Para tokoh agama Kristen mengemukakan, pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh tidak mengganggu bagi umat nonmuslim, sehingga kerukunan antarumat beragama di daerah itu berjalan dengan baik dan damai.
"Umat Kristen tidak merasakan sesuatu yang berat, karena syariat Islam untuk umat Islam dan kami bisa menghargai apa yang diatur," kata Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Banda Aceh Pdt Sandino, STh pada diskusi pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dan daerah di Banda Aceh, Selasa.
Ia menyatakan, meskipun umat kristen tergolong minoritas, tapi tidak terganggu dalam beribadah, karena umat di wilayah itu saling menjaga dan toleransi, sehingga kehidupan masyarakat selalu aman dan damai.
"Kami selalu menghargai umat Islam di Aceh, seperti pada saat bulan puasa warga nonmuslim di daerah ini tidak berjualan makanan dan minum pada siang hari di tempat umum," katanya.
Jadi, kerukunan umat beragama di Aceh sudah sangat baik, sehingga hal ini perlu terus dipertahankan dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat, katanya.
Hal senada juga dikemukakan Pastor Sebastianus Eka BS. Ia menilai, pelaksanaan syariat Islam ditekankan untuk umat muslim, sehingga jemaat Katolik sama sekali tidak terganggu.
"Kami sangat menghormati syariat Islam di Aceh, terkadang ada umat kristen pakai kerudung sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam," katanya.
Selain itu, bila tidak mampu memakai kerudung juga disarankan agar berbusana yang sopan, sehingga tidak menyinggung perasaan warga muslim, katanya.
Kepada wanita juga dianjurkan untuk memakai pakaian dan memakai busana di bawah lutut. Apa yang dituju adalah kerukunan dan kedamaian.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Rohaniwan Presedium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Xs Djaengrana Ongawijaya menyatakan, dirinya sangat kagum dengan kerukunan antarumat beragama di Aceh yang saling menghormati dalam menjalankan keyakinan.
Ia menyatakan, apa yang terjadi di Aceh ini agar tetap dipertahankan dengan terus melakukan dialog secara kontinu, baik di tingkat elit maupun masyarakat yang paling bawah, yakni desa.
Dikatakan, perbedaan yang ada agar dikelola secara baik, sehingga tidak menimbulkan konflik, dan ini sudah dilakukan masyarakat di Aceh, sehingga kerukunan antaragama di daerah ini sangat baik. (antara)
"Umat Kristen tidak merasakan sesuatu yang berat, karena syariat Islam untuk umat Islam dan kami bisa menghargai apa yang diatur," kata Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Banda Aceh Pdt Sandino, STh pada diskusi pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dan daerah di Banda Aceh, Selasa.
Ia menyatakan, meskipun umat kristen tergolong minoritas, tapi tidak terganggu dalam beribadah, karena umat di wilayah itu saling menjaga dan toleransi, sehingga kehidupan masyarakat selalu aman dan damai.
"Kami selalu menghargai umat Islam di Aceh, seperti pada saat bulan puasa warga nonmuslim di daerah ini tidak berjualan makanan dan minum pada siang hari di tempat umum," katanya.
Jadi, kerukunan umat beragama di Aceh sudah sangat baik, sehingga hal ini perlu terus dipertahankan dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat, katanya.
Hal senada juga dikemukakan Pastor Sebastianus Eka BS. Ia menilai, pelaksanaan syariat Islam ditekankan untuk umat muslim, sehingga jemaat Katolik sama sekali tidak terganggu.
"Kami sangat menghormati syariat Islam di Aceh, terkadang ada umat kristen pakai kerudung sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam," katanya.
Selain itu, bila tidak mampu memakai kerudung juga disarankan agar berbusana yang sopan, sehingga tidak menyinggung perasaan warga muslim, katanya.
Kepada wanita juga dianjurkan untuk memakai pakaian dan memakai busana di bawah lutut. Apa yang dituju adalah kerukunan dan kedamaian.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Rohaniwan Presedium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Xs Djaengrana Ongawijaya menyatakan, dirinya sangat kagum dengan kerukunan antarumat beragama di Aceh yang saling menghormati dalam menjalankan keyakinan.
Ia menyatakan, apa yang terjadi di Aceh ini agar tetap dipertahankan dengan terus melakukan dialog secara kontinu, baik di tingkat elit maupun masyarakat yang paling bawah, yakni desa.
Dikatakan, perbedaan yang ada agar dikelola secara baik, sehingga tidak menimbulkan konflik, dan ini sudah dilakukan masyarakat di Aceh, sehingga kerukunan antaragama di daerah ini sangat baik. (antara)