Sedih, pilu dan malu mendapati kabar tidak adanya syarat bisa baca Alqur’an dalam draft Qanun Wali Nanggroe. Di tengah upaya membumikan Alqur’an dalam semua tatanan kehidupan di Aceh, namun upaya untuk mendisfungsikan Alqur’an justru datang dari lembaga wakil rakyat, DPRA. Upaya mendisfungsikan Alqur’an dalam draft Qanun Wali Nanggroe terlihat dari logika yang disampaikan seorang anggota DPRA, Abdullah Saleh kenapa sehingga poin syarat bisa baca Alqur’an dalam draft Qanun itu ditiadakan.
Alasannya, poin syarat bisa baca Alqur’an bisa merendaahkan wibawa, kharisma dan gezah sang wali Nanggroe sehingga tidak elok bagi Wali Nanggroe untuk ditest baca Alqur’an di depan khalayak ramai. Test baca Alqur’an cukup tersebut secara implisit saja (acehkita.com/3/11/12).
Logika seperti ini bagi saya sangat menyesatkan. Karena posisi Alqur’an sesungguhnya lebih besar dan lebih penting dari sekedar menjaga wibawa calon Wali Nanggroe dengan segala kekuasaan dan tanggung jawab yang akan diembannya. Dengan logika yang sehat, kita pasti bisa memahami, bahwa hanya ketidaklulusan dalam test ini saja yang akan merendahkan wibawa calon Wali Nanggroe, karena memang bisa baca Alqur’an adalah kriteria paling mendasar bagi seorang muslim sehingga seorang muslim yang mampu baca Alqur’an akan lebih diutamakan menjadi pemimpin bagi umat Islam ketimbang seorang calon pemimpin yang tidak memiliki kemampuan untuk baca Alqur’an.
Sebaliknya, kemampuan seorang calon pemimpin untuk baca Alqur’an justru akan meninggikan wibawa dan derajatnya, di sisi Allah maupun di hadapan manusia. "Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui" (QS. az-Zumar : 9). Bahkan, dalam ayat lain Allah telah memperjelas: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."(Q.S al-Mujaadilah: 11). Nah, apakah mungkin kita akan melihat Wali Nanggroe terpilih nanti yang kemampuan baca Alqur’annya tidak diketahui khalayak ramai? Lalu, bagaimana mungkin wibawa itu akan muncul?
Urgensi test baca Alqur’an
Alqur’an adalah sumber rujukan seorang muslim dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Dengan kemampuannya membaca Alqur’an, seorang muslim akan menjadi mudah untuk melakukan ibadah-ibadah lainnya sehingga darinya bisa terpancar cahaya keimanan, cahaya Islam yang akan menerangi dirinya, keluarga dan atau rakyat yang dia pimpin.
Sebaliknya, ketidakmampuan seorang muslim untuk membaca Alqur’an menandakan akan sulit baginya untuk berinteraksi dengan Alqur’an secara langsung, dan apalagi untuk menerjemahkan isinya. Alhasil, syarat bisa baca Alqur’an bagi seorang pemimpin di level dan tingkatan manapun niscaya sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Lebih lagi, syarat mampu bisa Alqur’an saat ini sedang sangat digemakan dalam berbagai seleksi bagi siapapun yang berminat untuk mengemban amanah kepemimpinan di berbagai level dan tingkatan. Dan hal itu telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan masyarakat Aceh. Usaha seperti itu juga merupakan syi’ar menuju kehidupan Aceh yang lebih Islami sebagaimana pesan Allah dan RasulNya serta petuah para ulama.
Di samping itu, adanya syarat mampu baca Alqur’an dalam berbagai seleksi untuk menduduki sebuah jabatan atau untuk lulus dalam sebuah ujian akan memberikan sebuah stimulus besar dalam upaya “memberantas” buta huruf/melek Alqur’an di Aceh. Dengan menyadari bahwa seseorang tidak mungkin akan bisa lulus dalam sebuah ujian atau menduduki sebuah jabatan jika tidak mampu baca Alqur’an, maka ia akan mempersiapkan diri sedini mungkin. Persiapan-persiapan itu akan mendekatkannya kepada Alqur’an yang akan membantunya menuju kehidupan Islami, kehidupan yang damai, harmonis.
Adanya test mampu baca Alqur’an dalam setiap seleksi kepemimpinan selama ini membuktikan bahwa kita telah maju beberapa langkah dalam hal revitalisasi Alqur’an dan Hadits sebagai sumber hukum, landasan bergerak dan alasan menuju kebangkitan. Maka, menganggap poin syarat bisa baca Alqur’an dan di test di depan public bisa merendahkan derajat sang calon Wali Nanggroe bisa disebut sebagai upaya untuk kembali ke masa ‘kegelapan’.
Jangan maju ke belakang
Kita berharap statemen Abdullah Saleh tersebut tidak mewaliki Partai Aceh (PA) sebagai sebuah organisasi. Sebab, kepercayaan yang diberikan rakyat Aceh kepada para wakilnya dari PA mewakili segenap harapan terbesar rakyat Aceh sejak beberapa dekade silam. Keberadaan para wakil rakyat dari PA di DPRA mewakil semangat revolusioner dan kerinduan rakyat Aceh untuk kembali ke masa kejayaan. Bahkan, saya bisa menyamai kepemimpinan Partai Aceh di Aceh hampir “setara” fenomenalnya dengan kekuasaan yang diberikan rakyat Mesir kepada Partai Keadilan dan Pembebasan yang lahir dari gerakan perlawanan Ikhwanul Muslimin.
Obsesi utama rakyat Mesir memilih para wakil rakyat dari Ikhwanul Muslimin untuk duduk di legislatif dan eksekutif adalah karena perasaan kerinduan mereka untuk hidup dalam naungan Islam serta terbebas dari berbagai bentuk penindasan dan tirani rezim yang oportunis pimpinan Husni Mubarak yang resistensi terhadap hukum Allah di bumi Mesir. Di era Husni Mubarak, bahkan kampanye dengan menggunakan slogan “Islam adalah solusi” pun dilarang keras, para aktivis Islam banyak yang ditangkap dan disiksa hal mana yang kemudian melahirkan revolusi rakyat Mesir yang menggulingkan Husni Mubarak dari kursi kekuasaannya.
Dalam konteks Partai Aceh yang kita anggap sebagai kekuasaan yang lahir pasca “revolusi”, partai ini telah melakukan beberapa kemajuan dalam hal membentuk kehidupan Aceh yang lebih Islami. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah kita ketahui telah menunjukkan keinginan kerasnya untuk memberantas korupsi di Aceh. Bahkan, Wakil Gubernur Aceh yang juga pimpinan Partai Aceh, Tgk Muzakkir Manaf, di awal kepemimpinannya juga telah melemparkan sebuah wacana yang sangat indah dan urgen, yaitu melakukan pembangunan Aceh yang berbasiskan akhlak dan moralitas serta akan menjadikan para ulama sebagai pelita dalam membangun Aceh.
Jadi, dibawah kepemimpinan baru Aceh kita telah maju beberapa langkah, sehingga tidak mungkin harus mundur kembali. Test mampu baca Alqur’an di hadapan publik harus kembali dicantumkan dalam draft Qanun Wali Nanggroe. Semoga!
sumber: suaraaceh.com
Oleh Teuku Zulkhairi | Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh