Cinta, Ta’aruf-mu Salah Langkah!

Cinta, Ta’aruf-mu Salah Langkah!
Cerpen
Oleh: Tsalitsa Az-zahra

Langit kemerah-merahan yang menyelimuti alam tempat tinggalku mulai merona dengan barisan awan-awannya di medan senja. Aku yang duduk di bawahnya terusik pada iringan kisah masa laluku yang membuat hatiku sering diserang rasa dag dig dug tidak karuan. Traumatik rasanya. Ya… benar, benar-benar traumatik. Bagaimana tidak, cinta memang perkara fitrah namun kali ini cinta itu dibalut dengan kesalahpahaman manusia dalam mengartikan kata ta’aruf.

Beberapa waktu silam ketika aku beranjak dari dunia putih abu-abu, rasanya bebas sudah segala beban yang terus menerpa otak kiriku. Sedikit istirahat dari banyak buku yang menumpuk di meja belajar. Saat itu, mulailah aku melamar di salah satu lembaga kesehatan yang berbasis islamik, tak menunggu lama akhirnya aku diterima sebagai salah satu tenaga medis di sana. Uh… senangnya. Hatiku meronta-ronta gembira. Keseharianku yang sudah terlepas dari kewajiban sebagai pelajar, mulai ku isi celah-celah waktu dengan kegiatanku di dunia maya: membaca artikel islami, kata-kata motivasi, serta menggali wawasan keislamanku sebagai muslimah. Tak sengaja ketika aku membaca salah satu postingan Fans Page di situs jejaring social Facebook, aku tersentak kagum pada posting tersebut yang isinya mengisahkan bagaimana harmonisasi cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra yang tidak pernah disentuh oleh kesalahpahaman dalam mengapresiasikan cinta. Sucinya cinta mereka membuatku iri dan ingin menjadikan kisah hidupku dalam perkara cinta layaknya cinta yang dikisahkan mereka. Merasa tertarik, aku iseng-iseng meng-copas (copy-paste) posting tersebut dan ku update dalam status Facebook-ku, barangkali bisa menginspirasi teman-teman Facebook-ku yang lain ketika membaca status ini, dalam benakku berkata.

Wooww… ternyata status yang ku update itu memberikan banyak sumbangan jempol (like) pembacanya. Tak lama room chat Facebook-ku didatangi tamu tak diundang, yang sedikit mengusik aktivitasku di sana. (Siapakah dia?) Ya, sebut saja dia Si Ikhwan, seorang Ikhwan yang lembut tutur katanya, yang fahim agamanya dan yang smart intelektualnya (-awalnya yang aku tau). Dia adalah seorang mahasiswa semester awal, jurusan Matematika Science, FMIPA di salah satu Universitas di Tangerang Selatan. Awalnya tak banyak bicara, namun intensitas komunikasi yang tak jarang di Facebook yang pada akhirnya membuat aku dan dia akrab juga. Lama-lama ko’ ada yang aneh ya kalau enggak’ komunikasi sama Ikhwan tersebut, walaupun yang dibicarakan adalah perkara-perkara urgensi seperti keagamaan dan seputar fakta kehidupan baik jasmani maupun ruhiyah. Tak menutup kenyataan hingga pada akhirnya aktivitas chatting dan saling bertukar postingan di Facebook semakin meningkat. Mulai dari memberikanku ucapan selamat dan motivasi karena telah diterimanya aku di salah satu lembaga kesehatan, sampai pada malam hari kelahiranku tiba, Ikhwan tersebut memberikanku banyak kejutan lewat puisi-puisi yang di posting dalam wall Facebook-ku hingga kata-kata yang dituturkannya dalam room chat yang berisi “Dik, Maukah adik menjadi istri kakak dunia dan akhirat”. Byuurr…. rasanya hati seperti disiram madu, manis rasanya. Ikhwan menawarkan diri untuk berta’aruf denganku dan berprinsip sebagai seseorang yang anti-pacaran. Seketika aku teringat pada kisah Ali dan Fatimah yang menginspirasiku untuk mengikuti jejak cinta mereka, mungkin ta’aruf adalah solusinya. Malam itu hanya rasa haru yang menyelimuti hati di malam miladku yang ke-17. Mungkin masih tergolong labil untuk belia sepertiku yang baru saja menginjakkan kaki di usia ke-17, apalagi ingin mengarungi hari ke dalam prosesi ta’aruf yang diharapkan akan berujung ke jenjang pernikahan. Saat itu aku tak banyak bicara, dan hanya mengiyakan apa yang dikatakan Sang Ikhwan saat berlangsungnya komunikasi di Facebook.

Sepertiga malam lepas dari obrolan tersebut, aku munajatkan segala isi hati yang menumpuk dalam benakku, istikharah cinta hampir ku lakukan setiap hari untuk memohon kepada-Nya agar jalan ta’aruf ini berjalan sebagaimana yang diinginkan aku dan Ikhwan tersebut. Hem… hari-hariku rasanya semakin sering dihabiskan berkomunikasi dengan Sang Ikhwan walau hanya di Facebook. Beberapa bulan berlalu, akhirnya Ikhwan memintaku agar dia bisa menghubungiku lewat telepon berkenaan dengan masalah urgensi yang terjadi dalam hubungan antara aku dan dia. Jelas pada akhirnya kami berdua bukan saja berkomunikasi lewat jejaring social Facebook tapi juga lewat telepon. Setiap hari Facebook dan telepon selularku dipenuhi dengan kehadiran Sang Ikhwan (ya… yang seperti ini sepertinya bukan lagi disebut ta’aruf) -tapi kala itu yang menguasai hati dan pikiranku adalah tentang dia dan keinginanku untuk menikah.

Melihat hari-hariku yang dipenuhi dengan komunikasi bersama Sang Ikhwan di telepon selular, Ibu, Ayah dan Saudara-saudaraku gerah juga, dan mencoba mencari informasi tentang Ikhwan tersebut, juga sejauh apa hubunganku dengan dia. Aku jelaskan kepada kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku mengenai keseriusannya padaku, walau tak sedetik pun aku dan Sang ikhwan tersebut pernah mengenal atau bertemu dalam dunia nyata. Zlep, serentak mereka terkejut dengan apa yang ku katakan, mungkin yang ada dalam benak mereka adalah kekhawatiran dan kewas-wasan yang saat itu juga tergambarkan di paparan raut wajah mereka, aku adalah gadis yang masih sangat belia, labil dan belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk diriku sendiri, mana mungkin aku bisa mengarungi bahtera rumah tangga yang jelas pasti banyak tantangan di dalamnya. Begitu sekiranya pikiran mereka terhadapku saat itu. Tapi aku mencoba untuk meredam kekhawatiran mereka dengan pemikiranku yang hanya tertuju pada keberlangsungan hubunganku dan Ikhwan. Alhasil mereka tetap tidak menyetujui hubungan ini. Berbagai cara mereka lakukan untuk meyakinkanku bahwa jalan yang ku ambil bersama Ikhwan adalah sebuah kekeliruan, nampaknya seperti terhipnotis oleh segala kelebihan Ikhwan dari segi agama, intelektual dan social, mati-matian aku membela Sang Ikhwan di depan keluargaku sendiri. Jelas mereka jadi sangat memusuhiku, gelar sebagai “Anak Pembangkang” juga telah dinobatkannya padaku. Sedih rasanya melihat perlakuan keluarga sendiri terhadapku hingga aku putuskan untuk menceritakan hal ini kepada Sang Ikhwan. Aku jelaskan kepada dia apa yang selama ini terjadi antara aku dan keluarga. Sang Ikhwan mencoba menjadi pendengar yang baik bagi hatiku dan menenangkan aku yang dilanda isak tangis kala itu. Entah apa yang telah dia rasuki ke dalam pikiranku, segala dan apa yang dia katakan nampaknya tak sedikit pun aku elakkan, selalu aku percaya apa-apa yang dia katakan dan yang diceritakannya kepadaku. Apa yang dia katakan selalu aku anggap benar, sehingga aku relakan memperjuangkan Sang Ikhwan di hadapan keluarga.

Suatu saat kedua orang tuaku memintaku agar Sang Ikhwan menemui mereka, menjelaskan apa yang terjadi antara aku dan Sang Ikhwan. “Jika Dia memang serius kepadamu, Bawalah Ikhwan tersebut menghadap Ayah dan Ibu” begitu kata mereka. Tak banyak kata, aku menyampaikan pesan Ibu dan Ayah kepada Ikhwan. Tanpa ambil pusing Sang Ikhwan mengiyakan undangan kedua orang tuaku dan berjanji akan menemui mereka. Aku sedikit tenang. Alhamdulillah, semoga pertemuan nanti akan membuka pintu hati keluargaku yang selama ini tertutup untuk kehadiran Sang Ikhwan, demikian hatiku berkata.

Hari berganti hari, janji hanya sekedar janji. Janjinya untuk menemui keluargaku selalu diundur-undur dengan alasan masih banyak pekerjaan yang harus dia urus dan selesaikan, sementara keluarga sudah berkali-kali menagih janji kepadaku. Aku bingung sendiri bagaimana menghadapi kondisi emergency ini. Suatu saat, ketika aku tengah menjalani aktivitas pekerjaanku sebagai tenaga kesehatan di lembaga tempat aku bekerja, seorang laki-laki dengan atasan berlapis jaket hitam dan celana hitam mendatangiku, awalnya aku kira hanya pasien biasa atau pelanggan yang ingin membeli obat, namun laki-laki itu melontarkan banyak pertanyaan seputar kesehatan kepadaku, ku jawab seperlunya dan tidak ingin banyak bicara. Pembicaraan selesai, laki-laki itu menyodorkan sebuah kitab bahasa Arab kepadaku, dan menjelaskan bahwa dia adalah seseorang yang diberikan kepercayaan dari Ikhwan untuk menyampaikan amanat berupa kitab bahasa Arab tersebut kepadaku. Dengan rasa terkejut dan keheranan hatiku bertanya-tanya “mengapa Ikhwan tersebut menyuruh laki-laki itu yang mengantarkan kitab ini?” Tanpa ambil pusing aku menerima kitab itu, dan laki-laki itupun segera pergi. Sampai di rumah, aku menceritakan kejadian tadi kepada keluarga, keluargaku terkejut dan berfikir sama dengan apa yang ku pikirkan, mengapa tak Ikhwannya langsung yang mengantarkan kitab itu kepadaku.

Beberapa hari setelah kejadian berlangsung, Sang Ikhwan mengirimkanku sebuah pesan singkat, segera ku buka inbox yang masuk di telepon selularku. “Aku dalam perjalanan menuju rumahmu, Malam ini aku akan datang memenuhi undangan orang tuamu”. Aku terdiam membaca pesan singkat ini, tak ada yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu dan tanpa berfikir panjang aku kabarkan berita ini kepada orang tuaku. Aku hanya berharap pertemuan orang tuaku dan dia nanti akan membuka hati keluarga untuk kehadiran Ikhwan serta keberlangsungan hubungan ini, walaupun pertemuan ini telah ditunda-tunda sepihak selama beberapa bulan oleh Si Ikhwan. Tak lama seorang laki-laki berkostumkan kemeja kotak-kotak berlapiskan jaket hitam, bersarung hijau, mengenakan peci, ransel yang menggantung di punggungnya dan sebuah buku yang selalu menempel di tangannya ke manapun dia pergi yang merupakan ciri khas laki-laki tersebut tengah bertamu ke rumahku. Salah satu keluarga mempersilakannya duduk dan menunggu. Aku yang masih di dalam rumah mencoba melihat di balik jendela kamarku dan memastikan siapa orang yang tengah bertamu itu. Ku intip sedikit dan… Huuzsshhh, “bukankah yang seharusnya menemuiku adalah Ikhwan yang selama ini tergambar di pikiranku, tapi kenapa laki-laki ini lagi yang datang menemuiku? “Laki-laki yang tempo lalu mengantarkan sebuah kitab titipan Ikhwan kepadaku. Aku memanggil ayah dan menginterupsikan untuk menemui laki-laki itu. Ayah segera menemuinya sementara aku lebih memilih untuk mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam. Selang beberapa menit pembicaraan mereka berlangsung, kakakku yang ada di dalam bersamaku, menyuruhku untuk menemui laki-laki itu bersama Ayah yang terlebih dahulu menemuinya. Terpaksa aku keluar juga, aku duduk di samping ayah dan mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah mendengar jawaban dan penjelasan laki-laki itu atas pertanyaan ayah, serasa kepala mau pecah, kesal bercampur malu menjadi satu. Diam dan berusaha tenang yang hanya bisa ku lakukan saat itu. Kesimpulan dari jawaban laki-laki itu dan apa yang dijelaskannya kepadaku dan ayah adalah sebenarnya dialah Ikhwan yang selama ini menjalin hubungan denganku, bahwa dia bukanlah apa yang selama ini diceritakannya kepadaku, bahkan identitas sang Ikhwan yang selama ini aku tahu bukanlah identitas yang sebenarnya, identitas keluarganya yang diceritakan selama ini kepadaku bukanlah identitas yang sesungguhnya, bahkan beberapa cerita tentang aktivitasnya sehari-hari adalah bentuk rekayasa yang dibuatnya juga, foto-foto yang terlampir di belantara facebooknya adalah foto hasil smart-editing yang menjadikan gambar dirinya dalam foto tersebut sangat berbeda jauh lebih bagus dengan tampak aslinya. Dengan gamblangnya dia menjelaskan satu hal di hadapan aku dan ayah, bahwa awalnya dia hanya menjadikanku bahan eksperimen dan penelitian cintanya, namun tak menutup kenyataan bahwa pada akhirnya Sang Ikhwan juga terperangkap dalam permainan cintanya sendiri. Dia mencintaiku, dan berharap bisa melanjutkan hubungan denganku.

Mengetahui hal itu, keluargaku merasa terhina dengan apa yang dilakukannya padaku, tanpa kompromi lagi sudah jelas keluargaku tak sedikit pun merestui hubungan yang ku jalani bersamanya. Sembari menutup kekesalan, kekecewaan dan rasa malu-ku kepada orang tua dan keluarga besarku yang sebelumnya sudah mendengar kabar angin bahwa aku akan segera menikah, aku mencoba menghubungi Sang Ikhwan dan meminta penjelasan yang lebih luas tentang apa yang selama ini dia lakukan kepadaku, dengan menampilkan sikap baik seperti saat sebelum ku bertemu dengan dia, yang mencintai dia dan menghargai setiap apa yang dia katakan kepadaku. Dan ternyata penjelasan yang sama seperti yang dijelaskannya waktu dia ke rumahku yang aku dapatkan dari mulutnya lewat telepon. Ahh… aku tak percaya, seperti mimpi rasanya. Aku termenung dalam kekecewaanku, hari-hari ku lewati dengan penuh kebimbangan, dan rasa sakit yang mendera jiwa, ingin meninggalkan kisah kelam ini namun aku menyadari bahwa sedikit aku mencintainya namun banyak kenangan yang telah aku lalui bersamanya, aku telah terbiasa berkomunikasi dan aneh dirasa jika sehari saja tak mendengar suaranya dia pun merasakan hal yang demikian, dia sangat mencintaiku, cinta pertamanya adalah aku dan berharap kelak aku bisa menjadi istri baginya. Namun melihat situasi dan kondisi keluargaku yang tak lagi sedikit pun memberi restu, rasanya tidak mungkin hubungan ini bisa dilanjutkan, Sang Ikhwan-pun penuh kebimbangan, di satu sisi dia sangat mencintai aku dan ingin mempertahankan hubungan yang telah berlangsung ini, tapi di sisi lain restu dari keluargaku sudah tak mungkin lagi didapatkan akibat ulahnya sendiri. Sementara, aku rapuh di atas kekecewaan terhadap apa yang telah dilakukannya padaku selama ini, pikiranku semakin kacau tidak karuan, suka merenung dan menangis seketika. Di tengah ketermenungan, aku mencoba menghibur diri dan log in ke Facebook-ku, barangkali banyak postingan yang bisa memotivasi diriku yang sedang dalam keterpurukan, ku buka dan ku dapatkan Message dari seorang Akhwat yang sedikit banyak memberikan motivasi dan banyak pelajaran berharga.

“Assalamu’alaikum Ukhti…”

Bagaimana kabar imanmu hari ini? Semoga hatimu masih dalam tuntunan dan Rahmat-Nya.
Ukht… Jika kamu selalu murung dan menyesali apa yang tengah melandamu saat ini, mungkinkah kamu bisa saja disebut sebagai hamba-Nya yang kurang bersyukur???
Ukhti… engkau adalah gadis belia yang cantik dan manis, keinginanmu untuk menikah adalah atas izinnya, tapi satu hal yang selalu kita lupa ukht… apa yang menjadi Izin-Nya tak berarti menjadi Ridho-Nya. Jangan ukhti… jangan engkau selalu meratapi dan menyesali apa yang telah berlaku dalam hidupmu, Allah punya rencana indah di atas rencana. Apa yang kamu alami sudah menjadi Rencana-Nya, dan di atas Rencana-Nya, Allah mempunyai Rencana lain untukmu ukhti. Sadarilah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah sebaik-baiknya Dzat Perencana.

“Dan berencanalah kalian, Allah membuat rencana. Dan Allah sebaik-baik perencana.” (Ali Imran: 54)

Cinta memang terkadang membuat kita lupa akan Kebesaran-Nya, taukah kau ukhti…
Cinta yang Hakiki adalah cinta karena-Nya, jika cinta dalam hatimu datang semata-mata karena-Nya, engkau pun harus ikhlas meninggalkan cinta semata-mata karena-Nya. Cinta yang suci itu cinta yang tak pernah tersentuh oleh “cinta” sebelum cinta itu menjadi kehalalan bagi penikmatnya, sekalipun cinta itu hanya ada dalam kata-kata. Bisa jadi apa yang engkau alami saat ini adalah sebuah teguran sebagai bentuk rasa Cinta-Nya terhadapmu Ukhti. Mungkin selama ini engkau lupa bahwa apa yang kau jalani bersama seseorang yang engkau kagumi bukanlah sebuah tindakan yang di-Ridhai-Nya. Dan Allah sedang memberikan Petunjuk-Nya kepadamu… “Maka Allah menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki… (QS. Ibrahim: 4)

Ukhti mungkin engkau akan bertanya-tanya atas ujian yang melanda hatimu saat ini. Kenapa engkau diuji?? Allah telah menjawab dalam Al-Qur’an ukht: “Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan; “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang yang benar dan, sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” – (QS. Al-Ankabut ayat 2-3)

Dan jika engkau bertanya: Mengapa aku tak dapat apa yang aku idam-idamkan?

Allah juga telah menjawab dalam Al-Qur’an: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” – (QS Al-Baqarah ayat 216)

Sungguh Maha Benar Allah atas segala Firman-Nya. Bersyukurlah ukhti, karena itu kunci pembuka Rahmat-Nya, Allah sedang mengetuk hatimu, lihatlah bagaimana Allah sangat mencintaimu ukht, Allah sedang memanggilmu untuk segera kembali ke jalan yang di-Ridhai-Nya.

Ukhti… sungguh aku mencintaimu karena Allah…

Aku menorehkan pesan ini kepadamu karena Allah

Aku melihat keberadaanmu karena Allah…

Dan kita dipertemukan karena Allah, Insya Allah…

“Wassalamu’alaiki yaa Ukhti”

Tersentak air mataku bercucuran dan hatiku luluh dalam tangisan, haru dan bahagia yang kurasa saat itu, membaca inboxnya hatiku seperti ditiupkan nyawa kembali. Ya… dia adalah rekan kerjaku, seorang akhwat yang lemah lembut, pintar, sopan, berjilbab lebar, dan setiap apa yang dikatakannya mampu menenangkan hati pendengarnya, sungguh beliau salah satu cerminan Akhwat sejati. Memang, sejak awal lingkungan tempat kerjaku adalah tempat yang mampu memberikanku banyak hikmah di dalamnya, mulai dari aku yang belajar memperbaiki pakaianku, yang biasanya jilbab setengah-setengah mulai ku labuhkan jilbab lebar, itulah jilbab syar’i, kemudian aku yang mulai menyadari urgensi tarbiyah bagi muslimah sampai pada ukhuwah islamiyah yang mendarah daging. Subhaanallaah. Serasa, Aku ingin mencintainya karena Allah, dan aku ingin seperti dia karena Allah. Aku bangkit dan aku harus berubah, semangatku membara. Pada hari itu juga ku putuskan untuk tidak melanjutkan hubungan terlarang dengan Ikhwan tersebut yang telah berlangsung kurang lebih 6 bulan lamanya, ku hubungi kembali Sang Ikhwan dan ku katakana padanya bahwa aku ingin mengakhiri hubungan terlarang ini. Marah, kesal, dan emosi bercampur kata-kata kasar yang justru Ikhwan itu lontarkan kepadaku, hinaan bahkan cacian si Ikhwan ditimpa padaku saat aku memutuskan hubungan terlarang itu. Ya… sepertinya dia belum bisa menerima keputusananku, jiwanya tak terkontrol sementara marah menjadi raja atas dirinya ketika aku memutuskannya, semua aku lakukan karena aku baru menyadari bahwa hubungan yang selama ini aku jalani bukanlah cinta layaknya serial cinta Ali dan Fathimah, apa yang ku jalani bukanlah kesucian cinta yang menjadi fitrah dari Allah Ta’ala, justru kecelakaan cinta namanya. Sakit memang sakit mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut Sang Ikhwan, namun jiwaku mungkin akan lebih sakit jika masih ku jalani hubungan terlarang itu dengannya. Hanya bait-bait doa mengharap ampunan-Nya yang mampu ku tuturkan kala kegoncangan jiwa itu melanda “Yaa Rabb, Cinta yang datang semata-mata karena-Mu, cinta itu juga akan pergi semata-mata karena-Mu, maka berikanlah aku keikhlasan dalam menerima datang dan perginya cinta yang Engkau fitrahkan pada setiap diri manusia. Dan sisi-kan-lah aku dalam penjagaan-Mu siang maupun malam ketika cinta itu datang dan pergi seketika. Hanya kepada-Mu aku berserah diri yaa Rabb….

Share this