Oleh: Ahmadi (Jurnalis di Simeulue)
Legenda “Linon dan Smong” Bukan Dongeng Pengantar Tidur
Legenda “linon dan smong “, atau “gempa bumi dan tsunami” merupakan
cerita nyata yang turun temurun dan telah melekat dibenak setiap
individu warga Simeulue, bukan cerita dongeng untuk pengantar tidur anak
kecil, tapi merupakan cerita tragedi gempa bumi dan gelombang besar
yang perna menyapu pulau Simeulue.
Hikayat peringatan dalam bentuk Cerita “linon dan smong” turun
temurun yang telah membudaya dilingkungan warga Simeulue, tentang asal
muasal cerita linon dan smong, menurut sejumlah sumber-sumber penduduk
asli Pulau Simeulue, Ahlinudin (73). Makdian (71), dan Khaidir (64),
tiga lelaki (yang telah berusia uzur dan memiliki belasan cucu itu,
kembali menceritakan pengalaman pahit orang tuanya dan neneknya,
mengatakan cerita smong lebih dikenal “Smong tahun 07″
Ahlinuddin, yang fisiknya melemah, dan kehilangan daya serap pada bagian
mata dan telinga, kembali menceritakan tragedi smong, yang tak
terhitung mengulang cerita kearifan lokal, kepada, anak, cucu dan orang
lain. Cerita itu Ahlinuddin terima dari mendiangTiarina, ibu kandungnya,
yang meninggal dunia pada tahun 1966.
“cerita smong tahun 07, itu dialami mendiang ibu kandung saya yang
tersangkut di batang rumbia yang hanyut, saat gelombang besar naik
kedarat dari laut”, Ahlinuddin cerita, dengan mulut bergetar dan mata
berlinang, saat menyebut nama ibu kandungnya, yang pada waktu kejadian,
berada di Gampong, Amarabu, Kecamatan Simeulue.
Dengan tarikan nafas berat dan suara serak, sambil menerawang,
Ahlinuddin. Cerita smong, dia terima dari mendiang ibunya, ketika masih
kanak-kanak. Kenapa lebih dikenal smong 07, karena kejadiannya pada
tahun 1907. “kenapa lebih populer dan dikenal, smong 07, karena 07
adalah tahun 1907. Kalau seusia kami ini yang sering kami terima cerita
adalah smong 07″. Katanya.
Cerita Linon dan smong 07, yang menjadi momok dan tragedi becana alam
sepanjang sejarah pulau Simeulue, juga diperjelas Makdian (71), yang
mendengar riwayat tragedi smong dari orang tuanya dan mengatakan
tanda-tanda akan tiba bencana alam, seperti mendadaknya ternak kerbau,
tiba-tiba lari tidak Tentu arah, termasuk burung-burung, juga
berterbangan dan hiruk pikuk meninggalkan tempat bertengger.
“contoh sudah saya lihat tanda-tanda akan, datang gempa, seperti
tahun 2004. Kerbau langsung berlarian, dengan menaikan moncongnya dambil
mengeluarkan suara lenguhan keras yang tidak tentu arah, juga termasuk
burung-burung, nah disini terbukti, tidak ada hewan yang mati saat gempa
bumi dan tsunami”, kata Makdian, dengan wajah menerawang, sambil
mengulang cerita untuk mengingatkan supaya tetap waspada, bila gempa
bumi datang dan air laut surut, segera lari, karena akan ada gelombang
laut besar naik kedarat.
Persoalan gempa bumi yang ditakutkan dan menimbulkan tsunami, menurut
Makdian. Gempa bumi yang goncangannya bersifat Verstikal dan
Horizontal, akan menimbulkan tsunami besar. “gempa bumi tahun 2004 itu,
seperti dari atas kebawah dan diayun ke berbagai arah, gempa seperti itu
yang kita takutkan, kalau gempa bumi yang kemarin itu (rabu, 11/4 –
red), hanya diayun tidak naik turun”, katanya.
Cerita kearifan lokal yang kini pegang teguh, 87 ribu penduduk pulau
Simeulue di delapan Kecamatan, berada di lintasan garis merah rawan
gempa bumi dan ancaman tsunami, berada di Samudera Hindia tersebut,
saking melekat dan keyakinan warga tentang cerita linon dan smong, serta
dikenal pulau penghasil cengkeh terbesar dan lobster di Provinsi Aceh
tersebut seakan terjadi komunikasi bathin, bila akan terjadi gempa bumi
dan tsunami.
Khaidir (64). Saksi mata gempa bumi dan tsunami 2004, ketika gempa
sedang berlangsung, pada saat itu juga, air laut surut dengan cepat,
sempat menyaksikan ikan menggelepar, dan dalam hitungan menit, air laut
naik kedarat meludeskan rumahnya, yang terpaut dari bibir pantai hanya
30 meter, di Gampong Lata’aya, Kecamatan Simeulue Tengah.
“gunanya cerita mendiang ibu saya, ketika saat sedang berlangsung
gempa bumi tahun 2004, dengan posisi merangkak dari rumah menuju pantai,
hanya 30 meter, saya melihat air laut, sudah surut dan ikan yang
terdampar, dengan sekuat tenaga saya berusaha berdiri sempoyangan, lari
kerumah, dibantu keluarga mempersiapkan periuk, beras, dan perlengkapan
lainnya, untuk segera lari keatas dataran tinggi”, kenang Khaidir.
Lanjut Khaidir, setelah merasa aman, turun untuk melihat kondisi
rumahnya, telah hancur digulung gelombang. “setelah saya rasa aman, lalu
turun untuk melihat rumah saya, ternyata tidak ada lagi, hanya
lokasinya saja yang saya kenal, syukur alhamdulillah tidak ada yang
korban di kampung saya, karena saat surut air, kami berteriak, smong,
smong”, kata pria yang rambutnya telah memutih semua.
Kelebihan dari pria, yang mengaku memiliki indera keenam, beberapa
hari sebelum datang gempa bumi dan akan menimbulkan bencana tsunami,
hati kecilnya selalu berbisik, “hati-hati, gempa akan tiba. Ini sudah
terjadi berulang kali, tapi ini bukan ramalan, yang lebih tau hanya Yang
Maha Kuasa”, pungkasnya dengan nada suarat berat, dibarengi batu-batuk
kecil.
Ternyata legenda cerita Linon dan Smong, tidak lepas dari mulut setiap
warga Simeulue, termasuk warga dari luar Daerah Simeulue, yang menetap
di Simeulue. Eka Amaranggana pelajar kelas 1 SMP dan M Egra Shabara,
pelajar kelas 1 SMA, di Kota Sinabang, kedua kaka beradik tersebut,
lahir di Kota Banda Aceh, mengaku awalnya bingung, karena disuguhkan
cerita Linon dan Smong, oleh sang neneknya, Jusnimah, (66).
“saya dan adik saya tidak perna tau apa itu linon dan smong, tapi
nenek saya selalu cerita tentang linon dan smong, artinya bila gempa
bumi dan air laut surut, segera lari cari tempat tinggi atau gunung,
sebab akan datang gelombang besar. Seperti gempa kemarin, saya , adik,
ibu, bersama ayah lari keatas gunung yang ada dibelakang rumah,” kata M
Egar Shabara (16).
Tidak hanya menjadi legenda, riwayat dan cerita turun temurun,
kearifan lokal (smong), karena warga Simeulue berhat mendapatkan
penghargaan dudia beberapa tahun lalu di Thailand, karena berhasil,
tidak adanya korban jiwa, akibat gelombang tsunami naik kedarat, kecuali
korban yang tertimpa reruntuhan bangunan akibat goncangan gempa bumi
bukan karena tsunami atau smong,
Namun keberhasilan kearifan lokal warga Simeulue, dalam mengahadapi
gempa bumi dan tsunami itu, dan penghargaan tingkat dunia di Thailand
tahun 2007, yang diwakili mantan Bupati Drs H Darmili tersebut,
Pemerintah Kabupaten Simeulue dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Simeulue, tidak melakukan upaya peningkatan pendukung cerita turun
menurun tersebut.
Buktinya usulan pengadaan satu unit, tugu peringatan “smong”, oleh
Dinas Pariwisata,, Kebudayaan, Olaharaga dan Kepemudaan setempat, namun
tidak direstui. Begitu juga dengan penyediaan sarana titik evakuasi dan
tanda penunjuk jalan, hingga saat ini masih nihil. “sangat disayangkan,
cerita smong hanya dimamfaatkan, saja tapi tidak diaplikasian dengan
penyediaan sarana pendukung, padahal Simeulue adalah zona merah, gempa
buni dan tsunami yang sewaktu-waktu melumatkan kita”, kata Fauzi Warga
Sinabang.
Tidak heran, sejumlah gempa bumi dan tsunami kecil, yang terjadi di
pulau Simeulue, warga kepanikan menuju dataran tinggi, tanpa pemandu dan
penunjuk jalan, yang mengakibat saling saling mendahului sesama warga,
yang menyebabkan menimbulkan korban, bukan karena bencana alam, akan
tetapi karena kecelakaan dijalan.
Meskipun cerita turun menurun tentang linon dan smong yang berkembang
dari generasi ke generasi anak puau Simeulue, telah berhasil
memperkecil korban jiwa dari serbuan tsunami, dan meningkatkan
kewaspadaan, bila gempa bumi, air laut surut, akan disusul tsunami.
Ternyata cerita turun temurun atau kearifan lokal tentang “linon dan
smong”, bukan dongeng pengantar tidur, tapi legenda yang telah membumi
dalam benak warga Pulau Simeulue. By line: Ahmadi.
Powered by: Smong N71
Ahmadi
#081362868881#