Siapa Yang Mengangkat Jabatan Pemangku Wali Nanggroe?

Siapa Yang Mengangkat Jabatan Pemangku Wali Nanggroe?


Oleh Yusuf Daud

Di tengah hiruk-pikuk pro dan kontra Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (Raqan LWN) yang baru didraft oleh 9 anggota Komisi A DPRA, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan sejumlah petinggi lainnya meletakkan batu pertama bangunan Meuligoe Wali Nanggroe diAceh Besar. Bangunan tersebut diperkirakan selesai dua tahun dengan menelan sekitar Rp25 miliar.

Sebelumnya, Raqan LWN telah menuai kritik massif dari berbagai kalangan. Mulai dari para akademisi, politisi hingga ke sejumlah aktivis dan elemen masyarakat biasa atau ormas. Terlalu banyak pasal-pasal kontroversial yang dihujat, khususnya yang berkaitan dengan wewenang Wali Nanggroe yang terkesan feodalistis dan tak termakan zaman.

Setelah saya membaca Raqan LWN terdapat sejumlah poin memberikan hak-hak prerogatif kepada Wali Nanggroe antara lain, menguasai semua kekayaan (boinah) Aceh di dalam dan di luar nanggroe;  memberhentikan/menon-aktifkan Gubernur (eksekutif); membubarkan parlemen (legislatif); memberlakukan keadaan darurat; memberi gelar (Teungku, Tuanku, Teuku dan lain-lain) kepada siapa dikehendaki dan lain-lain. Inilah pasal-pasal, yang menurut banyak pihak, bertabrakan langsung dengan UUPA itu sendiri dan melanggar konstitusi RI.Merujuk UUPA No.11 tahun  2006, pertanyaannya, apakah draft raqan sudah sesuai dengan sejarah, adat istiadat (kebiasaan), reusam Aceh sebagaimana telah dikait-kaitkan oleh Tim Perumus? Sebagaimana diketahui umum, Qanun LWN merupakan amanat dari Helsinki 2005 yang dirumuskan ke UUPA No. 11 Tahun 2006  dimana disebutkan dalam pasal 96 ayat 1 bahwa Lembaga Wali Nanggroe yang dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi adat merupakan figur pemersatu masyarakat yang independen dan berwibawa—bukan lembaga politik atau pemerintahan (ayat 2) dan bukan pula seseorang yang berpihak dan terikat dengan partai2 politik, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya (ayat 3).

Kriteria Wali Nanggroe

Dalam pasal 15 draft Raqan Wali Nanggroe 2010, ada 19 kriteria yang ditetapkan, di antara lain: beragama Islam, dari keturunan yang baik dan keturunan wali-wali sebelumnya, tidak dhalim, alim, arif, amanah, terpelihara dari hawa nafsu jahat, menguasai bahasa asing dengan lancar, paling kurang bahasa Arab dan Inggris dls.

Kriteria di atas menghantar saya ke sebuah peristiwa yang terjadi di Stockholm, Swedia pada awal tahun 1992 dalam pertemuan rutin dengan almarhum Teungku Hasan di Tiro di sebuah rumah. Kala itu, pemikiran Wali berkecamuk karena tragedi-tragedi kemanusian di nanggroe dan persoalan lain. Seorang kawan yang galak keu alÃ(suka dimarah-marah) melemparkan pertanyaan kepada wali: siapa kira-kira penggantinya kalau sewaktu-waktu beliau ditakdirkan meninggal dunia. Secara emosional wali menjawabnya:

Tidak ada, tidak ada.  Kawan saya ini tidak mau kalah dan mengorek lagi: Mungkin pengganti wali nanti ada di sini atau di Malaysia?

Ah...tidak. Tidak ada di sini dan tidak ada di Malaysia,” jawabnya spontan.

Semua terdiam sejenak. Kemudian, Wali membeberkan panjang lebar kriteria pengganti beliau. Menurut beliau, wali nanggroe harus dari kalangan ulama, bisa berbahasa Arab dan Inggris, sanggup memberi tafsir al-Quran dan menulis buku.

Harus dari kalangan intelektual yang paham ilmu tata negara, hubungan internasional dan etiket pergaulan antarabangsa. Dalam hal ini, Wali menyebut nama intelektual Iran Dr Ali Syariati, sebagai tipe seorang intelektual Islam yang ia kagumi dan sangat paham dengan cara berfikir orang Barat. Wali menyebutkan beberapa ulama besar Iran seperti Ayatullah Murtada Mutahhari dan lain-lain.

Secara langsung, Wali tidak pernah menyebut penggantinya harus dari keluarga di Tiro. Yang lebih utama lagi, Wali mengatakan suksesornya ada di Aceh. bukan anak tunggalnya Karim di Amerika. Kami hanya bisa meraba, yang dimaksud itu adalah Tengku Darul Kamal (alm) yang  juga seorang keluarga di Tiro sebelah perempuan. Sinyal ini sudah tercium semasa Tengku Darul Kamal bergerilya di hutan.

Kriteria yang Hasan Tiro maksudkan itu adalah untuk seorang Wali Negara (kepala Negara) yang merdeka dan berdaulat—bukan wali nanggroe sebagai pemimpin tertinggi adat di salah satu propinsi di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan UUPA.

Walaupun Qanun LWN masih dalam proses, kriteria kandidat wali telah mulai disuarakan, seperti yang dinyatakan Irwandi Yusuf disela-sela peletakan batu pertama Meuligoe Wali Nanggroe, di mana ia mengatakan bahwa calon wali nanggroe ”haruslah orang yang bisa mengenal Aceh secara lengkap, tidak sepenggal-sepenggal.

Apapun bentuk hasil akhir Qanun LWN yang akan disahkan, kriteria Wali Nanggroe harus seorang yang sangat bijak dan berwibawa, mengenal dan dikenal luas masyarakat, tidak berpihak atau independen, memiliki latar-belakang yang bersih, bukan eks kriminal, memiliki ilmu pengetahuan agama Islam dan pengetahuan umum yang memadai dan sebagainya. Kriteria pemimpin tertinggi adat menurut standar Aceh paling kurang bisa membaca Quran dengan fasih (bukan qari), menjadi imam shalat berjamaah atau khatib Jumat, kalau ada permintaan, bisa membaca do´a selamat untuk keperluan apa saja.

Nah, siapa bisa mengkaji kalau calon wali nanggroe yang diusul Komisi A dalam draft raqannya memenuhi syarat dan kriteria yang mereka buat sendiri dan yang saya sebut di atas tadi?

Terlepas dari itu, untuk merumuskan Raqan Wali Nanggroe harus ditinjau dari segala aspek, supaya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Syariah, HAM, demokrasi dan norma-norma lain yang dianut masyarakat Aceh sekarang.

Memanipulasi Sejarah

Awal September lalu, jauh sebelum hiruk-pikuk ini terjadi, anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) sudah mencalonkan kandidat Wali Nanggroe dari kelompoknya sendiri dan sudah siap pakai. Pada bagian keenam, pasal 14, ayat ke satu, Tengku Hasan Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh kedelapan. Pertanyaan: di manakah mereka mengambil referensinya? Sedangkan dalam buku-buku yang ditulis oleh Hasan Tiro di antaranya, ACHEH NEW BIRTH OF FREEDOM, yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, satu Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya (1976-2010).

Apa yang menjadi pijakan tim perumus ketika menempatkan Tengku Hasan di Tiro sebagai raja Aceh ke delapan yang dimulai dari Tgk Syeh Muhammad Saman di Tiro sebagai raja Aceh pertama dan diakhiri oleh cicitnya Tengku Hasan di Tiro. Mereka ingin menghidupkan kembali dinasti di Tiro dengan memangkas semua raja-raja yang terdahulu, mulai dari Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Sultan Muhammad Dawud  Syah (1874-1903). Ini merupakan sebuah tindakan coup d'etat ke atas sejarah Aceh.

Dalam pasal yang sama, ayat kedua  disebutkan Malik Mahmud sebagai perdana menteri dalam rapat ”sigom donya” di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, otomatis  dapat menggantikan kedudukan Hasan Tiro sebagai pemangku jabatan wali nanggroe ketika beliau meninggal.

Pertama, Rapat tertutup intern GAM di Stavanger pada 2 Juli 2002 yang dihadiri oleh sebagian masyarakat Aceh di perantauan, khususnya dari Denmark dan Norwegia, tidak  bisa dibuktikan validitasnya. Kedua, pelantikan Malik Mahmud (MM) sebagai perdana menteri hanya mengada-ada dan perlu dibuktikan. Ketiga, kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menggantikan kedudukan Wali Neugara sebagai kepala Negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.

Ketika Carl XIII menggantikan kemenakannya sebagai Raja Swedia pada tahun 1809, dia tidak memiliki keturunan. Dan satu-satunya anak angkatnya, putra mahkota Kristian August mangkat pada tahun 1810. Swedia memerlukan putra mahkota yang baru untuk menggantikan Raja Carl VIII setelah ia mangkat. Kerajaan bermusyawarah dan akhirnya mengirim utusan ke Perancis untuk menawarkan kedudukan tersebut kepada salah seorang marsekal Perancis Bernadotte yang paling dekat hubungan keluarga dengan Kaisar Napoleon.

Pada tanggal 21 Agustus 1810  Parlemen Swedia (Riksdag of the Estates) memilih Jean Baptiste Bernadotte sebagai putra mahkotaSweden. Dan putra mahkota baru ini dinobatkan sebagai Carl Johan. Jadi, sejak 1818 Swedia diperintah oleh keturunan Barnadotte”termasuk juga Norway antara 1818 dan 1905, ketika negara ini masih bersatu (union) dengan Swedia.

Besar kemungkinan Malik Mahmud pernah membaca silsilah raja-raja Swedia ketika duduk-duduk di kedai kebab Turki di Swedia dan terinspirasi dengan kejadian tersebut. Untuk menjadi seorang raja tidak harus dari keturunan raja-raja. Mungkin juga terinspirasi ala Menteri Luar Negeri Aceh Habib Abdurrahman Zahir mempenetrasi inner circle kerajaaan Aceh dalam masa singkat  dengan mendekati dan mengontrol Ulee Balang yang dipercayai Sultan sehingga dia pun mendapat kepercayaan Sultan.

Kenyataannya, MM menggunakan metode yang sama dan malah jauh lebih sadis. Mula-mula menguatkan posisi keurabeuk setelah Hasan Tiro kena stroke pada Mai 1997, kemudian mengambil alih kekuasan perlahan-lahan dan akhirnya semua keurabeuk berada dalam genggamannya sampai-sampai darah biru milik endatunya yang suci itu disuntik ke dalam tubuh MM. Sebagian keurabeuk yang terlanjur mempercayainya dan memprotes akhirnya disingkirkan..[]

*Penulis adalah Warga Aceh berdomisili di Swedia

redaksi: sebaiknya tidak ada lagi posisi wali nanggroe, karena memang almarhum wali tidak mengamanahkan demikian dan untuk menghindari polemik dan pro-kontra lainnya. silahkan berkomentar

Share this