Tradisi Meugang dan Sejarahnya di Aceh

Tradisi Meugang dan Sejarahnya di Aceh
Ikhwanesia - Menyambut bulan puasa Ramadhan, ada tradisi khas dari masyarakat Aceh yang lama telah diwariskan endatunya dahulu. Uroe Mameugang atau Hari Meugang namanya, yang artinya membeli daging menjelang puasa dan menyambut hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Jadi dalam setahun ada tiga kali tradisi meugang tersebut dilakukan.

Tradisi meugang di Aceh sangat kental sekali dengan kekeluargaan, sejak jaman dulu dari masa kesultanan hingga turun-temurun sampai sekarang, setiap tahunnya uroe meugang itu dipastikan ada. Walaupun masyarakat yang miskin sekalipun apalagi yang kaya, pasti akan merasakan daging meugang, baik didapatkan dari pembelian sendiri ataupun tetangga akan memberikan kepada mereka, walaupun sedikit.

Di samping itu juga ada menu lainnya yang dimasak kaum ibu di itu seperti lemang, tape, dan juga ketupat. Setiap masakannya juga akan diberikan ke tetangga, ke famili, ataupun ke fakir miskin. Dan ada juga yang saling tukar-menukar masakannya untuk memeriahkannya.
Budaya meugang lama telah tercipta tidak ada yang melarang tradisi untuk melakukannya, dan tidak ada benturan di agama maupun tradisi, semua dilakukan beriringan untuk meneruskan tradisi nenek moyang.

Tradisi Meugang dan Sejarahnya di Aceh


Tradisi uroe meugang juga mempengaruhi kehidupan kaum pria (kepala rumah tangga) di Aceh, mereka harus membawa pulang daging ke rumah sebagai sikap tanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Tradisi ini dipercaya telah melekat sejak era Kesultanan Aceh, sebuah tradisi yang dijalankan oleh Sultan dan Sultanah di wilayahnya menjelang Ramadhan sebagai rasa syukur dan senang menyambut Ramadhan.

Cerita sejarah inilah yang diinvetarisir melalui teks-teks tertulis (manuskrip) masa lampau, guna melacak khazanah Aceh masa lampau dan direviitalisasi kembali menjadi sebuah paduan, dan tidak menjadi mitos belaka.

Tidak mudah untuk menemukan tradisi-tradisi tahunan yang berlaku di Aceh seperti meugang, meulaot, tradisi blang, hari Asyura, ataupun acara lainnya dalam catatan-catatan lokal. Hal ini banyak menyulitkan peneliti asing untuk melihat Aceh secara komprehensif masa lampau.

Alkisah maka tersebutlah perkataan Majelis Tabal pada hari mameugang puasa.
Maka datanglah Syahbandar dari Seri Rama Setia membawa antatan (hantaran) pada malam 30 hari Sya’ban ke hadapan Biram serta menantikan bulan (hilal). Jikalau tiada keliahatan bulan, maka bermalamlah dihadapan Biram serta dengan antatannya.

Masih dalam sumber yang sama, adat hantaran mameugang disertai dengan bumbu masakannya yang diserahkan kepada Tun Diwa Berani berupa kerbau satu ekor, bawang putih satu cupak, jintan putih 1 cupak, ketumbar 1 cupak, dan kunyit kering 1 cupak. Tradisi Meugang dan Sejarahnya di Aceh

Pada saat menunggu hilal para petinggi Kerajaan akan dijamu oleh Sultan Aceh di Istananya.
Maka hadiah bawaan tersebut menjadi bagian dari hadiah jamuan nantinya selama satu atau dua hari.
Hingga terjadi pengumuman awal Ramadhan dilakukan dengan cara unik pula.
“Kemudian maka berdirilah Bentara Blang, kemudian ditiup oranglah nafiri tujuh ragam, serunai (terompet) pun tujuh ragam juga, kemudian dipalu oranglah gendering dong tujuh kali tujuh ragam.”
Kegiatan ini dilakukan dengan beragam agenda lainnya, termasuk juga iringan pawai akbar dengan pasukan kuda dan gajah sebagai rasa suka cita menyambutnya datangnya Ramadhan.
..Maka pada keesokan harinya diarak oranglah Raja Tajul Intan dikarang. Maka oleh orang yang beribu Raja Tajul itu citaraja dan yang menggerak gajah pawai arak-arakan.“

Ini menunjukkan bentuk kesenangan dan kebahagiaan bagi sang Raja dan pengawal gajah dalam perayaan tersebut dalam rangka menyambut bulan suci tersebut.

Pada saat acara berlangsung, Bentara Blang akan menulis surat pengumuman Aceh yang akan dikirim atau dibawa pulang oleh setiap hulubalang (uleebalang) ataupun bentara di setiap sagoe, guna untuk diumumkan kepada seluruh masyarakat di desa-desa untuk diteruskan hingga kepada masyarakat seluruh gampong /desa. Juga bersamaan dengan itu, setiap mereka akan membawa pulang daging dari hantara yang diserahkan kepada warga dilakukan oleh pihak Kerajaan dan Geuchik gampong untuk dibagikan kepada mustahik. Dan untuk pemberitahuan awal puasa itupun diiringi dengan peh tambo (beduk) di meunasah-meunasah dan balee pengajian.

Maka dari sinilah sebuah adat yang menjadi tradisi yang dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa ada qanun atau aturan Sultan, dan pada akhir abad ke 20, “power Kesultanan” telah beralih fungsi ke struktural masyarakat, sehingga adat istiadat cukup dengan reusam kelembagaan Kesultanan (pemerintah).

Tentu, tradisi ini harus tetap dipertahankan sesuai dengan situasi dan kondisi waktu dan tempat.
Dan kita masih bisa bersyukur, dengan khazanah indatu Aceh masih terselematkan dan tersimpan di banyak baik di dalam maupun luar negeri.

_______________
Berbagai sumber


Share this