GAM Lahir Karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat
BICARA
GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia.
Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima
hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya
terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah
Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh
menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai
bagian tak terpisahkan.
Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya
56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan
setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah
saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan
ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin
Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur).
Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh
Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan
laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin,
tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal
sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di
daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh
dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah.
Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok
yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.
Tahun 1948, ketika pemerintahan
RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai
Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi
sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer
Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus
labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri
dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi,
meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis,
Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh
menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh
adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana
rakyat.
Setahun kemudian, 1949, Beureueh
berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu
disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250
ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100
ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke
Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA
Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi
pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan
pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu
Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun
berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi
Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni
1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
syariat Islam tak juga dipenuhi.
Intinya, Daud Beureueh ingin
pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak
minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat
Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam
Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung
Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian,
Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.
Dari sinilah lantas Beureueh
melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung
sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah
daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955
telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak
berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan
tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan,
pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati
Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan
tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat
Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan.
Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh
dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk
menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat
Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat
itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar
mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi
melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang
bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh
dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui
restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah,
kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Melihat hal ini, Daud Beureueh
dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk
mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan
digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik
Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini
mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.
Lalu diutuslah Zainal Abidin
menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi
tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak
lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga
Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro,
Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun,
Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda
Aceh mendirikan GAM.
Selama empat hari bersidang,
Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro
yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM
terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam
gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan
agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat
dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun.
Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana
kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Inong Balee Army |
Secara tidak langsung, kabar ini
menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah
anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika
rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan.
Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu.
Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang
lama ternista dan teraniaya.
Sambil berkelakar, Panglima
Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm)
sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47
oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera
pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM
dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi
langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari
sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan
Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini.
Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa
negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina),
Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara
mengubah-ubah tempat markas utamanya.
Di seluruh Aceh, GAM membuka
tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak,
Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing
komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM
dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya.
Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di
Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan
militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro
berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan.
Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di
Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden.
Gelombang pertama masuk tahun
1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM,
pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan
intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh.
Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM
(semacam Kopassus).
Jalur ke Libia memang agak
mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu
menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju
Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui
Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir
selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli
TNI-AL.
Di
era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM
terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh
(pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar
Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase
Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu.
Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma
menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut
4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan
115 dilatih di Filipina -- Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas
pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket,
RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt,
dan SS-1.
Dari mana persenjataan itu
diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara
disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia,
gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh
India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan.
GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom --
Aceh Barat -- dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh
Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras
panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai
dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah
dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke
Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.
Pasar gelap senjata ini
dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal
ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki
sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini
bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro
Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM
di pasar gelap dari oknum TNI.
Kini, senjata yang dimiliki TNI
juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab,
sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas
tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit
and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada
TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata
otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air.
Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap
anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli
senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah.
Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap
dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya,
di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga
didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan
lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000
lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama
Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop
Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani
oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp
10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila
tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM
mendapat upeti dari para pengusaha ''sahabat GAM'' itu.
Sistem komunikasi GAM juga
sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng
pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio
tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon.
Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini.
Penggerebekan sering kali gagal total.
Sistem organisasinya yang
disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah
menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap.
Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak
berhubungan, tidak saling mengenal.
Ketua Umum Forum Perjuangan dan
Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak
zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat
Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh
menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa
menaklukkan mereka.
"Jangan mengucapkan kata-kata atau sebuah janji, bila kita sendiri masih meragukan untuk menepati janji tersebut..."
Referensi :