Ancaman 'Stunting' Bagi Anak Aceh

Ancaman 'Stunting' Bagi Anak Aceh
UMUR sama, tinggi badan berbeda. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa hal ini bisa saja terjadi dengan dalih adanya unsur genetika. Orang tua dengan tinggi badan di bawah rata-rata bahkan menganggap ini sebagai sesuatu yang wajar, manakala mereka menemukan bahwa bayi mereka memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur dan berat badan yang dimiliki bayi tersebut. Paradigma ini pada akhirnya menjauhkan kesadaran masyarakat dari adanya indikasi ancaman stunting terhadap anak-anak mereka, terutama yang telah berusia 2 tahun (balita).

Stunting (tinggi kurang terhadap umur) menunjukkan buruknya pertumbuhan linear yang terakumulasi selama periode sebelum dan setelah kelahiran karena gizi buruk dan kesehatan yang buruk. Penyebab stunting bisa bermula ketika bayi yang masih dalam kandungan mengalami kekurangan makro/mikro-nutrient sehingga menghambat perkembangan janin. Hal ini terjadi karena bayi tidak mendapat gizi yang tepat untuk pertumbuhan akibat tidak seimbangnya asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh sang ibu.

Kemunduran mental
Menurut Cooperative State Research, Education, and Extension Service, Amerika Serikat, stunting usia dini yang terjadi pada anak-anak dan balita berhubungan dengan kejadian kemunduran mental pada tingkat intelegensi anak, perkembangan psikomotorik, kemampuan motorik yang baik, dan integrasi saraf-saraf neuron. Cara untuk mengetahui kemungkinan terjadinya stunting adalah dengan melihat Kartu Menuju Sehat (KMS), yaitu melakukan perbandingan antara tinggi dan berat badan yang dimiliki anak.

Meski prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 13% dalam sepuluh tahun terakhir, namun Indonesia masih memiliki 35,6% balita pendek yang terdiri dari 18,5% balita sangat pendek dan 17,1% balita pendek. Nilai ini terbilang bagus meski tidak cukup baik, karena prevalensi stunting tersebut telah mengalami penurunan sebesar 1,2% dari yang semula 36,8% pada 2007.

Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, angka ini diharapkan dapat terus menunjukkan adanya penurunan yang signifikan sampai pada 2015, dengan target mencapai 32% di seluruh Indonesia. Lalu berapa persenkah prevalensi stunting di Aceh saat ini? Meski bukan penyandang gelar sebagai provinsi dengan tingkat stunting tertinggi, Aceh yang pada 2010 memiliki prevelensi stunting sebesar 38,9%, justru mengalami pelonjakan yaitu mencapai 44% pada 2012 ini.

Semoga dengan ini masyarakat menjadi semakin jelas dan paham, bahwa setidaknya sekitar setengah dari anak-anak di Aceh, mengalami masalah gizi kronis. Dan itu artinya, kita masih harus bekerja keras mengatasi stunting karena batas non public health yang ditetapkan WHO pada tahun 2005 adalah sebesar 20%, sedangkan masyarakat Aceh boleh jadi prihatin karena memiliki angka yang dua kali lipat jauh lebih besar dari angka batasan ini.

Sebagian besar manusia zaman sekarang tidak lagi beranggapan bahwa “anak yang sehat adalah anak yang gemuk”. Tetapi pemahaman ini telah lama bertahan di tengah masyarakat sehingga tetap meninggalkan kebiasaan yang kurang baik sekalipun mereka sadar bahwa gemuk pada anak mereka tidak selalu berarti sehat. Misalnya saja orang tua yang masih berkutat pada kuantitas makanan yang dikonsumsi anak-anak mereka dibandingkan kualitas gizi yang terkandung di dalamnya, dan cenderung merasa bangga ketika melihat anak mereka makan dalam porsi besar.

Masalah gizi
Masalah gizi seringkali ditengarai sebagi masalah utama penyebab stunting pada anak-anak selain masalah PDRB/kapita, perilaku hygiene, pemanfaatan Posyandu, dan imunisasi. Meskipun demikian, masalah gizi pada anak-anak juga dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan faktor pendidikan orang tua. Semakin baik tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga serta keadaan ekonomi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan primer, maka semakin rendah prevalensi stunting. Namun pada dasarnya, tak perlu berlatar belakang pendidikan rendah ataupun tinggi, asal pengetahuan dan kesadaran orang tua cukup memadai mengenai asupan gizi yang baik untuk anak mereka, maka stunting tidak perlu menjadi masalah.

Hasil analisis multivariat yang dilakukan oleh Riskesdas menunjukkan pendidikan ayah dan tinggi badan ibu merupakan faktor yang paling berhubungan dengan perubahan status stunting dari normal menjadi stunting. Sedangkan pendidikan ayah dan pemberian ASI eksklusif oleh ibu berhubungan dengan menetapnya status stunting pada anak. Peningkatan edukasi guna meningkatkan kesadaran orang tua mengenai gizi harus segera direalisasikan untuk membiasakan pola makan sehat sejak dini. Upaya ini diharapkan menjadi satu pendekatan jangka panjang guna memutus mata rantai kejadian stunting di lingkungan masyarakat Aceh.

Stunting (tubuh pendek) umumnya menimpa anak-anak di Negara-negara miskin. Apabila ditilik lebih dalam, masalah stunting bukanlah merupakan permasalahan baru, melainkan dampak lanjutan dari masalah gizi buruk yang berkepanjangan. Akibatnya kini hampir diseluruh belahan dunia, generasi penerus terancam keberadaannya tidak terkecuali daerah-daerah yang memiliki kelebihan bahan pangan (American Society for Nutritional Sciences).

Stunting dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan, kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat. Dampaknya sangat luas, mulai dari dimensi ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan dimensi bangsa yang berefek pada masa depan anak. Pada anak stunting, ketika ia tumbuh dewasa dan asupan makanannya semakin besar, ia tidak bisa lagi mengalami pertumbuhan ke atas yang membuatnya berisiko mengalami obesitas dan terkena penyakit ketika dewasa.

Dampak stunting
Dampak stunting tidak hanya terjadi pada penampilan fisiknya saja, tetapi juga pada buruknya produktivitas, rendahnya prestasi belajar, serta merosotnya mutu kecerdasan yang berakibat pada penurunan kualitas berpikir/intelegensia (IQ) sehingga terpupuklah tunas-tunas kebodohan. Stunting tidak hanya berorientasi pada permasalahan gizi saja, karena apabila kasus stunting terus merebak tanpa bisa di atas dalam jangka waktu relatif panjang, maka tak perlu lagi bangsa ini bermimpi akan hadirnya calon-calon penerus yang cerdas dan berkualitas.

Jika begitu, hal ini merupakan PR bagi pemerintah setempat agar mampu menanggulangi masalah stunting seefektif dan seefisien mungkin, sehingga anak-anak di Aceh terhindar dari apa yang sering kita sebut sebagai the lost generation (generasi yang hilang). Namun tetap saja, usaha pemerintah juga tidak akan banyak membantu apabila tidak dibarengi oleh kesadaran dan partisipasi dari masyarakat, terutama peran serta para orang tua dan pakar-pakar kesehatan.

Oleh : Puji Hariarti, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: zza.hariu@gmail.com

Share this