Hari-hari terakhir ini, semakin riuh ramai saja diperbincangkan kematian tragis seorang gadis di Langsa pada 6 September lalu. Ya, kematian almarhumah dara berinisial PE itu ternyata semakin membuat gaduh. Utamanya setelah kasus itu biblow up oleh media-media nasional. Sebut saja, misalnya, Majalah Tempo, menurunkan laporan dan opini tentang hal tersebut di edisi Senin, 17 September 2012.
Dimana Pemerintah dan Civil Societies Aceh?
Keriuhan dan kegaduhan itu, seperti yang telah diprediksi oleh banyak pihak, ujung-ujungnya berupaya mendeskriditkan upaya penegakan syariat di negeri Serambi Mekah Aceh dan kemudian memunculkan agenda untuk mengkriminalisasi lembaga yang dibentuk secara resmi untuk menjadi garda terdepan penegakan syariat; Dinas Syariat Islam. Khususnya Dinas Syariat Kota Langsa.
Anehnya, belum ada satupun lembaga di tanah syuhada ini, baik pemerintah di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota maupun organisasi sipil yang selama ini mengaku peduli dan menjadi pembela syariat berupaya memberikan counter opinion atas laporan dan opini dalam Majalah Tempo tersebut. Mengapa semua diam? Mengapa semua bungkam? Kemana Bupati, Wali Kota atau bahkan Gubernur negeri syariat ini? Tidak adakah lagi marwah negeri ini sehingga siapa saja bisa mengobok-obok -tata nilai dan tata aturan yang telah terlembaga- seenak perut mereka?
Atau mulut kita telah tersumpali dengan dolar? Perut kita telah dikenyangkan dengan euro, pouns, yen, atau mata uang asing lainnya? Tidakkah ada lagi keberanian untuk mengatakan, kami muslim dan kami bangga dengan syariat kami….?!
Apresiasi untuk DDII Depok
Namun demikian, kegundahan penulis sedikit terobati usai membaca rubric Surat Pembaca di laman hidatullah.com (Jumat, 12/10/2012). Dewan Dakwah Islam Indonesia Kota Depok, melalui Ketuanya, Nuim Hidayat, bergerak dengan mengirimkan counter opinion untuk menanggapi pemberitaan Majalah Tempo tersebut.
DDII Kota Depok mengawali surat mereka dengan ungkapan sangat tegas, lugas, tajam dan langsung to the poin, “Dalam sebuah tulisan berjudul "Surat Terakhir Dari Putri” edisi Senin, 17 September 2012, Majalah Tempo menulis yang cukup menyakitkan umat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Dengan simplifikasi yang buru-buru dan tanpa penelitian yang mendalam, Tempo langsung mengambil kesimpulan qanun sebagai salah satu sebab kematian putri.
“Terlepas dari penyebab kematiannya, banyak pihak berharap agar Putri menjadi korban terakhir dari penerapan qanun yang dibuat dan diterapkan tanpa memperhatikan perlindungan atas hak-hak anak,” demikian tulisanya. Tulisan yang dibuat Jajang Jamaludin dan Imran MA ini juga menyimpulkan: “Kematian Putri menjadi kian tak biasa karena berkaitan dengan penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah…”
Selanjutnya, DDII Kota Depok menulis, “Misi Tempo yang cenderung ‘anti syariat Islam’ semakin jelas, dengan ditampilkannya artikel kedua tentang kasus di Aceh itu dengan artikelnya: “Diskriminasi Sana Sini”. Dalam alinea pertama, Tempo menulis: “Kematian Putri Erlina tak hanya mengundang belasungkawa dari masyarakat biasa. Lebih dari itu, kematian remaja 16 tahun ini juga memantik kembali perlawanan kalangan aktivis perlindungan anak dan perempuan terhadap peraturan yang mereka anggap diskriminatif. “Putri menjadi korban kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama,” kata Komisioner Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani dalam siaran persnya, Jumat pekan lalu.
Artikel itu kemudian ditutup dengan kalimat: “Karena itulah Andy mendesak agar aturan aturan yang diskriminatif dan sangat merugikan tersebut segera direvisi. Sesuatu yang juga sejak dulu diteriakkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.”
Dan kebijakan Tempo yang sinis terhadap syariat Islam itu makin terlihat jelas dengan Catatan Pinggir yang dibuat ‘god father-nya’ Goenawan Mohamad. “Mengenang Putri, 16 tahun, yang bunuh diri setelah dituduh sebagai pelacur oleh polisi syariah di Langsa, Aceh,”kata Goenawan mengawali catatannya.
Kebijakan Tempo anti Perda Syariah dan Undang-Undang yang Islami ini sebenarnya sudah lama dan nampak terang benderang pada Tempo edisi 4 September 2011, dengan menampilkan judul liputan khusus: Perda Syariah Untuk Apa. Kebijakan redaksinya nampak dalam kolom opininya yang menyatakan : “Indonesia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah. Lihat saja penerapan aturan-aturan baru bernuansa keagamaan itu.
Ketentuan itu diterapkan secara diskriminatif: begitu tegas terhadap masyarakat kelas bawah, tapi tidak bergigi manakala harus berhadapan dengan pelanggar aturan dari kalangan elite atau masyarakat kelas atas. Inilah antara lain kritik terhadap penerapan syariah Islam yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Bumi Serambi Mekah, Aceh. Hampir semua hukuman hanya mengena pada masyarakat kelas bawah.”
Tempo menutup kebijakan redaksinya itu dengan tulisan: “Lahirnya aturan-aturan syariah ini barangkali lebih efektif ketimbang dakwah puluhan tahun para kiai di kampung-kampung. Sebab aturan-aturan itu menggunakan tangan-tangan perkasa pemerintah (daerah) untuk memaksa para perempuan setempat mengenakan kerudung dan pakaian yang Islami, atau memaksa pasangan yang hendak menikah belajar membaca Al Quran lebih serius. Namun kemungkinan besar aturan-aturan itu tidak sanggup menjawab persoalan substansial yang sedang dihadapi bangsa ini, seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan dan korupsi.”
Kesimpulan yang Membahayakan
Majalah Tempo yang dikenal dengan majalah investigasi ternama, ternyata dalam kasus bunuh diri Putri di Langsa Aceh ini melakukan simplifikasi yang buru-buru dan dipaksakan. Tempo tidak berusaha mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang kasus ini dan mengambil kesimpulan bahwa kasus bunuh diri itu karena berkaitan dengan penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah.
Ada beberapa cacat mendasar dalam laporan Tempo soal kasus itu:
Satu, Tempo tidak mengadakan penelitian dengan mewawancarai mendalam berbagai pihak, apakah masyarakat sekitar, keluarga dan Dinas Syariat Islam Aceh benar tidaknya Putri itu pelacur. Hanya berdasar pada surat dari Putri, Tempo menampik Putri itu pelacur. Padahal Koran lokal pada 4 September 2012, seperti diberitakan Tempo, menulis judul: “Dua Pelacur ABG Ditangkap Menjelang Subuh.” Harian Pro Haba Aceh menulis : “Dua Pelacur ABG Dibereukah WH”.
Dua, bila Putri bukan pelacur, maka Kepala Dinas Syariat Islam kota Langsa, Ibrahim Latif sendiri mengaku tidak mengatakan bahwa dua perempuan itu pelacur. Ini Nampak dari sikap polisi Syariah Aceh yang melepaskan dua perempuan itu ke keluarganya, esok hari, karena baru sekali ini tertangkap razia. Bila mereka pelacur ’ biasanya’ berulang kali tertangkap. Maka bila ada Koran harian di Aceh, membuat judul dengan mengatakan bahwa Putri dan temannya itu pelacur, tentu di luar tanggung jawab Kepala Dinas Syariat Islam.
Tiga, maka, kesimpulan Tempo yang menyatakan kematian Putri akibat diterapkannya syariat Islam di Aceh, menimbulkan pertanyaan: pertama, Polisi Syariah Aceh sudah menangkap ratusan atau ribuan orang yang berkhalwat seperti Putri ini (qanun disahkan tahun 2003), dan baru sekarang terjadi kasus bunuh diri, kenapa sebelum-sebelumnya tidak terjadi kasus bunuh diri?
Kedua, terjadinya kasus bunuh diri Putri ini, tentu harus diselidki lebih lanjut: apa yang telah dilakukan Putri selama ini sehingga ia berani mengambil resiko bunuh diri? Bagaimana hubungan keluarga di Putri? Apakah ada kasus tertentu yang menimpa Putri selain ia ditangkap malam itu karena melanggar undang-undang yang ada? Surat dari Putri yang menyatakan bahwa ia tidak menjual diri ditulis, karena ia dituduh polisi Syariah Aceh ia menjual diri atau karena media menulis bahwa ia pelacur? Dan seterusnya.
Empat, kami menyadari bahwa merupakan hak Tempo lah untuk menempatkan diri sebagai oposisi melawan syariat Islam di Aceh. Tapi karena media jurnalistik membawa dampak yang luas di masyarakat, maka kami berharap Tempo hati-hati, cover both side dan tidak menyederhanakan masalah, bila terjadi suatu kasus karena diterapkannya syariat Islam.
Lima, bagi kami, diterapkannya syariat Islam di Aceh adalah suatu berkah. Karena memang dalam sejarahnya, Islam menjadi elan vital dan prinsip yang kokoh dalam perjuangan rakyat Aceh (dan juga bangsa Indonesia) ratusan tahun melawan penjajah Belanda. Entah apa jadinya seandainya Islam tidak menjadi pegangan dalam perjuangan masyarakat Aceh dan rakyat Indonesia melawan Belanda yang disamping ingin menguras kekayaan tanah air juga menyebarkan Kristenisasi di Indonesia.
Enam, kami menyadari diterapkannya syariat Islam di Aceh, masih ada kekurangan di sana-sini. Tapi paling tidak kini Aceh jauh lebih damai dari pada dulu sebelum diterapkannya syariat Islam di sana. Juga kami yakin bila diadakan survei yang obyektif tentang pemerkosaan, kenakalan remaja, tawuran dan lain-lain di Aceh dengan daerah lain yang tidak diterapkan syariat Islam, maka Aceh lebih rendah angka kriminalitasnya.
Tujuh, bila Tempo mau obyektif, sedikit-sedikit ada kasus di Aceh, karena pelaksanaan syariat Islam di Aceh, maka Tempo juga harusnya bersikap adil bahwa banyaknya korupsi, pembunuhan dan kejahatan di negeri ini karena diterapkannya ‘undang-undang sekuler’. Beranikah Tempo mengambil kesimpulan seperti itu?
Delapan, kami terus terang akan senantiasa mendukung diterapkannya syariat Islam baik dalam bentuk Perda maupun Undang-Undang. Karena bagi kami ini adalah prinsip hidup dan akan membawa berkah dan kesejahteraan di negeri ini. Kami yakin bila syariat Islam diterapkan dan penegak-penegak hukumnya bersikap Islami, maka angka kriminalitas, korupsi dan kejahatan lainnya akan turun drastic. Bila Tempo anti Perda yang bernuansa syariat Islam atau undang-undang yang Islami, maka kami akan senantiasa ’ melawan’ Tempo. Rakyat Aceh harus bersatu melawan majalah Tempo ini.
Sembilan, kami menyadari bahwa dalam penerapan syariat Islam itu tentu ada ketidaksempurnaan. Karena itu kami terus mendorong ditingkatkannya kualitas guru agama, polisi syariah dan petugas-petugas lain di lapangan maupun pengambil kebijakan sehingga penerapan syariat ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan menjadi rahmatan lil alamin bagi semua”
Bila Aceh Bergerak?
Salut! Itulah kata yang seketika mencuat di benak penulis usai menuntaskan bacaan atas risalah DDII Depok itu. Sepuluh jari di atas kepala kepada mereka. Angkat topi buat keberanian dan ketulusan mereka dalam membela penegakan syariat di Aceh. Padahal, jarak yang membentang antara Aceh dan Depok tidaklah dekat. Ribuan kilo meter jaraknya. Namun hal itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak peduli. Tidakkah kita malu?
Selanjutnya, bila Aceh yang merupakan TKP (Tempat Kejadian Perkara), mulai bergerak? Mari jawab pertanyaan itu dengan segera. Tanpa menunda-nunda lagi. Bukan masanya lagi berdiam diri. Atawa bertopang dagu. Apatah lagi tergugu mangu. Singsingkan lengan baju. Sungguh, kebajikan itu membutuhkan kekuatan, sebagaimana kezaliman itu juga menggunakan kekuatan terbaik mereka.
sumber: suaraaceh.com
Oleh Ahmad Arif*
Penulis adalah pendiri dan pemilik pustaka komunitas RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh