, bahwa ancaman-ancaman melalui
SMS telah dilaporkan kepada pihak pengamat pemilu di berbagai wilayah,
tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut.
Damaso Magbual, ketua
ANFREL, melaporkan tentang penyimpangan-penyimpangan selama hari
pemungutan suara, seperti satu kejadian dimana seorang anggota
legislatif setempat tiba di sebuah tempat pemilihan dan memerintahkan
para pemilih untuk memilih calon tertentu. Jenis ancaman seperti ini
menjadi lebih buruk lagi, seperti dalam satu kasus yang diamati oleh
ANFREL, para pelaku adalah tokoh "kuat dan terkenal". (Acheh Election
Office Attacked Amid Claims of Vote Buying, The Jakarta Globe, 11 April
2012).
Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) sudah
sepatutnya khawatir tentang perkembangan dan situasi masa depan di
Acheh, khususnya tentang keamanan anggota-anggotanya yang masih
berkeinginan kuat mewujudkan kemerdekaan Acheh. Sejarah menunjukkan
bahwa pihak-pihak pejabat masa depan Acheh belum mampu menyesuaikan
dirinya ke dalam suasana pasca konflik dan masih memiliki
perilaku-perilaku yang tercela.
Masalah hak asasi manusia
Di
Acheh, hak asasi manusia telah dianggap sebagai sesuatu untuk masa
lampau. Meskipun telah ditetapkan dalam pasal 2.2 dan 2.3 dalam Nota
Kesepahaman (MoU) Helsinki bahwa "Pengadilan HAM" dan "Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi" akan dibentuk di Acheh, namun sejauh ini belum ada
kejelasannya setelah hampir 7 tahun kesepahaman damai tersebut
ditanda-tangani. Yang terjadi sekarang adalah pelaku-pelaku telah
berupaya melarikan diri dari keadilan dengan rekonsiliasi di antara
mereka-mereka sendiri dan mengampuni dan melupakan pelanggaran masa
lalu, termasuk pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang tak terhitung jumlahnya selama konflik.
Rekonsiliasi memang
telah terjadi antara bekas kombatan (GAM) dan militer Indonesia. Tapi
tidak ada upaya semacam itu dilakukan antara mantan kombatan dan orang
Acheh sendiri dan antara militer Indonesia dengan pihak korban
pelanggaran HAM.
Harapan yang tinggi untuk membentuk komisi yang
disebutkan di atas, untuk membawa para pelaku ke pengadilan menjadi
semakin jauh setelah dua bekas panglima militer indonesia untuk Acheh,
Jenderal Sunarko dan Mayjen Jalil Yusuf bergabung secara aktif dengan
Partai Acheh dalam masa kampanye untuk memenangkan kandidatnya. Menurut
berita salah satu media lokal, kedua pejabat tinggi militer tersebut,
yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama konflik, hampir
dipastikan akan tinggal di Acheh sebagai penasehat untuk pemerintah
Acheh yang baru.
Gagasan untuk membawa para pelaku pelanggaran
HAM ke pengadilan telah berlangsung lama dan terus-menerus disuarakan
oleh rakyat Acheh untuk menuntut kebrutalan-kebrutalan yang tidak
terkatakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap
rakyat Acheh dalam tiga dekade terakhir ini. Tetapi dengan perkembangan
akhir-akhir ini, Acheh sekali lagi jatuh dalam cengkeraman besi pihak
Jakarta melalui tangan-tangan bekas jenderal yang penuh berlumuran
darah.
Masalah Politik
ASNLF yang didirikan oleh Dr. Tengku
Hasan di Tiro pada tahun 1976, adalah satu-satunya front perjuangan
pembebasan yang sah, yang berdasarkan pada sejarah, hukum internasional
dan konvensi, yang terus memperjuangkan kemerdekaan Acheh dari
neo-kolonialisme Indonesia. Kami percaya bahwa akar permasalahan Acheh
adalah permasalahan politik dan ini harus diselesaikan secara politik.
Oleh karena itu, tanpa kembali ke akar persoalan,
pelanggaran-pelanggaran HAM di Acheh tidak akan pernah terperbaiki.
Masalah Acheh harus diselesaikan melalui prinsip-prinsip dari hak
penentuan nasib sendiri rakyat Acheh untuk menentukan masa depan mereka
sendiri.
Sekitar 60 tahun yang lalu, negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi sebuah resolusi yang
berkaitan untuk memecahkan masalah hak asasi manusia: "Hak orang-orang
dan bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah satu persyaratan
awal untuk merealisasi penuh hak asasi manusia" (Resolusi PBB 637-A, 16
Desember 1952). Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa tidak akan ada
perdamaian tanpa keadilan dan tidak akan ada keadilan tanpa rasa hormat
kepada hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang mendasar. Dan
hak-hak asasi manusia tidak dapat sepenuhnya terwujud bila hak suatu
bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak diindahkan.
ASNLF
sangat prihatin, bahwa perkembangan politik setelah pemilihan umum akan
menciptakan ketidakpuasan yang kuat di antara calon-calon yang kalah
dengan tidak adil, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
ketidakstabilan dan mungkin menyebabkan konflik kambuh lagi.
Situasi
politik di tanah air kami adalah sedemikian rupa sehingga dalam
masa-masa damai ini masih terlalu banyak masalah yang harus
diselesaikan. Dan kami tidak punya alasan untuk mempercayai, bahwa
situasi di Acheh ke depan akan dapat menjamin adanya perlindungan dari
tekanan-tekanan dan intimidasi terhadap hak-hak politik orang Acheh dan
identitas bangsa Acheh. Oposisi belum merasa aman hidup di Acheh.
http://theglobejournal.com/opini/pilkada-aceh-di-mata-acheh-sumatra-national-liberation-front/index.php
http://www.asnlf.org/