MALAM kian larut ditemani sinar terang sang
rembulan. Derik jangkrik memekakkan keheningan, menambah cekam kesunyian
malam. Angin yang bertiup dingin seakan menembus masuk kedalam tulang.
Pada saat itulah Halimaton Syakdiyah duduk di bawah cahaya rembulan dan
lampu yang remang-remang, sembari membawa lagu memori di daun pisang
waktu kita jalan-jalan.“Sudah dua malam saya tidur di bawah menara ini. Kerja pun tidak
ada,” ujar perempuan yang akrab disapa Halimah, janda berusia 43 tahun
yang pernah menginap di emperan menara Mesjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh
Halimah, janda asal Kembang Tanjong Desa Deyah Blang, Beureunun,
tidur sendiri di bawah tower Mesjid Raya Baiturrahman. Tak ada seorang
pun yang mau berbicara dengan dirinya, seperti yang dikatakan Halimah
kepada saya yang menemuinya pada sore Minggu (4/3).
Halimah sempat berinisiatif mencari kardus di depan ruko-ruko yang
berada di seberang jalan guna dijadikan alas tempat tidurnya. “Saya
tidak punya tempat tinggal di sini dan tidak punya saudara,” katanya
sedih.
Halimah hijrah ke Banda Aceh bertujuan mencari nafkah untuk bertahan
hidup. Kepergiannya dari kampung halaman tersebut, dilatarbelakangi oleh
sang suami yang mengusir dirinya. Pada saat perempuan berusia 43 tahun
ini masih dikampungnya, Ia hanya bekerja sebagai tukang pemecah melinjo
untuk dijadikan emping lalu di jual. Uang hasil jualan emping tersebut,
justru diambil oleh suaminya untuk menikahi perempuan lain.
“Padahal uang tersebut mau saya simpan untuk biaya pernikahan anak
nanti. Malah ayahnya yang kawin lain,” katanya seraya berurai air mata.
Halimah kerap dipukuli oleh sang suami. Ia sudah tidak sanggup lagi
menahan siksaan. Kesabarannya pun sudah habis. “Kalau begini terus,
lebih baik abang cerai aku,” kisahnya sakit dan menetes air mata.
Kemelut rumah tangga itu pun menghasilkan kata-kata perpisahan dari sang
suami. “Aku talaq kau,” sembari mengusir Halimah dari rumah itu.
Perlahan, Halimah mengayunkan langkah kakinya turun dari gubuk yang
sederhana itu. Ia meninggalkan 3 orang anak. Satu orang masih sekolah
SMP dan dua lagi masih mengenyam bangku SD. Sekarang mereka tinggal
bersama ayahnya. Mereka tidak diijinkan mengikuti sang ibu. Sementara
dua buah hati Halimah yang lainnya telah dewasa. Mereka kini bekerja di
Lhokseumawe.
Saat mengarungi nasib ke Banda Aceh, Halimah hanya berbekal baju
seadanya dan sisa simpanan dari uang penjualan emping yang pernah
ditabungnya. Uang itu Ia pakai untuk bayar ongkos naik mobil L300 yang
bertujuan ke Banda Aceh.
Peristiwa tersebut terjadi pada akhir tahun 2011. Pembuka malam
Halimah di Mercusuar Mesjid Raya Baiturrahman. Ia tidak tahu lagi hendak
kemana. “Ini pertama kali saya datang ke Banda Aceh,” ungkapnya.
Saban hari Ia habiskan dengan memutari kawasan Pasar Aceh di Banda
Aceh. Hingga suatu hari Halimah bertemu dengan seorang tukang becak.
Ijan namanya. Miris mendengar kisah Halimah, Ijan kemudian menawarkan
tempat berteduh dan pekerjaan bagi perempuan malang ini. Kebetulan, sang
tukang becak sedang mencari pekerja guna ditempatkan di warung nasi nya
di seputaran kawasan Lamnyong.
Akhirnya berkat kedermawanan Ijan, Halimah tak lagi jadi penghuni
tower mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ia tak lagi terlunta-lunta.
Berpisah dari suami yang menceraikannya, Ia kini bekerja sebagai penjual
nasi.
Guratan takdir Halimah yang tak mengenal Kota Banda Aceh tak
membuatnya menjadi peminta-minta. Dari emperan tower, Halimah kini
nyaman merehatkan tubuhnya di atas kasur empuk. Meskipun itu bukan spring bed, namun setidaknya tubuh wanita itu tak lagi terbakar matahari, tersiram embun dan menggigil akibat hembusan angin malam.
Ini lah kisah Halimah. Sang perantau yang ditalak suaminya. Bernaung di emperan tower dan kini berbaring di ranjang yang empuk.[Rahmat Tullah]