Ilmuwan Aceh Yang Masyhur di Belanda

Ilmuwan Aceh Yang Masyhur di Belanda

ATAS kebaikan Dr Eka Sri Mulyani saya akhirnya berkenalan dengan Profesor Teuku Iskandar (86). Putra Aceh ini adalah sosok terkenal yang selalu dibicarakan para scholars di Negeri Kincir, Belanda.

Orang Aceh mengenalnya sebagai pakar manuskrip Aceh, terutama tentang hikayat Aceh. Selain itu, nama Teuku Iskandar menjadi legendaris karena ia berperan besar dalam membidani berdirinya Fakultas Ekonomi yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) 51 tahun silam.

Generasi muda Aceh, bahkan ribuan sivitas akademika Unsyiah saat ini, mungkin banyak yang tidak kenal siapa dia, ilmuwan yang justru sangat berjasa bagi universitas kebanggaan rakyat Aceh itu.

Dengan beliaulah saya dipertemukan Dr Eka Sri Mulyani pada sebuah sore yang cerah pekan lalu. Bersama Dr Eka kami mengayuh sepeda ke kediaman Teuku Iskandar. Ia tinggal di rumah yang

asri di pinggiran Kota Leiden. Rumah itu bercat putih bergaya klasik, dengan tanaman hias di sana-sini. Di dekat rumahnya terdapat padang rumput hijau. Kuda-kuda asyik menikmati rumput muda di situ.

Begitu kami menjejakkan kaki di tangga rumahnya, Prof Iskandar menyambut dengan penuh kehangatan. Beliau langsung menyapa saya dalam bahasa Aceh. Bahasa Acehnya fasih sekali, meski sudah berpuluh tahun ia menetap di Belanda.

Pembicaraan kami pun dimulai dari topik yang santai. Ia bercerita bahwa beberapa waktu lalu jatuh sakit, sehingga tak dapat menghadiri upacara kenegaraan (undangan Sultan Brunei) dan sejumlah undangan mancanegara lainnya.

Semangat berkarya dan terus berkarya tak pernah lekang dari sosok Prof Iskandar. Beliau punya keahlian di bidang sastra Aceh. Pengetahuannya tentang hikayat-hikayat pada masa Kerajaan Aceh nyaris tak tertandingi.

Buku-buku berskala dunia karya beliau sudah terbit, di antaranya Mapping Acehness Past, Pusat Perdaban Melayu, dan lain-lain. Buku-buku yang dia hasilkan menjadi acuan bagi peneliti baik dari Malaysia maupun di Belanda sendiri. Sekarang pun ia sedang menyelesaikan buku yang mengulas Kitab Bustanussalatin (karya Nuruddin Ar-Raniry).

Pria yang lahir di Trienggadeng, Pidie, 86 tahun yang lalu ini masih sangat produktif. Setelah pensiun mengajar di Leiden University ia tetap aktif berkarya. Di ruang kerjanya yang asri penuh dengan dokumen-dokumen autentik. Saya kagum betapa luar biasa pengetahuannya tentang sejarah Aceh.

Ia berkisah tentang upayanya mengumpulkan naskah-naskah kuno yang saat itu tidak diperhatikan masayarakat Aceh. “Saat saya muda di Aceh saya dapati naskah-naskah kuno Aceh digunakan pedagang untuk membungkus kacang atau cabai. Saya terenyuh, lalu selembar demi selembar naskah kuno yang merupakan sumber sejarah tertulis itu, saya kumpul dan beli dari pemiliknya,” ungkap Prof Iskandar.

Tak cukup hanya mencari naskah kuno Aceh di Aceh, ia kemudian melanjutkan perburuan ke Belanda, karena ia tahu ketika tentara Belanda menjajah Aceh banyak naskah kuno Aceh yang dilarikan ke Belanda. Di antara kitab yang dia dapatkan adalah Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar-Raniry yang dia beli di Pasar Buku Belanda.

Sosok tua yang ingatannya masih setia ini tetap bersemangat menceritakan kisah-kisah sejarah Aceh. Termasuk pengalamannya sebagai pejuang pada masa penjajahan Belanda. Kemudian ia menjadi akademisi di Unsyiah, khususnya di Fakultas Ekonomi.

Prof Iskandar berkali-kali menekankan bahwa Aceh sekarang harus memiliki sebuah catatan mozaik sejarah yang lengkap untuk melanjutkan kesinambungan sejarah Aceh agar tidak punah.

Beliau katakan juga kepada saya bahwa sejarah kejayaan Aceh tidak terlepas dari peran dan kerja sama raja dan ulama yang saling mengisi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Aceh saat ini pun, menurut Prof Iskandar, mestinya tetap mengadopsi cara tersebut.

Saat saya bertanya, apa Anda masih melukis? Langsung beliau tunjukkan hasil lukisannya dengan objek padang rumput yang dikelilingi pohon oak yang rindang. Ternyata jiwa seni beliau tak luntur jua. Menariknya lagi, pohon belimbing untuk membuat asam sunti dan pohon teumeurui pun dia tanam di pekarangan rumahnya. Meski jauh dari Aceh, tetapi kekhasan Aceh tak hilang darinya.

Tanpa terasa senja pun hampir tiba. Kami mohon pamit dari rumahnya. Pertemuan singkat itu disudahi dengan foto bersama. Saya senang luar biasa karena telah dipertemukan dengan seorang tokoh Aceh yang namanya masyhur di negeri Belanda.

***

Oleh Ismail Sulaiman adalah Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Aceh, Fellow Research Student di Leiden University, Harian Serambi Indonesia.
atjehcyber.tk
 

Share this