“Mari berkebaya pada tanggal 20 April” lebih kurang seperti itulah isi status Face Book seorang sahabat dari Jogjakarta.
Kalimat yang berisikan ajakan tersebut ditujukan untuk teman-teman
perempuan seluruh Indonesia dalam rangka memeperingati hari Kartini,
setiap 20 April.
Ajakan yang menunjukkan sebuah penghargaan dan rasa bangga serta rasa
hormat para perempuan di pulau Jawa terhadap sosok yang diyakini telah
melakukan perubahan terhadap bangsanya, rasa bangga sekaligus pengabdian
yang ditunjukkan dengan sikap mengajak seluruh perempuan Indonesia
lainnya untuk ikut mengabadikan tokoh perempuan dari kampung halaman
mereka. Begitu bermaknanya sosok pahlawan bagi perempuan di pulau
Jawa.
Bagaimana dengan perempuan Aceh? Sudahkah perempuan Aceh berbangga
dengan tokoh perempuannya? Entahlah! Yang pasti sampai saat ini
perempuan Aceh hanya mengetahui hari Kartini. Kita tidak mengenal hari
Cut Nyak dhien, Cut Meutia, Malahayati, Safiatuddin dan pahlawan
perempuan Aceh lainnya.
Kalau sekedar menyebut nama-nama pahlawan perempuan Aceh Insya Allah
dengan lancar lidah akan bereaksi. Tetapi jika ditanya tanggal berapa
perempuan-perempuan sakti itu lahir, saya yakin banyak akan bungkam,
dengan sedikit menggelengkan kepala. Lain halnya jika kita bertanya
tanggal dan bulan kelahiran RA Kartini.
Iya atau tidak, begitulah realitas yang terpampang dihadapan kita saat
ini. Realitas yang membuat kita tertampar dan tercabik. Realitas yang
memaksa kita untuk bertanya pada hati nurani “patutkah kita berbangga
menjadi perempuan Aceh?”
Patutkah kita membusungkan dada, sambil berkata “saya perempuan Aceh,
darah pahlawan dan pemberani.” Sedangkan penghargaan yang kita berikan
terhadap para pahlawan hanya secuil.
Jika mencari kambing hitam, sah-sah saja kita berkata, sejak duduk di
Sekolah Dasar perempuan yang dikenalkan kepada kita hanya RA Kartini
sampai lagunyapun kita hafal sedemikian fasehnya.
Setiap tanggal 20 April kita selalu diajak untuk merayakan hari
Kartini, tidak pernah kita diajak untuk merayakan hari Cut Nyak Dhien,
Cut meutia, Malahayati dan keempat ratu kita sendiri.
Kenapa Aceh dipaksa untuk mengakui keberadaan Kartini sebagai tokoh
emansipasi wanita? Bukankah jauh sebelum Kartini, Aceh telah memiliki
ratu yang emansipasinya melebihi emansipasi Kartini?.
Mungkin perempuan-perempuan di luar Aceh tidak mau mengakui Cut Nyak
Dhien sebagai tokoh emansipasi dengan alasan Cut Nyak berjuang dengan
pedang dan kuda bukan dengan pena dan kertas seperti Kartini. Jika itu
menjadi alasan pembenaran, lantas kiban teuma dengan Safiatuddin?
Ratu Safiatuddin perempuan hebat yang tersohor ke seantero dunia bukan
karna maskulinitasnya seperti Cut Nyak Dhien, Malahayati, tetapi karena
kehebatannya dalam memimpin kerajaan Aceh, perempuan yang juga
mempergunakan kertas dan pena sebagai bagian dari alat perjuangannya,
layaknya Kartini.
Atau karena sejarah Aceh tidak pernah mengalami ketimpangan antara
laki-laki dan perempuan seperti kebanyakan perempuan di pulau Jawa
sehingga keberadaan perempuan Aceh tidak patut dijadikan kiblat
perempuan Indonesia?
Memang tidak pantas kita membandingkan atau menyamakan Kartini dengan
Cut Nyak-Cut Nyak di Aceh, karna ketokohan mereka dikenal dalam sudut
pandang yang berbeda. Akan banyak retorika yang muncul jika Kartini
disandingkan dengan Cut Nyak-Cut Nyak.
Siapapun akan mudah berkata kalau Kartini itu lebih pintar dari pada
Cut Nyak karna beliau berjuang dengan Pena dan kertas. Dan satu-satunya
perempuan yang berjuang dengan pena ketika itu hanya perempuan pingitan
bernama Kartini.
Lebih elok jika kita membandingkan atau menyamakan Kartini dengan para
Ratu Aceh terdahulu, yang juga mempergunakan pena dan kertas sebagai
salah satau alat perjuangannya.
Selama ini kita hanya bisa berbangga dengan Cut Nyak Dhien, karna
beliau handal dalam berperang, berkuda dan memainkan pedang. Berbangga
dengan Malahayati, karna mampu berlayar berhari-hari di Samudera luas.
Sehingga keberadaan Safiatuddin yang lebih politis dan akademis
cenderung terabaikan.
Sepertinya ada yang salah dengan cara pandang kita terhadap sosok perempuan hebat.
Bisa saja Safiatuddin itu lebih hebat dibandingkan Cut Nyak Dhien,
Malahayati dan Cut Meutia, namun karna sejarah tidak menceritakan
tentang sifat maskulinitas dari pribadi beliau, maka tingkat kepopuleran
mereka jauh di bawah Cut Nyak.
Ratu Safiatuddin, perempuan yang mampu mengatur semua urusan kenegaraan
tanpa pedang di kiri kanan tangannya. Perempuan hebat yang mampu
mendominasi singgasana kerajaan Aceh. sosok feminim yang penuh dengan
kewibawaan serta kata-kata tegas di setiap surat-suratnya kepada relasi
kerajaan.
Sosok yang saya yakini kehebatan dan kepintarannya melebihi kehebatan
dan kepintaran Kartini. Sosok yang hari kelahiran dan mangkatnya patut
diabadikan.
Sudah saatnya Aceh berbangga dengan tokoh perempuannya sendiri. Tidak
patut kita selalu mengenang tokoh dari daerah lain sedangkan tokoh kita
sendiri terabaikan.
Bagi saya penobatan Kartini sebagai satu-satunya tokoh emansipasi
wanita Indonesia perlu dikaji ulang, tepatkah kartini dijadikan kiblat
perempuan Indonesia?
Jika saja Kartini masih hidup, mampukah Kartini menjadi perempuan
Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, terutama menjadi perempuan Aceh?
Jika beliau mampu mungkin saya tidak perlu lagi mempersoalkan
keberadaanya sebagai kiblat perempuan Indonesia.
Sayang beliau sudah tiada, sehingga kesanggupan itupun hanya ada dalam
keyakinan para simpatisannya saja. Dan bagi saya yang belum sepenuhnya
mengiyakan keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita akan
meyakini Kartini tidak akan pernah mampu menjadi perempuan Indonesia
lainnya selain perempuan Jawa.
Kartini tetap perempuan pingitan yang tidak pernah berani keluar peraduan.
Sehingga sangat tidak patut perempuan Aceh menjadikan Kartini sebagai
kiblat emansipasinya. Sudah saatnya perempuan Aceh berkiblat kepada
perempuan Aceh terdahulu.
Belajarlah dari perempuan pulau jawa dalam hal menghargai jasa para
pahlawan mereka. Aceh telah melahirkan perempuan-perempuan hebat yang
tidak dimiliki oleh daerah lain.
Ketika Aceh dalam kondisi Konflik, Aceh selalu saja melahirkan Cut Nyak
Dhien-Cut Nyak Dhiennya, ketika Aceh dalam kondisi membangun Insya
Allah Aceh akan melahirkan Ratu Safiatuddinnya yang akan mengisi
kursi-kursi perlemen dan memimpin Aceh di masa mendatang.layaknya
kepemimpinan Safiatuddin di masa silam.
Kalau begitu, kapan Hari Perempuan Aceh?
*
OPINI: CUT MEUTIA (FARAH)
Ibu Rumah Tangga
disadur dari atjehpost.com