Melupakan GAM?

Melupakan GAM?
Di awal perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) periode 1998, anggota GAM yang telah mendapatkan ideologi yang berada di Malaysia dan bahkan yang telah menjalani pendidikan militer di Tripoli Libya berada di bawah satu garis komando pemimpin tertinggi Wali Neugara Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Mereka kembali ke Aceh untuk melakukan penerangan perjuangan GAM melalui ceramah di kampung-kampung dan meunasah-meunasah.
Hal ini dilakukan untuk memberikan penerangan sejarah dan status Aceh secara hukum Internasional. Penerangan seperti ini dihadiri oleh ratusan massa dari berbagai pelosok gampĂ´ng. Melalui penerangan ini masyarakat memiliki wawasan ideologi tentang dasar perjuangan GAM yang diproklamirkan oleh Hasan di Tiro di Gunong Halimon pada 4 Desember 1976.
Pada saat itu juga Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) mulai merekrut dan meminta pemuda-pemudi yang pintar, berani, berpendidikan baik sekolah maupun pesantren/dayah, sehat badan dan pikiran, serta cukup usia di kampung-kampung secara sukarela dilatih menjadi teuntra GAM.
Pemuda-pemudi yang mendaftar secara sukarela untuk menjadi anggota GAM memiliki kriteria dan alasan sebagai berikut, di antaranya  ada yang pemberani namun berpendidikan rendah, orang tua menjadi korban Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998.
Di samping itu ada juga yang ikut-ikutan ingin memegang senjata, mengalami permasalahan pribadi seperti maling, terkait utang-piutang dan lain-lain mencari aman bergabung dengan GAM.
Selain itu ada yang bergabung sebab terpengaruh mendengar ceramah atau penerangan GAM karena jika merdeka, maka negara dapat diatur sendiri dan semua rakyat Aceh makmur hidupnya dan berpendidikan  seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha, tokoh masyarakat dan ulama, dengan kesadaran sendiri karena ingin membantu perjuangan GAM.
Berbagai elemen masyarakat dalam unsur GAM  bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Mayoritas yang pemberani bertempur, menjaga radio komunikasi, logistik, perhubungan, mencari dana, membeli senjata, dan lain-lain. Indonesia pun menerapkan berbagai operasi militer  untuk menumpas GAM. Ribuan GAM masih hidup, termasuk segelintir yang berperilaku negatif yang selamat hingga sekarang.
Sekarang, akibat ulah perilaku negatif segelintir orang seperti ini, masyarakat menerjemahkan orang-orang seperti ini jumlahnya lebih dominan dibandingkan orang baik dan berpendidikan. Karena mereka berpendidikan rendah sehingga menjadi pemberani dan tak takut mati, rela meninggalkan keluarga bergabung dalam barisan GAM.
Padahal tidak sedikit mereka yang menjadi syuhada dalam pertempuran itu, mati kelaparan karena terkepung dan tersesat dalam hutan belantara, serta memperoleh hasil yaitu isterinya menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim.
Nama KPA/GAM sangat populer dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, KPA/GAM kerap disebutkan mulai dari pembicaraan di warung kopi hingga ke kantor pemerintahan.
Di masa konflik nama Teuntra Neugara Aceh  (TNA) atau GAM sangat diagung-agungkan oleh rakyat Aceh, mereka adalah pahlawan perjuangan yang membela kepentingan dan melindungi rakyat. Kini nama KPA/GAM telah memudar atau tak lagi dianggap sebagai pahlawan perjuangan yang melindungi rakyat sebagaimana masa konflik.
Seharusnya Kita menyadari bahwa sekarang Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sekitar Rp 7 triliun adalah hasil perjuangan mereka dan rakyat yang mendukung perjuangan GAM. Tanpa perjuangan GAM bersama rakyat, tanpa suara ledakan bom, tanpa letusan senjata, tanpa mengalir darah dan air mata, tak ada yang namanya Dana Otonomi Khusus Bagi Hasil Migas (Otsus Migas).
Kini Aceh sudah damai, ruang dan waktu telah tersedia untuk mengatakan terima kasih kepada yang peduli Aceh. Dengan dukungan semua pihak, rakyat perlu menyadari bahwa perjuangan melalui GAM telah membawa nama Aceh diakui oleh dunia Internasional, seperti Uni Eropa yang memfasilitasi MoU GAM dengan Indonesia di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Adalah sebuah fakta sejarah bahwa Aceh dan organisasi perjuangan GAM diakui keberadaan di Internasional.
Namun mereka yang kini telah duduk di tampuk-tampuk kepemimpinan atau sukses dan hidup makmur akibat perjuangan ini terkesan tidak mengakui bahwa keberadaan di sana, kesuksesan dan kemakmuran mereka karena menggunakan terkait tiga huruf yaitu G, A dan M atau GAM. Para tampuk pimpinan itu menganggap seolah-olah karena kepintaran dan kejagoan pribadi mereka masing-masinglah yang mengantarkan mereka hingga menjadi tampuk pimpinan di Aceh. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa GAM tidak lama lagi bertahan di Aceh, karena GAM orang-orang bodoh.
Seharusnya para tampuk pimpinan dan semua yang telah sukses dan makmur menyadari bahwa jabatan, kesuksesan dan kemakmuran yang diperoleh setelah perdamaian ini adalah semuanya hasil dari perjuangan.
Kalau dapat diumpamakan dengan membangun jalan, anggota KPA/GAM dan semua elemen merupakan alat utama seperti alat berat becho, grader, exavator, mobil giling, pengaspal jalan, dan lain-lain. Fungsi dan tugas masing-masing semua alat berat ini dari membersihkan lahan, menimbun badan jalan, menggeruk, memindahkan dan meratakan tanah, memecahkan batu besar, dan bahkan memotong gunung hingga rata sehingga terbentuk jalan baru. Mereka bekerja siang dan malam, kondisi yang tidak menentu, di bawah terik panas matahari, guyuran hujan dan debu selama bertahun-tahun, kemudian masuk ke proses pengerasan jalan, hingga terakhir pengaspalan.
Setelah jalan aspal ini selesai, lalu lintas kenderaan pribadi dan umum menjadi mudah, cepat dan lancar, mobil tua, mobil murah, hingga mobil mewah dapat melewati jalan aspal ini. Namun mobil-mobil yang melewati jalan aspal ini sepertinya tak mau tahu bahwa dulu ada becho, grader, exavator, mobil giling dan pengaspal jalan yang membangun jalan.  Seolah-olah jalan yang mereka naiki itu adalah terjadi secara “sim salabin abra kadabra”.
Begitu jalan aspal tersebut selesai dan dapat difungsikan, alat berat seperti Becho, Grader, Exavator, mobil giling dan pengaspal jalan terbuang begitu saja, bahkan dilarang untuk menaiki jalan aspal tersebut walaupun sekedar merasakan nikmatnya berjalan di jalan baru, bahkan tidak sedikit mereka yang ditangkap dan dihukum gara-gara memaksa diri ingin menikmati mulusnya jalan aspal yang telah mereka buat. Justru mereka disalahkan jika menaiki jalan tersebut karena akan merusak jalan aspal dan mengganggu lalulintas kenderaan pribadi dan umum, hingga mobil-mobil mewah.
Semua alat berat ini kurang perhatian dari pengguna jalan tersebut, bahkan nyaris tak ada orang yang bertanya apa keinginan semua alat berat itu? Apakah mereka harus digudangkan, dirawat atau ingin juga menikmati mulusnya jalan aspal?
Jika mereka ingin menikmati mulusnya jalan aspal, ada solusinya yaitu alat berat ini dapat dinaikkan ke dalam mobil lain seperti Trailer atau Intercooler, lalu diangkut melalui jalan aspal yang telah mereka bangun sendiri itu, dengan demikian mereka juga dapat ikut menikmati mulusnya jalan aspal walaupun melalui perantaraan Trailer atau Intercooler. Sehingga jalan aspal akan tetap terjaga tanpa gangguan dan sama-sama bisa menikmatinya.
Kalau mereka kurang diperhatikan dan dibiarkan begitu lama, mereka akan hilang kesabaran dan bahkan panik sehingga mengganggu lalulintas kenderaan pribadi dan umum. Bukankah lebih baik mengakomodir keinginan mereka yang ingin menikmati sedikit nikmatnya jalan aspal yaitu menyediakan beberapa Trailer atau Intercooler yang bisa menampung membawa mereka merasakan nikmatnya jalan aspal daripada membiarkan mereka hilang kesabarannya? Kalau mereka membuat kesalahan, mari kita tegur, bukan dengan mencaci-maki, menghina, bahkan memusuhinya.
Mari jaga perdamaian yang sangat mahal ini. Bersatulah rakyat untuk sama-sama membangun, Janganlah bersatu untuk menghancurkan Aceh. Perjuangan belum berakhir. Melupakan GAM adalah sebuah keniscayaan.
Penulis adalah mantan Jurubicara Militer GAM Wilayah Pasee/mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Share this