Rapat
penyerahan kekuasaan itu digambarkan oleh Teuku Ali Basyah Talsya dalam
tulisan “Bagaimana Mulanya Aceh Membentuk Negara Merdeka”. Tulisan itu
dimuat di majalah Sinar Darussalam Januari 1969 edisi 10.
Ketika Jepang menyerah kalah pada sekutu. Bebepa petingi Jepang di Aceh didesak untuk melakukan penyerahan kekuasaan. Rapat penyerahan kekuasaan itu berlangsung di Meuligoe gubernur sekarang. Ulama mengeluarkan maklumat untuk terus melawan.
Dalam tulisannya Talsya menyebutkan beberapa pimpinan Aceh yang ikut
dalam pertemuan itu adalah: Teungku Muhammad Daod Beureueh, Teuku Nyak
Arif, Taunku Mahmud, Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu. Sementara di pihak
Jepang antara lain: pejabat Aceh Syu Cokan yakni S Iino, Matubuti,
Keimubuco, Boe-ei Tanco dan Kempei Taico. Dalam pertemuan itu, pihak
Aceh menuntut penyerahan kekuasaan dari Jepang dan penyerahan
persenjataannya.
Pada saat yang bersamaan di Kota Banda Aceh para pemuda bekas tentara
bentukan Jepang, Gyugun, Heigo dan Tokobetu Keisatutei menggabungkan
dan membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) di bawah pimpinan Syamaun
Gaharu. Sebagian lagi membetuk Gerakan Pemuda Aceh Sinbun yang kemudian
menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di bawah pimpinan Ali Hasjmy.
Mereka terus melakukan provokasi terhadap masyarakat untuk
membangkitkan semangat anti Jepang. Gerakan masyarakat tersebut
dilakukan untuk mendesak pemerintah Jepang di Aceh menyerahkan
kekuasaannya kepada rakyat Aceh. Gerakan itu terus menjalar hingga ke
daerah lain di Aceh setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan.
Ali Hasjmy dalam buku Peranan Islam dalam Perang Aceh,
mengungkapkan, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia secara resmi
disampaikan melalui kawat dari pemerintah pusat yang dikirim melalui
Gubernur Sumatera Utara, tapi tidak diumumkan.
Meski demikian, rakyat Aceh sudah mengetahui hal itu sebelum kawat
itu dikirim. Pemuda pemuda Aceh yang bekerja di Sinbun dan Hodoka lebih
cepat mengetahui hal itu dan menyampaikannya kepada khalayak ramai.
Awalnya berita kepada pemuda di Aceh itu disampaikan oleh Ghazali Yunus
dan Bustamam yang bekerja di kantor berita Domei. Apa yang disampaikan
Ghazali Yunus dan Bustaman itu disebarkan secara luar oleh kelompok
pemuda Aceh di Aceh Sinbun/Domei.
Sampainya berita itu ke daerah membuat gelombang massa untuk menuntut
penyerahan kedaulatan Jepang di Aceh semakin kuat. Di ruang depan
kantor Ren-tai Hon-bu Fojoka di Bireuen, warga menulis dengan huruf
kanji dan katakanan: 17 Agustus 2605 Dokuritsu Indonesia (17 Agustus
1945 Indonesia Merdeka).
Jepang kemudian menyerahkan kekuasaan dan pesenjataannya kepada
rakyat Aceh. Senjata peninggalan Jepang itu digunakan oleh pemuda API
dan BPI. Meski demikian saat itu masih ada golongan orang yang meragukan
kemerdekaan Indonesia, terutama mereka yang sebeumnya menjadi kaki
tangan Belanda.
Belanda Mencoba Kembali ke Aceh
Untuk menepis keraguan tersebut, pada 15 Oktober 1945, empat ulama
besar atas nama seluruh ulama di Aceh mengeluarkan sebuah maklumat yang
berisi seruan untuk terus berperang karena Belanda akan kembali mencoba
masuk ke Aceh.
Hal itu dilakukan karena Belanda sudah berhasil kembali ke Indonesia
untuk mengambil alih pendudukan setelah Jepang menyerah pada sekutu.
Hanya Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak mampu dikuasai
oleh Belanda kala itu. Karena itu pula, Aceh kemudian oleh Soekarno
disebut sebagai daerah modal bagi Indonesia.
Maklumat ulama itu diutandatangani oleh Tgk Haji Hasan Krueng Kale,
Tgk Muhammad Daod Beureueh, Tgk H Jakfar Sidik Lamjabat, Tgk H Ahmad
Hasballah Indrapuri. Seruan ulama itu dituangkan dalam surat berisi
delapan alinia. Pada alinia keempat sampai alinia terakhir tertulis:
“Di Jawa Bangsa Belanda dan kaki tangannya telah melakukan keganasan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia hingga terjadi pertempuran di beberapa tempat yang akhirnya kemenangan berada di pihak kita. Sungguhpun begitu, mereka belum juga insaf.
Segenap lapisan rakyat telah bersatu padu dengan patuh berdiri di
belakang maha pemimpin Ir Soekarno untuk menunggu perintah dan kewajiban
yang akan dijalankan.
Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.
Maka percayalah wahai bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah sebagai
sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oileh Almarhum Teungku
Chik Di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan lainnya.
Dari sebab itu, bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu
menyusun bahu, mengangkat langkah maju ke muka untuk mengikuti jejak
perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segara
perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air, agama, dan
bangsa.”
Setelah keluat maklumat tersebut, para pemuda di berbagai daerah di
Aceh menggabungkan diri dalam API dan BPI. Apalagi setelah salah satu
ulama yang mendantangani maklumat itu, Tgk Haji Hasan Krueng Kale pada
18 Zulkaidah 1364 H mengeluarkan seruah untuk berjihat bagi seluruh
rakyat Aceh.
Seruan itu ditulis dalam huruf Arab dan kemudian dicetak oleh para
pemuda di markas besar Pemuda Republik Indonesia (PRI)—organisasi yang
kemudian menjadi BPI—sebanyak seribu lembar dan disebarkan ke berbagai
daerah. Seruan itu disebarkan bersama surat pengantar dari Pimpinan
Daerah PRI tanggal 8 November 1945 nomor 116/1945.
Setelah seruan itu beredar, beberapa ulama kemudian menjumpai Ketua
Umum PRI, Ali Hasjmy, antara lain: Tgk Umar Tiro cucu Tgk Chik Di Tiro
yang melaporkan bahwa telah mendirikan barisan mujahidin di Tiro. Tapi
Ali Hasjmy menyartankannya untuk menyampaikan hal itu kepada Tgk Daod
Beureueh. Laporan itu kemudiam diterima oleh Tgk Daod Buereuh.
Tak lama kemudian dibentuk markas besar mujahidin di Mesjid Raya
Baiturrahman dengan TGk Daod Beureueh sebagai ketua umum. Dari situ
kemudian barisan mujahidin terus dibentuk sampai ke daerah-daerah untuk
menghadapi kemungkinan masuknya kembali Belanda ke Aceh, sebagaimana
telah dilakukan belanda di luar Aceh.
Misi Maarten Knottenbelt
Dalam buku Mata Rantai yang Hilang (1996) M Nur El Ibrahimi
menjelaskan Maarten Knottenbelt merupakan perwira Belanda pertama yang
diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945.
Kedatangannya ke Aceh setelah Jepang menyerah diterima oleh Residen
Aceh, Teuku Nyak Arif. Hubungan keduanya terungkap dalam tulisan
Knottenbelt di majalah Vrij Nederland, edisi 26 tahun VI, terbitan
London 19 Januari 1946, dengan judul “Contact met Atjeh” Knottenbelt
menybutkan Residen Aceh, Teuku Nyak Arif sebagai salah seorang yang
dihubunginya di Aceh.
Pertemuan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbell, juga disingung Dr
Anthony Reids dalam buku The Blood of the People, serta Dr A J Piekar
dalam buku Atjeh en de oorlog met Japan.
Knottenbell terpaksa harus kembali ke Medan pada 10 November 1945,
setelah rakyat Aceh mengetahu identitasnya sebagai perwira Belanda yang
memboncengi sekutu. Saat itu juga mencuat isu bahwa Teuku Nyak Arief
punya hubungan khusus dengan Knottenbelt terus bergulir. Kecurigaan
terhadap Teuku Nyak Arief waktu itu sangat besar. Apalagi Teuku Nyak
Arief pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat buatan Belanda.
Hal itu pula yang kemudian memicu sentimen anti feodal. Kaum
Uleebalang dianggap sebagai jaroe uneuen (tangan kanan) Belanda. Hal
yang kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan dari jabatannya sebagai
residen Aceh. Ia diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah oleh Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) bentukan Husein Al Mujahid.
Syamaun Gaharu yang kemudian menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda,
dalam seminar di Medan, 22-25 Maret 1976 mengatakan hubungan Teuku Nyak
Arif dengan Knottrnbelt itu ada. Namun sembilan tahun kemudian, Januari
1985, Syamaun Gaharu mencabut pernyataannya itu melalui surat kabar
Waspada, setelah muncul beragam reaksi.
Untuk memastikan hal itu, M Nur El Ibrahimi menghubungi kawannya di
Belanda. Ia kemudian mendapat balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto
yang diketik rapi satu spasi. Surat itu merupakan laporan yang dikirim
Mayor Knottenbell dari Kutaraja pada 4 November 1946 ke majalah Vrij
Nederland di London, yang dimuat pada edisi 26 tahun VI, 19 Januari 1946
dengan judul “Contact met Atjeh”
Dalam surat itu, terungkap bahwa pertemuan Knottenbelt dengan Teuku
Nyak Arif tidak hanya terjadi sekali. Setelah pertemuan mereka pada15
Oktober 1945, Knottenbelt megutus Goh Moh Wan, warga keturuna Tionghoa
yang mahir berbahasa Inggris, sebagai peghubungnya dengan Teuku Nyak
Arief. “…Berhubungan dengan ini saya beberapa kali mendapat kunjungan
dari seorang pemimpin pribumi, bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno
diangkat menjadi Residen Aceh,” tulis Knottenbelt.
Dalam versi aslinya berbahasa Belanda Knottenbelt menulis. “…In
verband hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse
hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als
‘residen’ van Atjeh benoemd…”
Anthony Reid dalam buku The Blood of The People kemudian
memperjelas hal itu. Menurutnya, angkatan laut Inggris menduduki Sabang
tanpa perlawanan pada 7 September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force
136) dikirim dari Medan ke Kutaraja dibawah pimpinan Mayor M J
Knottenbelt dan oleh tentara Jepang ditempatkan di sebuah vila
berbendera Inggris.
Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar
senjata yang berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh
diserahkan ke pihak lain. Dalam hal ini Knottenbelt bekerja sama dengan
Teuku Nyak Arief.
Reid menulis. “…and even signed apetition to the Britis
Commandand that the Dutchman’s presence was ‘at this
moment…indispensable to the maintenance of law and order.”
Terjemahannya, dan kemudian beliau (Teuku Nyak Arief-red) megirim sebuah
petisi kepada komando Inggris, menyatakan bahwa kehadiran Knottenbelt
pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum
dan terpeliharanya ketertiban serta keamanan.
Meski demikian, M Nur El Ibrahimi menilai hubungan Teuku Nyak Arief
dengan Knottenbelt itu bermanfaat. Setidaknya untuk mengusahakan agar
sebagian senjata milik Jepang bisa diperoleh oleh Pemerintah Aceh untuk
mempersenjatai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai cikal bakal
Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia di Aceh.[]