Wazir Rama Setia atau Menteri Sekretaris Kerajaan merupakan jabatan sangat penting dalam Kerjaan Aceh. Ia yang mengatur administrasi kerajaan. Jabatan itu terakhir dipegang oleh Said Abdullah Di Meulek.
Oleh Iskandar Norman (*
Sebagai
sekretaris kerajaan, Said Abdullah Di Meulek bertugas menulis dan
menyimpan surat-surat penting (sarakata) yang dikeluarkan oleh raja.
Sarakata-sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan
khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para
ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat
melawan agresi tersebut.
Sebelum Belanda menyerang
Kerajaan Aceh, terjadi beberapa kali surat menyurat yang meminta agar
Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Namun permintaan
itu ditolak dengan halus melalui surat-surat balasan dari Sultan Aceh,
Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Surat-surat itu semuanya ditulis atas
instruksi sulthan kepada Said Abdullah Di Meulek.
Seperti surat balasan terhadap
surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan
disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu
antara lain berbunyi. "Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan
yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama
Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh."
Pernyataan perang pihak Belanda
itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu
juga. "kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga
Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha
kuasa".
Menurut Ali Hasjmy dalam
"Peranan Islam dalam Perang Aceh" isi surat penolakan itu terkesan
lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan
iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan
perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda
itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan
pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim
Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan
uleebalang seluruh Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan
tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis
Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, musyawarah
melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau
Belanda menyerang Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah dipimpin
oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji
Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah tersebut berbunyi:
"Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik.
Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam."
Sumpah ini
kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan
dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan
Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli
kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek,
sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.
Menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang
Setelah menggelar rapat kerajaan dan pengambilan sumpah tersebut,
Sultan Alaiddin Mahmud Syah menerima laporan dari Kepala Balai Siasat
Kerajaan (semacam kepala intelijen negara sekarang) bahwa Belanda sudah
dapat dipastikan akan menyerang Aceh.
Mendapat laporan itu, Sultan
langsung membentuk kabinet perang yang dipimpin oleh tiga orang. Sultan
tetap berindak sebagai kepala pemerintahan, sementara tiga pimpinan
kabinet perang yakni Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah ditunjuk
sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai panglima
besar angkatan perang dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh.
Kemudian Tuanku Mahmud Banta
Kecil Kadir Syah diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul
Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri dalam
dan luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan.
Sementara satu lagi Said
Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris
Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat
Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Pada Ahad (Minggu) 1 Muharram
1290 H (1873 M) Sultan melantik kabinet perang tersebut. Ketika menteri
itu diambil sumpahnya di dalam Mesjid Istana Baiturrahim. Upacara
pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Muadhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk. Sumpah itu berbunyi:
"Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing."
Sumpah ini juga dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab.
Setelah selesai pengambilan sumpah,
maka kabinet perang mengeluarkan maklumat kepada seluruh Uleebalang dan
rakyat Aceh. Maklumat itu disampaikan oleh Wakil Panglima Perang Said
Abdulah di Meulek tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M). Maklumat itu
berjudul "Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda."
Sultan menyadari akan bahaya
yang ditimbulkan dari ancaman perang oleh Belanda. Ia pun memberi
penjelasan tentang hal itu kepada kabinet perang bentukannya. Setelah
penjelasan itu diberikan, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar,
Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan surat perintah
yang berisi pemberitahuan kepada uleebalang seluruh Aceh untuk menjaga
pantai Aceh dari serangan Belanda, mulai dari Kuala Gigieng dan Ladong,
Kampung Pande Meunasah Kandang, Kuta Reuntang, Kuta Aceh, Pante Pirak,
Babah Krueng dari Beurawe dan Gunung Kesumba.
"Tiap tempat tersebut jangan
tuan-tuan tinggalkan. Kalau tuan tinggalkan tempat tersebut, salah satu
tempat itu, maka musuh Holanda senang saja menyerang kita Aceh",
Perintah Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Dalam surat itu Sultan juga
meminta kepada rakyat Aceh untuk saling bantu membantu dalam usaha
melawan Belanda yang akan menyerang Aceh. “Jangan tuan-tuan
berkhianat kepada Agama Islam, durhaka kepada Allah dan Rasul, durhaka
kepada kerajaan dan tidak setia kepada neger dan bangsa,†lanjut Sultan dalam suratnya.
Sultan juga memerintahkan untuk
menghukum mati siapa saja yang memihak atau membantu Belanda (Holanda)
dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh.
Setelah memastikan bahwa Belanda
akan benar-benar menyerang Aceh, maka sultan kembali mengadakan
musyawarah besar di Mesjid Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah
ibu kota kerajaan Aceh. Hadir dalam musyawarah itu para ulama besar
seluruh Aceh, para uleebalang, para panglima, para imam, para keuchik
raja, keujruen dan pembesar kerajaan lainnya.
Setelah Sultan mejelaskan bahwa
kerjaan telah bertekat bulat tidak akan tunduk pada Belanda, maka Wazir
Rama Setia/ Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral
Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan sarakata pernyataan perang.
Sarakata tersebut bertanggal Kamis 20 Muharram 1290 H (1873 M).
Salah satu bagian isi sara kata tersebut adalah:
"Dan sampaikan amanah hamba kepada seluruh rakyat Aceh, timu barat, tunong baroh, tuha muda, kaya dan miskin hendaklah melawan Holanda, jangan berhenti-henti dengan apa saja, yaitu perkataan, perbuatan, senjata, khusus rakyat Aceh dan umumnya rakyat bawah angin, jangan takut, jangan ngeri. Kita berperang dua menghadap maut, yaitu syahid, kedua menang, ketika tidak ada sekali-kali yaitu kalah dengan menyerah diri kepada Holanda".
Pada bagian surat lainnya Sultan
Aceh kembali meminta dengan tegas agar terus melawan Belanda dan tidak
pernah tunduk apalagi menyerah kepada Belanda.
"Maka itulah wahai sekalian hulubalang Pidie semuanya, dan sekalian hulubalang Pase semuanya, Aceh Timu semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Tengah semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya, datok dan keujruen dans ekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut, hendajlah padas ekalian tuan-tuan mengikuti menurut melawan Holanda berganti-ganti sehingga berhenti Holanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya."
Dengan mengedepankan anjuran
agama untuk melawan kafir, rakyat Aceh diajak untuk menyumbangkan harta
benda, tenaga dan nyawa untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh. Untuk
memberikan contoh pada rakyat, maka para petinggi Kerajaan Aceh terlebih
dahulu menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam perang melawan
Belanda.
Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil
Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah
Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk
biaya perang. Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 H
(1873 M) dan dicatat dalam sarakata risalah sedekah bertulis tangan
huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir
Rama Setia Kerajaan Aceh.
Untuk menghadapi ancaman Belanda
yang kian nyata menyerang kedaulatan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah
bersama kabinet perangnya terus mengadakan berbagai persiapan untuk
menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda tersebut.
Sultan mengemukakan ancaman
Belanda tersebut kepada Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73
orang wakil rakyat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Kanun Meukuta
Alam halaman 90-91, naskah lama bertulis tangan dengan huruf Arab.
Dalam dokumen lama kerajaan Aceh
disebutkan, ketika pada masa-masa tegang menghadapi ancaman Belanda,
Pada Jumat 30 Zulhijjah 1289 (1872) Kerajaan Aceh menggelar sidang
istimewa di dalam Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam. Sidang
istimewa itu disebut sebagai sidang istimewa Balai Majelis Mahkamah
Rakyat.
Dalam sidang itu disampaikan
khutbah kerajaan yang dibacakan oleh Said Abdullah Teungku Di Meulek
dalam kedudukannya sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) dan
sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan
Jendral.
Sidang istimewa itu selain
dihadiri oleh 73 orang anggota Balai majelis Mahkamah Rakyat juga
diundang para uleebalang, para ulama, pimpinan rakyat dan para perwira
angkatan perang.
Khutbah kerajaan yang dibacakan
Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam sidang istimewa itu diantaranya
berisi perintah dari keputusan mufakat kerajaan untuk menghadapi
Belanda.
Siapa Di Meulek?
Pada masa mudanya, Said Abdullah
di Meulek sudah aktif dalam perpolitikan kerajaan Aceh. Pada masa Aceh
dipimpin oleh Sulthan Sulaiman Alaiddin Ali Iskandar Syah (1251-1273
Hijriah = 1836-1857 Masehi) ia diperbantukan pada badan Wazir Badlul
Muluk (Kementrian Luar Negeri).
Pada tahun 1271 Hijriah (1855
Masehi) ia menjadi anggota delegasi Aceh ke Padang untuk melakukan
perundingan dengan Belanda, yang telah mencaplok wilayah Kerajaan Aceh
di pesisir barat dan timur Sumatera. Pengalaman di kementrian luar
negeri itu kemudian kemudian mengantarnya menjadi salah seorang mentri
di kerajaan Aceh.
Pada masa pemerintahan Sulthan
Ibrahim Alaiddin Mansur Syah, ia diangkat menjadi Wazir Rama Setia
Keurukon Kitabul Muluk (Menteri Sekretaris Negara). Jabatan itu
dipegangnya hingga masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah
(1286-1290 Hijriah = 1870-1874 Masehi). Kemudian pada masa perang Aceh
melawan Belanda ia merangkap jabatan sebagai Wakil Panglima Besar Perang
Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sebagai Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meulek banyak menulis naskah-naskah penting dari
Kerajaan Aceh. Naskah itu disimpan dalam Darul Asar (mesium) Kerajaan
Aceh yang terletak di samping Mesjid Baiturrahim dalam Kraton
Daruddunia. Mesium itu pada masa perang dengan Belanda dimusnahkan oleh
Belanda bersamaan dengan diruntuhkannya istana kerajaan Aceh.
Said Abdullah Di Meulek
merupakan keturunan dari Syarif Hasyim Jamalullail Di Meulek, yang
merupakan sulthan Aceh pertama dari dinasti Syarif setelah menggantikan
dinasti wanita (para sulthanah-red) yang memerintah di Kerjaaan Aceh.
Ali Hasjmy dalam "Peranan Islam
dalam Perang Aceh" mengungkapkan, kekaknya Said Abdullah Di Meulek
tersebut naik tahta menjadi sulthan Aceh melalui perebutan kekuasaan
tanpa pertumpahan darah, pada Rabu 20 Rabiul Awal 1109 Hijriah (1699
Masehi).
Ia naik tahta mengantikan
Sulthanan Aceh yang terakhir, Sri Ratu Kamalatsyah yang diturunkan dari
jabatannya akibat perebutan kekuasaan yang dilakukan Syarif Hasyim.
Setelah diangkat menjadi raja, Syarif Hasyim digelar Sulthan Badrul Alam
Syarif Hasyim Jamalulail. Ia memerintah sejak 1110 - 1113 Hijriah
(1699-1702 Masehi).
Sebelumnya, Syarif Hasyim
merupakan anggota delegasi Syarif Mekkah yang diutus ke Aceh pada zaman
pemerintahan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriah = 1678
-1688 Masehi). Ketika delegasi itu kembali ke Mekkah, Syarif Hasyim
memilih untuk menetap di Aceh. Ia kemudian diangkat menjadi penasehat
kerajaan, sampai pada masa Sultanah Kamalatsyah. Ia kemudian menjatuhkan
ratu itu dari tampuk kekuasaan dengan alasan perempuan tidak boleh
menajdi raja.
Pemerintahan Dinasti Syarif ini
berlangsung hingga tahun 1139 Hijriah (1726 Masehi) dengan sulthan
terakhir yang bergelar Shultan Syamsul Alam Wandi Teubeng yang
memerintah hanya satu bulan.[]
Di Kutip dari Harian-Aceh.com