Oleh: Kiky Edward
Ketika duduk lama diatas sajadah , mengingat Allah dengan khusyuknya , terlintas sebuah ingatan lama di kepala perihal sebuah Sajadah.
Sekitar 16 Tahun yang lalu, saya mengenal 2 orang anak gadis yang datang dari sebuah kampung terpencil ke kota. Mereka kakak beradik yang kembar. Umurnya sekitar 17 tahun. Mereka datang ke kota dengan niat mencari pekerjaan , karena mereka adalah tulang punggung keluarganya semenjak ayahnya meninggal ketika mereka masih duduk di kelas 2 SD. Mereka akhirnya bekerja sebagai seorang Pembantu. Namun satu diantaranya beberapa bulan kemudian memutuskan untuk pulang, karena ingin mejaga ibu mereka di kampung yang hanya tinggal berdua dengan adik lelaki mereka yang tak dapat berbicara.
Saat itu, Bulan Ramadhan tiba. Gadis itu terlihat Shalat dengan sangat khusyuk di setiap malam. Sering kali terlihat setelah shalat ia mengelus-ngelus sebuah sajadah dengan tatapan amat berharap seperti berdoa, dan baru terakhir ia lipatkan dengan amat rapi dan ia simpankan ditempat yang paling aman. Begitu-begitu selalu yang terlihat, perlakuan yang amat hormat bagi sebuah sajadah.
Sekali waktu timbul juga rasa heran di kepala. Apa gerangan yang membuatnya menyukai sajadah itu. Maka saya mengganti sajadah itu dengan sajadah yang lain untuk ia gunakan. Ternyata sajadah yang baru ini mendapat perlakuan yang persis.
Lepas 3 tahun sudah semenjak Ramadhan tersebut. Masa itu saat akan tibanya lebaran ke-tiga gadis itu di sini. Sampailah sebuah kartu ucapan yang amat indah dan bernyanyi pula bila dibuka. Selamat Hari raya mohon Maaf Lahir dan Bathin rupanya ucapan yang ada di dalam kartu itu. Ucapan selamat lebaran yang lebih cepat seminggu dari jadwalnya ternyata datang dari negeri jiran, beserta sebuah foto. Dari foto itulah gadis itu tau, bahwa saudari kembar perempuannyalah yang mengiriminya kartu tersebut. Ia amat senang akan kabar baik dari saudari perempuannya itu. Tapi bersamaan dengan itu ia teringat akan keadaan ibunya di kampung yang mungkin ingin juga mendengar kabar dari saudarinya yang kini nun jauh.
Ia berniat pulang ke rumahnya sebentar saja, untuk menemui ibunya di kampung. Apalagi ibunya kini hanya tinggal berdua dengan adiknya yang tak dapat berbicara itu, semenjak saudara kembarnya telah memutuskan untuk pergi ke negeri jiran menjadi seorang TKI setahun lalu.
Beberapa hari Sebelum pulang, ketika masa lenggang gadis itu menyusun-nyusun pakaiannya ke dalam tas yang sama dengan yang pertama kali ia bawa kesini. Ia menyusunnya dengan rapi, selagi saya hanya menggoyang-goyangkan kaki dengan santai di atas kursi di kamar yang sama. Dalam suasana lenggang itu entah ada pasal apa gadis itu bercerita sebuah perihal.
Ia bercerita bahwa semasa ia di rumahnya di kampung ia tidak pernah merasakan nikmatnya Shalat di atas sebuah Sajadah yang lembut. Mereka Selalu Shalat diatas sebuah tikar Pandan yang ujung-ujungnya mulai terlepas dan bolong disana-sini. Tikar yang dibeli Ayahnya ketika beliau masih hidup. Tikar itulah satu-satunya alas ia dan keluarganya Shalat. Sejak kecil ia dan saudari kembarnya selalu ingin sekali merasa shalat diatas sebuah sajadah, apalagi ketika masa Ramadhan tiba dan anak-anak pergi ke meunasah untuk shalat taraweh. Sekali-sekali timbul juga rencana untuk membujuk ibu mereka membelikan sajadah, agar tak perlu mereka membujuk-bujuk teman mereka untuk membagi sajadah menjadi membujur untuk dipakai berdua walaupun kaki tetap dingin. Tapi setelah sekian tahun bujukan pada ibu mereka, sajadah itu belum terbeli juga. Apalah daya ibu mereka hanya seorang penjual sayur yang uangnya tak seberapa.
Baru disini, ia merasa amat diberkahi dapat mengunakan sajadah walaupun sebenarnya juga bukan miliknya. Sembari Shalat mengingat Allah, sembari berdoa agar di jagakan ibunya yang jauh, sembari itu juga ia amat bersyukur dapat shalat di atas sajadah saat ini. Dari situ saya tak heran lagi melihat tingkah polah hormatnya pada sajadah selama ini.
Lanjut kemudian gadis itu mengutarakan isi hatinya selama ini juga, bahwa Ia amat ingin memiliki sebuah sajadah untuk dibawa pulang dan diberikan pada ibunya , agar dapat juga ibunya merasakan shalat di atas Sajadah yang lembut ini, seperti yang ia dapat rasakan di sini.
Mendengar cerita itu, saya tak dapat memikirkan apa-apa lagi, kecuali menyuruhnya membawa pulang sajadah yang ia amat ia senangi, dan memberikan beberapa sajadah lainnya.
Kami kemudian mengantarkannya pulang kerumahnya di kampung. Setelah 2 jam berkendara, ketika telah sampai, dari ujung pandangan nampak seorang ibu tua keluar dari pintu rumah panggunggnya yang tua lagi miring mencoba-coba menilik siapa yang datang dari ujung jalan karena keterbatasan matanya yang rabun. Tapi ia tetap menunggu di depan pintu melihat dengan setia hingga teranglah sosok siapa yang datang, yang ternyata anak gadisnya yang bersemangat menapaki jalannya menuju pelukan ibunya tercinta.
Sebuah nikmat tak terkira dalam kesederhanaan.
Sebuah Memori yang datang dari 16 tahun yang lalu. Hanya sebelah tangan umur saya saat itu. Seorang penonton kisah yang tak berkomentar apa. Tapi yang saya yakini, memori lama 2 anak kembar ini tak datang kembali tanpa tujuan.
Adalah hanya karena rahmat Allah jua sebuah hidayah datang. Hidayah yang pertama datang karena telah berusaha lama untuk mendekatkan diri kepada Allah, duduk berdiam, sembari mengisi bulan Ramadan. Pandangan lama akan Sajadah itulah cara penyampaiannya. Ditunjukkannya bahwa tak lain tak bukan sungguh hidup ini adalah sebuah rasa merasai, dan berbagi kepada sesama adalah cara terbaik mengisi relung kebaikan di jiwa. Kebaikan dari hati adalah sebuah rasa bahagia dan bangga yang juga menjadi obat pengingat diri di masa datang jika Allah mengizinkan.
Sebuah pesan yang amat penting tak pernah datang secara mudah, ia memerlukan kode-kode dan saringan-saringan agar boleh disampaikan kepada yang dipesankan. Adalah tugas kita untuk tak berhenti berpikir, dan terus cerdas sebagai seorang muslim. Karena Allah mencintai orang yang berpikir akan ilmu yang ia dapat. Dalam kesadaran pemikiran itu, saya rasa merasai akan diri saya sendiri. Sudahkah saya berbagi lagi saat ini?
Itulah yang meyakini saya, bahwa Ramadhan inilah saat yang tepat menyegarkan kembali akan kesenangan kita akan merasa- rasai dan berbagi. Sungguh saya yakini nikmat berbagi lebih nikmat dari berbagi itu sendiri.
*Sebuah Kisah Nyata, 21/7/12