Ikhwanul Muslimin dan GAM: Antara Oposisi dan Memerintah

Ikhwanul Muslimin dan GAM: Antara Oposisi dan Memerintah

Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi politik Islam transnasional yang didirikan di Mesir pada tahun 1928 oleh Hassan al-Banna. Di awal pendiriannya, kelompok ini memfokuskan kegiatannya pada aktivitas-aktivitas sosial keagamaan seperti mendakwahkan Islam, mendirikan sekolah, rumah sakit, serta bisnis mikro dan menengah. Kelompok ini segera mendulang pengaruh dan memperluas aktivitasnya pada ranah politik. Setelah kekalahan tentara Arab dalam Perang Arab-Israel I, pemerintah Mesir membubarkan Ikhwanul Muslimin dan memenjarakan para anggotanya akibat keterlibatannya dalam pembunuhan dan pengeboman di tahun 1948. Sejak saat itu, Ikhwanul Muslimin secara konstan berada dalam tekanan politik dan pencekalan sampai dengan naiknya Presiden Anwar Saddat, dimana kelompok ini memulai partisipasi baru dalam politik Mesir dan aktif sebagai oposisi.

Setelah kejatuhan Husni Mubarak pada Revolusi Mesir di tahun 2011, Ikhwanul Muslimin mencapai puncak keemasannya dengan mendominasi pemilihan legislatif 2011 dan memenangkan kandidatnya yaitu Muhammad Mursi dalam Pemilihan Presiden setahun setelahnya. Namun kemenangan ini tidak lama, protes massa yang didukung oleh militer Mesir pada Juli 2013 menjatuhkan Mursi dari kursi kepresidenan sekaligus mengakhiri rezim Ikhwanul Muslimin.

Protes massa menggulingkan Mursi bukan tanpa alasan ataupun sekedar rekayasa militer. Setelah menduduki kekuasaan, Mursi tidak mampu memulihkan perekonomian dan justru melemahkan koalisi yang telah terbentuk menjelang pemilihan. Tindakan Mursi untuk mendudukkan kader Ikhwanul Muslimin dalam posisi-posisi penting pemerintahan dan mengucilkan partai yang lain membuat pemerintahannya tidak stabil. Terbukti tidak efektif dalam menjalankan pemerintahan, pada Juli 2013, ribuan rakyat Mesir melakukan protes masal menuntut turunnya Mursi dari singgasana pemerintahan.

Gerakan Aceh Merdeka

Selama lebih dari 30 tahun, kelompok Gerakan Aceh Merdeka memberontak dan bergerilya dalam pengucilan dan pengasingan. Selama masa gerilya, retorika yang konstan disuarakan dari kelompok ini adalah tujuan politiknya untuk membentuk Negara Aceh yang berdasarkan hukum Syariah Islam. Selama masa ini, sangat sedikit ide konkret yang bisa ditangkap mengenai seperti apa bentuk negara yang ingin diperjuangkan, apalagi dengan pemberlakuan Peraturan Undang-undang Keistimewaan Syariah Islam pada 2001, semakin membuat tujuan politiknya makin terdegradasi.

Pada 24 Desember 2004, bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan sebagian besar pesisir Aceh dan mengakibatkan pukulan yang sangat besar menyusul kehilangan ratusan ribu jiwa selama tiga puluh tahun konflik berkepanjangan. Pada tahun 2005, sebuah kesepakatan damai yang dimediasi mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari, berhasil mendudukkan dua pihak yang bertikai dengan ditandatanganinya Perjanjian Damai Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pemilihan Gubernur pertama pasca Perjanjian Damai mendudukkan mantan staf ahli kontra-intelijen GAM, Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh. Meskipun merupakan mantan kombatan GAM, Irwandi memilih jalur independen untuk maju dalam kandidasi dan mengumumkan dukungannya terhadap status Aceh yang berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Friksi dalam tubuh kelompok oposisi GAM (yang kemudian membentuk Partai Aceh sebagai kendaraan politiknya) mulai tercium dengan kemenangan Irwandi yang memilih maju melalui jalur independen. Pada Pemilihan Gubernur tahun 2012, Partai Aceh mengusung Zaini Abdullah, mantan petinggi GAM yang sebelum 2005 bersuaka politik di Swedia, bersama Muzakkir Manaf yang merupakan mantan komandan sayap kanan GAM. Pemilu ini kemudian menghasilkan kemenangan di pihak Zaini dan Muzakkir walaupun disertai tuduhan sabotase dan intimidasi pelaksanaan pemilu.

Dua periode Aceh berada dalam pergelutan mantan pihak oposisi tidak membawa perubahan yang berarti pada pertumbuhan dan perkembangan provinsi ini secara ekonomi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di Aceh tampaknya masih belum menunjukkan perkembangan yang membanggakan. Lambatnya pertumbuhan ekonomi di Aceh secara langsung telah berdampak pada tingginya angka kemiskinan. Masyarakat Aceh masih jauh dari kesejahteraan, sehingga data terakhir yang diperoleh pakar ekonomi menunjukkan bahwa indeks kemiskinan di Aceh menduduki ”juara” ketiga secara nasional dengan angka pengangguran mencapai 210.000 orang pada Agustus 2013. Beberapa protes dan keluhan dari masyarakat mulai bermunculan namun tidak sampai melengeserkan pemerintahan Zaini-Muzakkir layaknya Mursi di Mesir.

Antara ‘Merebut’ dan ‘Menjalankan’ Kekuasaan

Situasi politik di Mesir tampaknya dapat memberikan refleksi terhadap apa yang dihadapi oleh Pemerintahan Aceh yang saat ini dikuasai oleh mantan kelompok oposisi. Kemenangan Ikhwanul Muslimin dalam waktu yang singkat setelah lebih dari setengah abad dalam pencekalan menimbulkan konsekuensi tersendiri terhadap bagaimana kelompok ini bertindak setelah meraup kekuasaan. Kebanyakan dari pemimpin kelompok ini menghabiskan waktu di penjara atau berusaha menghindari penjara. Selama bertahun-tahun setelah kejatuhan Nasser, anggotanya telah dilatih untuk aktivitas-aktivitas oposisi, protes, dan melawan rezim status-quo, namun tidak untuk memimpin dan melakukan aktivitas pemerintahan. Meskipun anggota-anggotanya sebagiannya berasal dari kalangan terdididik seperti dokter dan insinyur, namun sangat sedikit yang merupakan seorang birokrat ataupun politisi. Bertahun-tahun keikutsertaannya dalam politik sebagai oposisi tidak dibarengi dengan persiapan strategis dalam memerintah ataupun menghasilkan master-plan pemerintahan. Oleh karenanya, tidak heran ketika kemudian Pemerintahan Mursi mengalami krisis hebat dalam tahun perdananya memegang kekuasaan sehingga akhirnya digulingkan.

Pemerintahan mantan kelompok oposisi di bawah Irwandi yang kemudian dilanjutkan Zaini tampaknya juga mengalami masalah yang serupa. Selama tiga puluh tahun lebih merancang strategi gerilya untuk memerdekakan Aceh, sayangnya tidak disertai dengan perencanaan pemerintahan apapun ketika nantinya berhasil merebut kekuasaan. Hingga saat ini, Pemerintahan Aceh di bawah mantan kelompok oposisi kelihatannya lebih sibuk dengan urusan melanggengkan kekuasaan daripada membuktikan janji-janji politik berupa kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Bukannya malah merancang strategi pembangunan yang efektif, pemerintahan status-quo lebih fokus dalam mengurus qanun Bendera Aceh (diadopsi dari bendera separatis GAM) dan qanun Wali Nanggroe yang sarat akan kepentingan monarkialistik. Untuk pengukuhan Wali Nanggroe sendiri dikabarkan menelan biaya sebesar 2.4 miliar rupiah.

Akibat dari kondisi tersebut, skala friksi di dalam tubuh Partai Aceh semakin kentara dan nyata dengan munculnya pecahan-pecahan baru yang memisahkan diri karena perbedaan pandangan dalam prinsip dan juga cara memerintah. Pada pemilihan legislatif 2014, partai mantan kelompok oposisi pecah dan melahirkan dua partai baru yaitu Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh (PDA). Persaingan yang terjadi juga tidak berada dalam jalur yang sehat, tindakan anarkis dan kecurangan serta saling kecam dilakukan secara terang-terangan di hadapan publik.

Ada perbedaan antara menjadi oposisi dan memerintah, antara melakukan protes dan mengurus pemerintahan. Pemerintahan yang efektif, selain berfokus pada pembangunan untuk mencapai kemakmuran, akan menyadari benar pentingnya mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Disamping masalah ‘bread and butter’, untuk sebuah pemerintahan menjadi efektif, mereka harus melakukan konsolidasi give and take, menyeimbangkan kepentingan yang berbenturan, mengatur sumber daya yang langka serta membangun koalisi dan legitimasi. Hal inilah yang sering dilupakan kelompok oposisi yang kemudian berkuasa seperti halnya Mursi dan GAM.

Merebut kekuasaan adalah satu hal namun memerintah dan menjalankan kekuasaan adalah hal yang berbeda. Jika membangun legitimasi terus dilakukan dengan cara-cara kolusi dan intimidasi, maka cepat atau lambat bumerang yang dilepaskan pasti akan kembali menghantam tuannya. Masyarakat Aceh yang sekarang tampaknya memang belum cukup sadar dan tercerahkan terhadap apa yang sebenarnya terjadi—sebagian karena tingkat pendidikan yang masih rendah—sehingga skala protes masih sangat kecil dan mustahil untuk menggulingkan pemerintahan yang ada layaknya Revolusi Mesir. Namun, lapisan muda pendukung reformasi di masyarakat telah perlahan-lahan terbentuk akibat pendidikan, intensitas dan interaksi yang semakin terbuka dengan dunia luar sehingga berpotensi melepaskan doktrinasi lama yang hampir tidak disadari telah dipupuk dengan kuat dalam masyarakat Aceh. Kekuatan yang ada memang masih jauh dari cukup, namun bukan berarti akan selalu tidak cukup untuk melakukan perubahan yang drastis untuk kepentingan rakyat. Jika pemerintah yang sekarang tidak dengan cepat sadar akan apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan dan tuntutan rakyat dan tetap sibuk melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara patriarkis dan monarki, maka bukan tidak mungkin suatu saat Revolusi Mesir terhadap Mursi juga akan singgah di bumi Serambi Mekkah ini.

oleh: Cut Nury Hikmah Sabri

Share this