ASNLF: Damai Tanpa Keadilan dan Kendala Pertumbuhan Acheh

ASNLF: Damai Tanpa Keadilan dan Kendala Pertumbuhan Acheh

Proses perdamaian Helsinki mendekati ulang tahunnya yang ke-7, yang jatuh pada tanggal 15 Agustus 2012. Meskipun proses tersebut telah berhasil menghentikan konflik senjata berkepanjangan yang terjadi selama lebih dari dari tiga dekade,  sayangnya ia  terbukti belum mampu menciptakan keamanan yang stabil bagi kondisi Acheh pasca konflik. 

Kekacauan yang terjadi selama Pilkada Gubernur baru-baru ini contohnya, justru menambah suram masa depan perdamaian yang dimaksud. Sementara itu, ketidak pastian akan penyelesaian pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang terjadi dimasa konflik maupun sesudahnya,dan  ditambah pula dengan isu-isu keamanan yang semakin tidak menentu, telah menempatkan Perdamaian Helsinki diujung tanduk. Terlebih lagi, Uni Eropa (EU) dan Crisis Management Initiative (CMI) akan segera mengakhiri misi perdamaian mereka di Acheh pada tahun ini. Tidak diragukan lagi, masa depan Acheh menuju perdamaian abadi-pun kembali dipertanyakan.

Sejak bencana alam maha dahsyat berupa gempa  dan tsunami melanda daerah Acheh pada tahun 2004, keadaan politik Aceh terus-menerus dibayangi oleh bantuan kemanusian intensif dari dunia internasional dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Situasi kacau yang menyusul kehancuran massal tersebut mengakibatkan rakyat Acheh lengah dan tidak berhati-hati dalam mengawal perundingan damai Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia yang diadakan dibawah naungan CMI. Hanya dengan keterlibatan masyarakat sipil yang sangat terbatas dan tanpa adanya kesempatan untuk memilih, rakyat Acheh yang sedang dalam keadaan trauma akibat bencana tersebut telah dipaksa untuk menerima Nota Kesepakatan Helsinki (MoU) yang ditandatangi di Helsinki, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005.

Dibalik harapan yang besar dari masyarakat Acheh dan komunitas internasional akan keberhasilan proses damai Helsinki, sangat disayangkan bahwa perkembangan terkini MoU justru mengungkapkan banyaknya kasus elit politik yang menyalahgunakan MoU untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada Gubernur baru-baru ini adalah salah satu contoh gambaran paling jelas dari permasalahan yang dimaksud, dimana banyak calon yang mencoba untuk menyesatkan para pemilih dengan janji-janji basi bahwa Acheh akan sejahtera dengan penerapan MoU. Salah satu kandidat - yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur terpilih, Muzakkir Manaf - malah terang-terangan mengatakan dalam siaran langsung Debat Calon Gubernur di Metro TV bahwa pasangannya percaya jika Acheh dapat menjalankan MoU dengan sepenuhnya, maka Acheh akan mampu untuk berdiri dengan kaki sendiri. Pernyataan tersebut tentunya mengandung unsur menyesatkan dan tidak jujur, karena penerapan MoU sangat tergantung pada kemauan Jakarta dan MoU itu sendiri tidak memiliki kekuatan hukum yang mampu menekan Jakarta untuk memenuhi poin-poin yang telah disepakati.

Lebih lanjut, MoU juga telah dimanfaatkan secara pribadi oleh mantan petingi GAM, Malik Mahmud, dalam memenuhi ambisinya untuk menduduki kursi jabatan “Wali Nanggroë” dengan secara langsung menunjuk dirinya sebagai pewaris Teungku Hasan Tiro melalui draft Qanun Wali Nanggroë. Gunnar Stange dan Antje Missbach menyatakan dalam sebuah artikel berbahasa Inggris, Inside Indonesia (2011/12/11) yang berjudul “A Supreme ruler for Aceh?”, bermakna “Penguasa Tertinggi bagi Acheh?” bahwa “draft qanun Wali Nanggroë tidak memuat cara-cara pemilihan Wali Nanggroë. Sebaliknya, menetapkan bahwa Wali Nanggroë akan diangkat selama seumur hidup dan akan diwariskan langsung kepada Malik Mahmud setelah Hasan Tiro meninggal.”

Selain tidak demokratis dan tidak konstitusional, draf asal-asalan ini tentunya telah menjatuhkan martabat mulia jabatan Wali Nanggroë dan mencemarkan kewibaaan pemimpin terkemuka Acheh, Almarhum Tgk. Hasan Muhammad Ditiro.

Sayangnya lagi, perbuatan penyalahgunaan MoU tersebut tidak hanya terjadi di dalam batasan Pemda Aceh, tetapi juga meluas kedalam pemerintahan Indonesia. Kesepakatan damai Helsinki tentunya telah mempengaruhi politik Indonesia secara nasional. Oleh karena itu, iapun  dimanfaatkan oleh elit politik Indonesia dalam diplomasi kotor mereka terutama dalam agenda pribadi menuju tahta presiden. International Crisis Group (ICG), dalam laporan berbahasa Inggris tanggal 29 Februari 2012 tentang Indonesia yang judulnya bermakna "Mencegah Kekerasan Pemilu di Aceh" mengatakan bahwa "...ada satu kenyataan politik yang sangat penting bahwa setiap orang di Jakarta dan Banda Aceh sangat menyadari: Partai Aceh pada tahun 2009 memberikan lebih dari 90 persen suara di Aceh untuk presiden." Tidak ada keraguan bahwa partai politik Indonesia akan berlomba-lomba memancing dan menguasai pemerintah daerah yang baru terpilih dengan harapan untuk mendapatkan dukungan penuh dalam pemilihan presiden berikutnya sebagai balasan kebaikan mereka.

Lebih jelasnya, MoU juga digunakan sebagai alat untuk menutupi pelanggaran berat hak asasi manusia selama dan sesudah konflik. Beberapa minggu yang lalu, orang Aceh memperingati tragedi  Simpang KKA untuk mengenang rakyat Acheh yang telah dibunuh dan yang telah dilukai secara brutal oleh militer Indonesia menyusul pertemuan massal warga sipil pada 3 Mei 1999. Menurut data dari Koalisi LSM Acheh, dalam tragedi tersebut saja, terdapat 46 warga sipil tewas, 156 terluka parah, sedangkan 10 lainnya hilang.Tragedi ini dan beberapa tragedi serupa lainnya yang terjadi selama konflik jelas-jelas belum terselesaikan dan justru makin lama makin terlupakan.

Kegagalan kesepakatan Helsinki untuk membawa keadilan bagi Acheh jelas tercermin dalam stagnasi ekonomi Aceh ketika dana bantuan pasca Tsunami mengering. Meskipun Acheh menikmati periode pertumbuhan ekonomi yang cepat selama tahun-tahun setelah Tsunami, Bank Dunia malah menyatakan, "...kebanyakan pertumbuhan dan pekerjaan yang terciptakan di Aceh sangat berkaitan dengan ketersediaan dana rekonstruksi." [The World Bank, Aceh Growth Diagnostic, July 2009]. Oleh karena itu, ketika dana terhenti, ekonomi Aceh pun anjlok turun hampir kembali ke keadaan aslinya dimasa konflik, lanjut mereka.

Bank Dunia juga menyatakan bahwa kendala yang paling mengikat untuk investasi dan pertumbuhan di Acheh adalah pemerasan ilegal dan masalah keamanan  para investor yang potensial. Meskipun lebih mudah untuk menyalahkan orang Aceh dan/atau mantan kombatan sebagai penyebab dari masalah ini, kita benar-benar perlu untuk mengungkap kebenaran bahwa sistem peradilan Indonesia yang rusak memang tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya dalam memberikan keadilan bagi rakyatnya sendiri, apalagi bagi rakyat Aceh.

Jelaslah bahwa perjanjian damai Helsinki telah gagal dalam melakukan rekonsiliasi yang bermartabat bagi konflik Aceh. Ianya hanya mampu mengamankan perdamaian Aceh ke dalam telapak tangan pemimpin lokal baru di bawah kuasa Indonesia. Ini tentunya bukan taktik yang asing untuk mengendalikan Aceh dalam penindasan secara terus menerus, tapi sebenarnya justru cara yang sama persis dengan "...mengadopsi strategi budidaya elit bangsawan lokal atau Ulee Balang sebagai cara terbaik untuk membawa Aceh di bawah kendali" seperti yang dijelaskan oleh Rodd McGibbon dalam makalah berbahasa Inggrisnya dengan judul yang bermakna "Kepemimpinan Lokal dan Konflik Aceh"; sebagai strategi yang diusulkan oleh Snouck Hurgronje untuk pemerintah Belanda untuk menguasai Kesultanan Acheh.

Pemerintah daerah Acheh,  terlepas dari proses pemilihannya yang independen ataupun melalui ancaman dan intimidasi, hanyalah bentuk lain dari penindasan secara tidak langsung yang dilakukan oleh Indonesia atas Acheh. Seiring dengan keterikatannya kepada birokrasi Indonesia yang korup, pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam menegakkan manajemen yang kredibel dan kepemimpinan yang dapat dipercaya. Alih-alih memfasilitasi Aceh menuju pemerintahan sendiri, pemerintah daerah yang baru hanya bisa menjerumuskan diri lebih dalam ke dalam sistem ketidakadilan Indonesia dan justru terlibat dalam administrasi yang korup.

Selain itu, praktek impunitas terhadap pelanggaran HAM di Acheh di masa lalu yang dilakukan  oleh aparat keamanan secara terus-menerus telah menghambat penerapan keadilan yang merupakan persyaratan mendasar dalam menciptakan keamanan dan stabilitas menuju perdamaian abadi bagi Acheh. Sayangnya, praktek tersebut bersama dengan sistem peradilan yang korup telah berakar dalam sistem Indonesia, sehingga tidak ada jalan keluar lain kecuali melalui proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh, yang berarti menolak setiap kepatuhan terhadap sistem Indonesia secara menyeluruh.

Share this