Pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Oranje(Belanda), terasa terpaan angin kencang menampar wajah. Dingin yang menerpa memaksa kami merapatkan jaket. Suhu udara yang berkisar 11-15°C sangat dingin bagi orang-orang pesisir seperti kami, orang Aceh.
Berbeda dengan Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Bandara Schippol di Amsterdam tidak dilengkapi dengan anjungan sehingga kita harus turun dari pesawat, lalu naik bis menuju ke ruang kedatangan, Jarak antara tempat pesawat parkir dan ruang kedatangan cukup jauh, sekitar 20 menit ditempuh dengan bis.
Sepanjang jalan dari Bandara di Amsterdam sampai ke hotel di Den Haag, tak hentinya kami berdecak kagum memandang bangunan kuno yang indah dengan pohon-pohon hijau yang daun-daunnya mulai menguning. Fenomena ini merupakan pertanda telah masuk musim gugur.
Memasuki Kota Den Haag (The Hague), tampak pemandangan yang menarik. Sepeda-sepeda berseliweran di jalan-jalan. Ada bermacam-macam bentuk sepedanya: ada yang di depannya terdapat tempat untuk duduk anak balita, menyerupai becak dayung, tetapi rodanya dua, tidak seperti becak yang beroda tiga. Ada sepeda yang dihiasi bunga-bunga di bagian setangnya.
Hujan yang turun dan dinginnya udara tidak menghalangi kami untuk berjalan mencari makanan. Makanan yang halal memang hal yang sulit di sini. Kami harus melalui beberapa blok untuk dapat makan dengan lauk-pauknya. Beberapa blok terasa dekat dengan mata yang disuguhi pemandangan indah dari bangunan khas Belanda, dihiasai dengan sepeda-sepeda yang lalu lalang. Berkali-kali kami harus berhenti untuk mengambil foto.
Kami juga berkunjung ke kedubes dan berkesempatan untuk melapor kepada Dubes RI Ibu Retno L.P. Marsudi. Alhamdulillah Beliau menerima kedatangan kami dengan menyambut hangat tim pelacak arsip dari Pemerintah Aceh. Beliau dalam kesempatan ini menyatakan sangat kagum kepada sejarah dan kebudayaan Aceh.
Esok paginya kami melangkah menuju Arsip Nasional Belanda yang letaknya bersebelahan dengan Central Stasiun (CS) Den Haag. Rupanya kami telah ditunggu oleh Mr. Frans van Dijk, yang telah mengatur kami untuk bertemu dengan Kepala Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief), Mr. Martin Berendse, yang juga ketua ICA (International Council on Archive) atau Ketua Komite Internasional Arsip.
Beliau sangat senang menerima kami. Keramahan Mr. Martin Berendse membuat kami merasa senang, ditambah dengan pelayanan yang sangat baik dari Mr. Frans van Dijk yang kemudian membawa kami melihat-lihat ruangan Preservasi dan Konservasi, dan Depo (ruang penyimpanan arsip) mereka. Banyak hal yang membuat kami berdecak kagum, di antaranya peralatan dan bahan kelengkapan preservasi dan konservasi mereka. Kami berharap Laboratorium Preservasi dan Konservasi semacam ini dapat dimiliki oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh. Decak kagum kembali bergema manakala kami sampai di ruang penyimpanan arsip (Depo) mereka yang bila disusun di lapangan bola akan penuh.
Kami memulai pelacakan dengan membuka website mencari surat Sultan Iskandar Thani abad ketujuh belas. Dr. Annabel Gallop (seorang ahli Numismatic dari Inggris) dalam tulisannya yang berjudul Emas, Perak, dan Lapis Lazuli: Surat-Surat Kesultanan Aceh Abad Ketujuh Belas, mengungkapkan keberadaan terjemahan dari surat Sultan Iskandar Thani dalam Bahasa Belanda, yang tersimpan di Arsip Nasional Belanda (NAN).
Setelah memesan melalui website-nya akhirnya kami dapat memegang surat tersebut. Tak tergambarkan betapa senangnya kami memegang bukti kejayaan Aceh di masa lalu. Surat yang merupakan terjemahan surat asli ke dalam Bahasa Belanda ini adalah salah satu surat Kesultanan Aceh abad ketujuh belas yang masih dapat kita lihat wujudnya. Surat asli yang berbahasa Melayu dan bertuliskan huruf Arab tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Selain surat ini juga ditemukan laporan dari pegawai-pegawai VOC tentang tingkah laku, kegemaran sultan-sultan yang memerintah setelah Sultan Iskandar Muda. Laporan setebal 84 halaman ini masih terlihat bersih dan dalam kondisi baik. Dalam satu box arsip terdapat dua jilid laporan yang merupakan data yang dilaporkan para pegawai VOC ke Nederland.
Di Arsip Nasional Belanda ini juga ditemukan banyak catatan dan dokumen tentang sejarah Aceh. Selain itu, juga dapat dilacak peta-peta wilayah Aceh dan Sumatera Utara yang dibuat pada 1900. Peta-peta ini sangat berguna untuk memberikan gambaran tentang letak geografis kota atau gampong di Aceh. Peta-peta ini dapat dijadikan petunjuk/data bagi peneliti-peneliti tentang Aceh.
Kami ke perpustakaan Universitas Leiden (Universiteit Bibliotheek)dengan ditemani Amiq Ahyad, ahli manuskrip, untuk melacak surat asli Sultan Iskandar Thani.
Subhanallah! Ini seperti surat yang digambarkan Dr. Annabel Gallop, sebuah surat yang ditulis di atas kertas mulberry yang khas Turki. Beberapa ahli menyebut sebagai surat yang ditulis di atas kertas dinding.
Hiasan dan warna surat ini sangat tidak lazim dalam konteks surat-surat Melayu yang beriluminasi. Iluminasi adalah seni menghias secara manual yang menghias secara dekoratif suatu tulisan yang bermakna tertentu agar tercapai pesan yang terkandung di dalam manuskrip tersebut. Warna Biru sangat jarang ditemukan dalam buku-buku seni manuskrip Melayu dan hampir tidak ada dalam surat yang beriluminasi. Ternyata setelah dilakukan analisis ilmiah, diketahui bahwa lapisan biru ini adalah lapisan azuli. Lapisan azuli berwarna biru ini sangat dibanggakan oleh istana Aceh dan digunakan untuk mewarnai gajah dan kuda-kuda peliharaan Sultan Iskandar Thani .
Semoga surat ini dapat menjadi bahan referensi bagi pelajar dan mahasiswa Aceh, demikian doa yang terucap di bibir Pak Amiq. Demikian juga yang menjadi harapan kami semua.
Salam dari Negeri Oranje.
Drs. M. Adnan A. Majid, Penulis adalah Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh