Ribuan hektar kayu di kawasan Hutan Rawa Tripa telah berubah menjadi arang. Hal itu akibat pembakaran untuk pembukaan lahan kelapa sawit oleh salah satu perusahaan perkebunan di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, beberapa bulan terakhir.
Hutan Rawa Gambut Tripa, di Nagan Raya, Aceh, pernah menjadi kawasan dengan keanekaragaman hayati terkaya di Sumatera. Kala tsunami 2004, hutan gambut ini juga menjadi benteng alami bagi permukiman warga di dalamnya.
amun, semua kisah gemilang itu kini nyaris tinggal hikayat. Perkebunan sawit menghabisi sebagian besar kawasan hutan. Bahkan, kerusakan alam itu kini menjadi sumber bencana baru di Tripa.
Suratman (45), warga Desa Sukarame, Kecamatan Darul Makmur, Tripa, Nagan Raya, masih ingat betul. Hingga tahun 1980-an, kawasan sekitar Rawa Tripa sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ketika itu hutan-hutan gambut belum banyak dirambah.
Warga memanen padi setahun sekali yang cukup untuk kebutuhan makan selama satu tahun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga memasang bubu (alat penangkap ikan darat) di rawa sekitar hutan, atau mencari lebah di pohon-pohon hutan.
”Kami tak pernah kekurangan saat itu. Hutan Tripa sudah menyediakan semuanya, dari nasi sampai lauk-pauk. Ikan dan madu bisa kami jual untuk membeli sesuatu ataupun membayar uang sekolah anak,” kata Suratman, pekan lalu.
Tak hanya itu, hutan yang lebat juga memberikan kesejukan dan menghalau cuaca panas pantai. Burung-burung rawa seperti camar, rangkok, dan jalak yang beraneka warna beterbangan di sekitar perkampungan. Orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera, beruang, dan rusa masih banyak bermukim di hutan tersebut dan jarang berkonflik dengan manusia.
”Air bersih pun melimpah. Banjir sangat jarang. Dan hawa tak sepanas sekarang. Desa kami bahkan dikenal sebagai penghasil ikan lele rawa yang banyak, yang dijual sampai ke Aceh Selatan,” ujar M Ibduh (50), Keuchik (Kepala Desa) Sumber Bakti, Kecamatan Darul Makmur.
Semua kisah tersebut kini tinggal romantika. Lahan pertanian tidak lagi menjanjikan karena rawa tanah berupa rawa yang kian mengering. Ikan-ikan rawa sebagian besar sudah menghilang, demikian pula madu hutan.
Banjir menjadi bencana baru bagi warga. Setiap musim hujan tiba, banjir datang. Desa-desa di sekitar Tripa yang dulunya tak pernah banjir kini terkena banjir. Belum lagi kesulitan air bersih akibat hilangnya hutan.
Ekspansi sawit
Semua persoalan lingkungan itu berawal dari alih fungsi lahan hutan Rawa Gambut Tripa secara besar-besaran sejak awal 1990-an hingga saat ini. Hutan telah berubah menjadi kebun kelapa sawit.
Pada awal 1990-an, luas hutan Rawa Gambut Tripa masih mencapai sekitar 62.000 hektar. Pada saat yang sama, lima konsesi hak guna usaha (HGU) diberikan kepada lima perusahaan perkebunan sawit di Tripa dengan luas HGU 5.000 hektar hingga 14.000 hektar per perusahaan. Perusahaan sawit tersebut antara lain PT Gelora Sawita Makmur, PT Kallista Alam, PT Patriot Guna Sakti Abadi II, serta PT Cemerlang Abadi, dan PT Agra Para Citra. Pada tahun 2007, PT Astra Agro Lestari mengambil alih konsesi PT Agra Para Citra.
Rawa Tripa kemudian mengalami kehancuran menyeluruh akibat dibabat karena adanya pembuatan kanal-kanal air untuk keperluan perusahaan sawit, serta pembukaan permukiman baru. Menjelang tahun 2000, sekitar 35 persen kawasan Tripa hancur.
Konflik pun kemudian timbul. Namun, selama konflik, hanya sebagian kecil dari lahan-lahan itu yang ditanami kelapa sawit dan kebanyakan dibiarkan tak terkelola selama beberapa tahun sehingga justru memunculkan regenerasi alami. Karena ini, Tripa kemudian mampu menjadi zona pelindung yang efisien terhadap bencana tsunami tahun 2004.
Tahun 2005 konflik di Aceh berhenti, operasional perkebunan pun berlanjut. Pada tahun 2007, Gubernur Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium pembalakan hutan di wilayahnya. Namun, moratorium tersebut tak diindahkan.”Semuanya dibiarkan,” kata petugas pemantau Hutan Tripa dari Yayasan Ekosistem Lestari, Indriyanto.
Pembakaran dan krisis karbon
Tidak hanya dibabat dan ditanami sawit, kawasan hutan juga dibakar dalam proses pembukaan lahan itu. Kanal-kanal dibuka untuk mengeringkan air rawa agar bisa ditanami sawit.
Pengamatan Kompas di Rawa Tripa, pekan lalu, aktivitas pembukaan lahan dan pembakaran ini begitu jelas terlihat. Beribu-ribu hektar hutan di Desa Sumber Makmur, Pulo Kruet, Kuala Semayam, hanya ada pokok-pokok kayu yang sudah hangus terbakar. Sejumlah alat berat dioperasikan untuk membuat parit-parit baru di hutan yang sudah dibabat dan dibakar oleh salah satu perusahaan perkebunan di wilayah tersebut.
Dari hasil pencitraan satelit per 16 April 2012, hutan yang masih ada tinggal 11.504,3 hektar dari semula 62.000 hektar. Kehancuran hutan minimum selama Januari-April 2012 saja mencapai 805,4 hektar. Hutan yang sudah hancur sejak tahun 2009 hingga Desember 2011 tercatat 5.069,9 hektar.
”Ini artinya, jika terus terjadi, hanya dalam tiga tahun ke depan Hutan Rawa Tripa sudah akan musnah,” kata Indriyanto.
Rawa Tripa merupakan kubah gambut penyerap karbon terbesar di Aceh. Namun, alih fungsi lahan besar-besaran dan pembakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir membuat Rawa Tripa telah melepas karbonnya.
Pada tahun 2008, Paneco Foundation menemukan, kebanyakan karbon yang saat ini disimpan di atas tanah akan terlepas pada 2014 mendatang jika tingkat deforestasi yang terjadi saat ini tetap berlangsung. Akibat langsungnya, suhu lokal di Tripa akan meningkat dan kesehatan manusia di sekitarnya terancam.
Akibat pembabatan, pembakaran lahan, dan pembuatan kanal besar-besaran oleh perusahaan perkebunan tersebut, Rawa Gambut Tripa pun terancam tenggelam. Tiap tahun rawa ini mengalami penurunan rata-rata 5 sentimeter per tahun akibat tegakannya yang dibabat dan dibakar. Pembuatan kanal-kanal air juga mempercepat penurunan tersebut.
Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Nagan Raya, Hariyanti Nova, mengungkapkan, dengan penurunan lahan 5 cm per tahun tersebut, dalam 25 tahun ke depan kawasan rawa ini bakal tenggelam.
”Sekarang ketinggian rata-rata rawa gambut ini sudah sama dengan permukaan laut. Berarti jika terus menurun 5 cm, dalam 25 tahun ke depan akan turun sekitar 1,5 meter. Ini artinya rawa akan tenggelam dan hilang,” kata Hariyanti.
Kondisi inilah yang membuat banjir menjadi begitu mudah terjadi di kawasan ini, dan lahan pertanian mengering sehingga mata pencarian warga terganggu.
Terkait masalah itu, Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Perkebunan Dishutbun Nagan Raya, Akmaizar, mengatakan, inti persoalan di Rawa Tripa adalah adanya penguasaan lahan melalui konsesi oleh perusahaan-perusahaan tersebut yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi. Pemerintah Kabupaten Nagan Raya tak bisa berbuat banyak karena urusan HGU menjadi wewenang pemerintah pusat.Untuk menjaga luas hutan yang tersisa saat ini, Akmaizar mengusulkan agar dibuat lahan konservasi. ”Kalau semuanya siap, kami pun siap. Ini memerlukan komitmen semua pihak,” ujarnya.(M Burhanudin)
Kompas