Di saat wanita-wanita lain berdiam diri di rumah ketika shalat Jumat tiba, justru Numala bersama tiga rekannya memilih menyibukkan diri terjun lapangan. Bak petugas satpam atau juru parkir, mereka rela berpeluh keringat memberi rasa aman kepada jamaah Jumat di Masjid Agung Taman Makam Pahlawan (TMP), Desa Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
“Sampai detik ini kurang lebih kami sudah empat tahun melakukannya tanpa mengharapkan imbalan dan belas kasihan dari jamaah. Kami ikhlas dan bahagia bisa melakukannya,” ungkap Nurmala kepada Serambi. Bukan tanpa alasan Nurmala bersama tiga rekannya; Nurhayati, Arnizar dan Saniah melakukan tugas yang lazimnya digeluti kaum pria ini.
Wanita-wanita Hebat Pengaman Masjid di Aceh
![]() |
Wanita-wanita Hebat Pengaman Masjid di Aceh |
Semua itu dimulai dari keprihatinan atas banyaknya kasus kehilangan sepeda motor (sepmor) dan sandal yang menimpa jamaah masjid. Sejak itu, Nurmala mulai berpikir untuk berbuat sesuatu, memberi rasa aman kepada para jamaah yang menunaikan shalat Jumat di masjid itu.
Tak asing lagi
Ide menjadi “satpam” masjid pertama kali ia sampaikan kepada suami dan anak-anaknya. “Alhamdulillah, respons suami dan anak-anak cukup baik dan mereka sangat mendukung,” tuturnya. Pekerjaan sebagai penjaga sepeda motor jamaah dilakukan Nurmala setelah semua urusan keluarga selesai. Di dalam keluarga, Nurmala merupakan ibu tiga anak. Suaminya T Anwar bekerja sebagai sopir.
Di luar itu, ia juga menjabat sebagai Kaur Kesra di Desa Peuniti. Ide menjadi “satpam” masjid itu kemudian ia tawarkan kepada ibu majelis taklim di desanya. Tapi hanya ada tiga wanita yang merespons. Mereka adalah Nurhayati, Arnizar, dan Saniah. Ketiganya warga Dusun Tgk Fakinah, Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Bagi sebagian jamaah, wajah mereka sudah tak asing lagi. Setiap menjelang shalat Jumat, Nurmala dan rekannya muncul di halaman masjid. Peluh dan gerah kerap mereka abaikan, demi keamanan sepeda motor jamaah. Menurut Nurmala mereka menjadi “satpam” masjid juga tidak terlepas dari upaya untuk mengubur image negatif desanya.
“Bukan sekali dua kali. Tapi, sudah sering terjadi (kehilangan). Saya khawatir kesan tidak aman itu justru akan berdampak tidak baik bagi desa kami,” ujarnya. Sampai kini Nurmala bersama rekan-rekannya masih tetap bersemangat menjalaninya. “Mungkin di saat Allah telah memisahkan nyawa dari raga ini, pada saat itulah kami berhenti. Kami juga ingin ada ibu-ibu lain di Banda Aceh yang mau melakukannya,” timpal Nurhayati (52), yang memiliki satu anak.
Di balik cerita pengabdian empat wanita ini, ternyata ada kisah lain yang memiriskan hati. Adalah Arnizar (47), dan Saniah, dua wanita yang kini menjalani hidup getir di tengah keluarga. Arnizar merupakan ibu tiga anak. Ia sehari-hari menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya T Mahdi menderita lumpuh beberapa tahun lalu. Sehari-hari Arnizar menghabiskan waktu membantu orang lain untuk menghidupi keluarganya.
Cerita tak kalah getir juga dialami Saniah yang ditinggal mati suaminya. Saniah menghabiskan hari-harinya dengan berjualan di sekolah untuk menghidupi dua anaknya. Namun segetir apapun cerita yang melekat dari keempat wanita ini, pengabdian yang mereka lakukan patut mendapat apresiasi. Setidaknya apa yang mereka lakukan dapat menjadi inspirasi bagi wanita lainnya di Aceh. (misran asri) (sumber: serambi indonesia)
demikian kisah Wanita-wanita Hebat Pengaman Masjid di Aceh, jiwa-jiwa pahlawan yang terus ada dari wanita-wanita Aceh. semoga menginspirasi!