Oleh Munawar A. Djalil
Tidak
seperti Jakarta dan Yokjakarta, Aceh tidak pernah menyandang status
ibukota republik ini, tapi tetap saja wilayah di ujung barat nusantara
itu patut disebut “Daerah Istimewa”. Dijuluki demikian bukan saja
lantaran Aceh adalah modal awal republik ini, bukan pula lantaran
rakyatnya yang tak bisa ditaklukkan pemerintah Hindia Belanda dan sudi
bergabung dengan saudaranya di wilayah lain nusantara yang sudah
mengalami penjajahan 300 tahun sebelumnya.
Bukan saja semata-mata akibat kekayaan alamnya, terutama minyak, gas dan hasil hutan, seperti juga di tambangpura di Papua, Bontang di Kalimatan Timur dan Dumai di Riau yang menyumbangkan sebagian devisa untuk memungkinkan roda perekonomian negeri ini berputar. Bukan sekedar itu, Aceh menjadi istimewa sebagaimana propinsi lain dengan kelebihan masing-masing, karena tanpa dia Indonesia bukan Indonesia dan kita bukanlah kita.
Menurut Samantha F Ravich, Aceh merupakan barometer bagi Indonesia mengenai apa yang akan berlaku kemudian di negeri tersebut. Berhasil tidaknya reformasi yang sedang dijalankan di Indonesia dapat dilihat dari Aceh. Apabila pelaksaanaan reformasi di Aceh berhasil, maka bisa dipastikan pelaksanaan reformasi di Indonesia secara keseluruhan akan berhasil juga.
Sebaliknya, kegagalan di Acheh akan mengakibatkan kepada hancurnya negeri tersebut (lihat: Samantha F Ravich (Summer 2000) “Eyeing Indonesia Through the Lens of Acheh”, The Washington Quarterly, Vol.23, No.3, h. 7). Maka tepat sekali kalau Dewi Fortuna Anwar, penasehat mantan Presiden BJ Habibie, mengatakan: “Aceh bisa hidup tanpa Indonesia, tapi Indonesia tidak akan bisa hidup tanpa Acheh.”
Tak banyak dari kita yang sungguh-sungguh mengindahkan keistimewaan ini. Apalagi di masa silam, ketika sendi-sendi kebangsaan membusuk akibat korupsi, pelecehan hukum dan pengagungan stabilatas nasional dengan kekuatan bersenjata. Pembagian hasil sumber daya alam amat tidak adil lantaran tetesan ke bawah semakin kecil.
Banyak orang merasa diskriminasi secara terang-terangan dan kian tak percaya kepada lembaga peradilan. Hasilnya sekian ribu orang kehilangan nyawa tanpa sempat diperjelas kesalahannya. Sekian ribu janda, anak yatim dan orang-orang miskin tanpa perhatian yang optimal. Sementara sekian ratus ribu lainnya mendapatkan cedera di lubuk hati. Pada saat itu sebutan istimewa menjadi tanpa makna.
Di tengah kekerasan yang melumpuhkan Aceh, mungkin orang serempak bertanya: Mengapa kedamaian tiba-tiba menjadi menjauh? Mengapa teror dan pembunuhan berlangsung dengan mudah? Mengapa hukum dan moralitas terdepak dari peradaban? Mungkin bukan jawaban sekunder yang dibutuhkan di sini. Tapi, bagaimana orang harus merasakan sedih melihat nestapa rakyat, yang terombang ambing oleh arus kemunafikan.
Hati Nurani
Kita, kata William Shawcross dalam bukunya The Quality of Mercy memang tak pernah tahu, apalagi senjata dan peluru telah dipandang lebih bagus daripada hati nurani dan akal sehat. Shawcross tidak bisa menemukan jawaban, mengapa di dunia yang satu, siang dan malam hadir dengan damainya, sedang di dunia hanya kelam dan segala yang seram terjadi tak habis-habisnya.
Shawcross tak bisa disalahkan. Sebagai seorang humanioris ia berbicara tentang kebajikan semata-mata dari perspektif kemanusiaan yang universal. Meskipun di Aceh, kita hampir tak yakin lagi apakah perspektif kemanusiaan yang universal itu akan mampu berkata: “Bukankah yang lebih buruk dari kekerasan adalah kebekuan nurani dan pikiran?”.
Inilah sebuah ilustrasi yang saya hubungkan dengan gentayangannya pembunuh-pembunuh yang tidak punya hati nurani, sosok yang sangat menakutkan, yang oleh media disebut orang tak dikenal (OTK). Namun demikian dari modus operandi yang mereka terapkan, kita bisa menduga bahwa mereka satu kelompok terorganisir yang sengaja dibina ala teroris untuk mengobrak-abrik daerah Serambi Mekkah ini.
Makhluk aneh ini akan ada kapan dan di mana saja dan mungkin sekarang sedang berada di dekat lingkungan kita. Terlatih, cekatan, dan piawai pula dalam meneror rakyat. Target utama mereka adalah menciptakan kehancuran, jatuhkan korban. Setelah itu mereka akan tersenyum di saat rakyat dalam nestapa, sungguh mereka tak berhati nurani.
Begitulah cerita yang terhimpun, mengamati realita yang terjadi di Aceh. Dari kenyataan ini mereka adalah makhluk pintar yang sudah menembus dinding ketahanan masyarakat. Memang semula siapa pun bakal ragu bahwa Aceh telah disusupi oleh kelompok tak beridentitas tersebut. Sebab secara nasional daerah Aceh dikenal menyimpan beban sejarah yang telah berusia ratusan tahun.
Tapi siapa sangka kalau dalam periode reformasi dan masa damai Aceh ini, ada pihak yang bermain dengan satu target buruk? Mereka adalah kelompok yang mengisolir diri dari tatanan legal. Mereka tidak pernah menampakkan diri secara terang-terangan. Mereka hanya bisa membunuh dan meneror, setelah itu menghilang seperti ma’op (hantu blawu) gentayangan tidak berwaktu dan tak bertempat.
Unfinished story
Nestapa Aceh agaknya seperti sebuah kisah yang tak pernah berakhir (unfinished story). Mengapa mereka bebas bergerak menciptakan kehancuran? Apakah mereka lebih menyukai kebutaan daripada hidayah Allah SWT? Operasi yang dilakukan memang kejam untuk menyeret Aceh ke jurang kenestapaan. Air mata kita yang sudah kering kembali menangis dengan terbunuhnya orang-orang tak berdosa.
Kalau kelompok yang ingin mengahancurkan Aceh tidak menghentikan aksinya dan rakyat tidak mampu melawannya, maka penegakkan hukum adalah jalan yang paling pasti untuk menjadikan Aceh sebagai negeri yang bertuan. Demi untuk kedamaian Aceh, hukum harus ditegakkan dan dijaga. Itulah salah satu poin yang disampaikan Presiden SBY dalam Rapat Pimpinan Polri. Meskipun selama ini ada kesan pembiaran terhadap berbagai kasus gangguan Kamtibmas di Aceh jelang Pilkada. Menurut SBY hal itu bukan pembiaran melainkan Polri kurang responsif (Serambi Indonesia, Rabu, 18 Januari 2012).
Oleh karena itu, kita meminta kepada pihak-pihak yang bermain di atas penderitaan rakyat supaya jangan lagi korbankan rakyat Aceh. Jadikan rakyat Aceh sebagai tuan di negerinya sendiri. Sudah banyak korban berjatuhan. Semua kita harus menunjukkan bahwa kita punya niat baik untuk mempertahankan damai Aceh, dengan harapan semua orang yang ingin kehancuran ikhlas menghentikan aksinya.
Diharapkan terutama para “stakeholder” baik eksekutif maupun legislatif supaya selalu rukun dan dapat menyelesaikan setiap konflik secara arif. Perlu diingat bahwa kalau perkara politik Aceh tidak terselesaikan dengan bijak, bukan tidak mungkin konflik internal-horizontal Aceh akan semakin meluas. Hal ini menyebabkan rakyat Aceh akan kembali dalam keterpurukan dan nestapa Aceh bagai sebuah unfinished story. Allahu alam.
* Penulis adalah Doktor Bidang Islamic Political Sceince Universitas Malaya/Pemerhati Masalah Sosial Politik, tinggal di Tijue-Sigli.
Bukan saja semata-mata akibat kekayaan alamnya, terutama minyak, gas dan hasil hutan, seperti juga di tambangpura di Papua, Bontang di Kalimatan Timur dan Dumai di Riau yang menyumbangkan sebagian devisa untuk memungkinkan roda perekonomian negeri ini berputar. Bukan sekedar itu, Aceh menjadi istimewa sebagaimana propinsi lain dengan kelebihan masing-masing, karena tanpa dia Indonesia bukan Indonesia dan kita bukanlah kita.
Menurut Samantha F Ravich, Aceh merupakan barometer bagi Indonesia mengenai apa yang akan berlaku kemudian di negeri tersebut. Berhasil tidaknya reformasi yang sedang dijalankan di Indonesia dapat dilihat dari Aceh. Apabila pelaksaanaan reformasi di Aceh berhasil, maka bisa dipastikan pelaksanaan reformasi di Indonesia secara keseluruhan akan berhasil juga.
Sebaliknya, kegagalan di Acheh akan mengakibatkan kepada hancurnya negeri tersebut (lihat: Samantha F Ravich (Summer 2000) “Eyeing Indonesia Through the Lens of Acheh”, The Washington Quarterly, Vol.23, No.3, h. 7). Maka tepat sekali kalau Dewi Fortuna Anwar, penasehat mantan Presiden BJ Habibie, mengatakan: “Aceh bisa hidup tanpa Indonesia, tapi Indonesia tidak akan bisa hidup tanpa Acheh.”
Tak banyak dari kita yang sungguh-sungguh mengindahkan keistimewaan ini. Apalagi di masa silam, ketika sendi-sendi kebangsaan membusuk akibat korupsi, pelecehan hukum dan pengagungan stabilatas nasional dengan kekuatan bersenjata. Pembagian hasil sumber daya alam amat tidak adil lantaran tetesan ke bawah semakin kecil.
Banyak orang merasa diskriminasi secara terang-terangan dan kian tak percaya kepada lembaga peradilan. Hasilnya sekian ribu orang kehilangan nyawa tanpa sempat diperjelas kesalahannya. Sekian ribu janda, anak yatim dan orang-orang miskin tanpa perhatian yang optimal. Sementara sekian ratus ribu lainnya mendapatkan cedera di lubuk hati. Pada saat itu sebutan istimewa menjadi tanpa makna.
Di tengah kekerasan yang melumpuhkan Aceh, mungkin orang serempak bertanya: Mengapa kedamaian tiba-tiba menjadi menjauh? Mengapa teror dan pembunuhan berlangsung dengan mudah? Mengapa hukum dan moralitas terdepak dari peradaban? Mungkin bukan jawaban sekunder yang dibutuhkan di sini. Tapi, bagaimana orang harus merasakan sedih melihat nestapa rakyat, yang terombang ambing oleh arus kemunafikan.
Hati Nurani
Kita, kata William Shawcross dalam bukunya The Quality of Mercy memang tak pernah tahu, apalagi senjata dan peluru telah dipandang lebih bagus daripada hati nurani dan akal sehat. Shawcross tidak bisa menemukan jawaban, mengapa di dunia yang satu, siang dan malam hadir dengan damainya, sedang di dunia hanya kelam dan segala yang seram terjadi tak habis-habisnya.
Shawcross tak bisa disalahkan. Sebagai seorang humanioris ia berbicara tentang kebajikan semata-mata dari perspektif kemanusiaan yang universal. Meskipun di Aceh, kita hampir tak yakin lagi apakah perspektif kemanusiaan yang universal itu akan mampu berkata: “Bukankah yang lebih buruk dari kekerasan adalah kebekuan nurani dan pikiran?”.
Inilah sebuah ilustrasi yang saya hubungkan dengan gentayangannya pembunuh-pembunuh yang tidak punya hati nurani, sosok yang sangat menakutkan, yang oleh media disebut orang tak dikenal (OTK). Namun demikian dari modus operandi yang mereka terapkan, kita bisa menduga bahwa mereka satu kelompok terorganisir yang sengaja dibina ala teroris untuk mengobrak-abrik daerah Serambi Mekkah ini.
Makhluk aneh ini akan ada kapan dan di mana saja dan mungkin sekarang sedang berada di dekat lingkungan kita. Terlatih, cekatan, dan piawai pula dalam meneror rakyat. Target utama mereka adalah menciptakan kehancuran, jatuhkan korban. Setelah itu mereka akan tersenyum di saat rakyat dalam nestapa, sungguh mereka tak berhati nurani.
Begitulah cerita yang terhimpun, mengamati realita yang terjadi di Aceh. Dari kenyataan ini mereka adalah makhluk pintar yang sudah menembus dinding ketahanan masyarakat. Memang semula siapa pun bakal ragu bahwa Aceh telah disusupi oleh kelompok tak beridentitas tersebut. Sebab secara nasional daerah Aceh dikenal menyimpan beban sejarah yang telah berusia ratusan tahun.
Tapi siapa sangka kalau dalam periode reformasi dan masa damai Aceh ini, ada pihak yang bermain dengan satu target buruk? Mereka adalah kelompok yang mengisolir diri dari tatanan legal. Mereka tidak pernah menampakkan diri secara terang-terangan. Mereka hanya bisa membunuh dan meneror, setelah itu menghilang seperti ma’op (hantu blawu) gentayangan tidak berwaktu dan tak bertempat.
Unfinished story
Nestapa Aceh agaknya seperti sebuah kisah yang tak pernah berakhir (unfinished story). Mengapa mereka bebas bergerak menciptakan kehancuran? Apakah mereka lebih menyukai kebutaan daripada hidayah Allah SWT? Operasi yang dilakukan memang kejam untuk menyeret Aceh ke jurang kenestapaan. Air mata kita yang sudah kering kembali menangis dengan terbunuhnya orang-orang tak berdosa.
Kalau kelompok yang ingin mengahancurkan Aceh tidak menghentikan aksinya dan rakyat tidak mampu melawannya, maka penegakkan hukum adalah jalan yang paling pasti untuk menjadikan Aceh sebagai negeri yang bertuan. Demi untuk kedamaian Aceh, hukum harus ditegakkan dan dijaga. Itulah salah satu poin yang disampaikan Presiden SBY dalam Rapat Pimpinan Polri. Meskipun selama ini ada kesan pembiaran terhadap berbagai kasus gangguan Kamtibmas di Aceh jelang Pilkada. Menurut SBY hal itu bukan pembiaran melainkan Polri kurang responsif (Serambi Indonesia, Rabu, 18 Januari 2012).
Oleh karena itu, kita meminta kepada pihak-pihak yang bermain di atas penderitaan rakyat supaya jangan lagi korbankan rakyat Aceh. Jadikan rakyat Aceh sebagai tuan di negerinya sendiri. Sudah banyak korban berjatuhan. Semua kita harus menunjukkan bahwa kita punya niat baik untuk mempertahankan damai Aceh, dengan harapan semua orang yang ingin kehancuran ikhlas menghentikan aksinya.
Diharapkan terutama para “stakeholder” baik eksekutif maupun legislatif supaya selalu rukun dan dapat menyelesaikan setiap konflik secara arif. Perlu diingat bahwa kalau perkara politik Aceh tidak terselesaikan dengan bijak, bukan tidak mungkin konflik internal-horizontal Aceh akan semakin meluas. Hal ini menyebabkan rakyat Aceh akan kembali dalam keterpurukan dan nestapa Aceh bagai sebuah unfinished story. Allahu alam.
* Penulis adalah Doktor Bidang Islamic Political Sceince Universitas Malaya/Pemerhati Masalah Sosial Politik, tinggal di Tijue-Sigli.
sumber: serambinews.com