Asnawi Ali [Laporan dari Sidang HAM di Jenewa]
Hembusan angin musim semi di komplek perumahan membuat badan sejuk. Di samping taman rumah terlihat daun pepohonannya yang mulai penuh menghijau. Cahaya matahari bersinar terang tanpa menyengat. Layar di smartphone menunjukan suhu 20 derajat. Sebuah mobil menunggu di parkir komplek perumahan. Rumah di lantai dasar kawasan Fittja sudah disulap menjadi pusat aktvitas warga Aceh di Swedia yang disebut Meunasah Atjèh - Stockholm.
Dari situ pula, penulis bersama Yusuf Daud, warga Aceh senior di Swedia terbang ke Jenewa pada Senin (21/5).
”Sebaiknya kita berangkat sedikit lebih awal ke Arlanda agar terhindar antrian saat membeli mata uang Swiss Franc, Swiss di bandara,” saran Syahbuddin Abdurrauf kepada Yusuf Daud dalam bahasa Aceh saat mengantar kami dengan mobilnya ke Bandara Arlanda, Stockholm.
Benar saja, di bandara ramai bule lalu-lalang berjalan tergesa-gesa seperti mengejar waktu. Dari kaca dalam bandara, puluhan pesawat parkir berjejer dan naik turun di landasan pacu bandar udara internasional itu.
Pekan ini, penulis mengunjungi Jenewa mendampingi Yusuf Daud memenuhi undangan dari LSM international. LSM ini salah satu dari sekian banyak LSM yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan fokus mengatasi ketidakadilan dan permasalahan hak asasi manusia di belahan dunia. LSM berkaliber internasional berkantor pusat di Jenewa dan terpaut ratusan meter dari kantor PBB urusan masalah HAM di Swiss.
Yusuf Daud mengikuti sidang Universal Periodic Review di Jenewa Foto: dok pribadiYusuf Daud mengikuti sidang Universal Periodic Review di Jenewa
Berperawakan Aceh asli, Yusuf menimba ilmu otodidak dan pengalaman internasional sebelumnya dari almarhum Tgk Hasan di Tiro. Awal ditempa untuk kaderisasi sejak 1981 hingga 1997, bersama Syahbuddin Abdurrauf mengikuti sang Wali berwara-wiri di kancah forum Internasional, termasuk pelatihan militer ke Libya. Bersahabat erat dengan aktivis HAM Timor-Timur, Papua dan Maluku adalah salah satunya.
Para pegiat HAM dari berbagai lembaga di seluruh dunia kini matanya untuk sementara mulai memusatkan perhatian ke Jenewa. Hampir semua aktivis HAM di setiap negara, khususnya negara anggota PBB wajib menyampaikan upaya pelaksanaan kemajuan dan perlindungan HAM di negaranya yang disebut sebagai sidang Tinjaun Periodik Universal -UPR (Universal Periodic Review).
“Acara 4 tahunan sekali itu merupakan mekanisme terbaru Dewan HAM yang memberi kesempatan kepada negara anggota PBB untuk menyampaikan berbagai upaya dan pelaksanaan pemajuan dan perlindungan HAM di negaranya,” jelas Yusuf Daud berdiskusi dengan penulis sesaat di lobi terminal bandara.
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah termasuk anggota PBB, oleh karena itu sudah pasti delegasi perwakilannya di Jenewa melalui departeman luar negeri mereka wajib melaporkan kemajuan HAM. Menurut penulusuran dari berbagai sumber, Indonesia juga termasuk sudah meratifikasi konvensi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan beberapa konvensi Internasional HAM lainnya. Singkatnya, Indonesia memang wajib membuka diri terhadap sistem pengawasan PBB dan juga kewajiban menyampaikan laporan-laporan kemajuan HAM di Indonesia.
Saat diskusi itu pula, Yusuf Daud menyimak selembaran mekanisme UPR sambil menjelaskan alasan kepergiannya ke Jenewa kali ini.
Inilah yang menjadi menarik bagi kita Aceh agar berkesempatan menyimak laporan Indonesia dan membantah langsung di depan forum internasional jika mereka melaporkan yang tidak sesuai dengan fakta. Disela-sela pembicaraan itu, dia juga seraya menambahkan
“Kita berusaha menggunakan semaksimal mungkin mekanisme di forum itu nanti dan akan kita protes secara verbal atau tertulis atas fasilitator LSM Internasional,” ujar putra bekas panglima GAM pertama ini yang sudah puluhan tahun tinggal di Swedia.
Sementara itu sebelumnya pada Minggu (20/5), mengutip harian Media Indonesia, memberitakan sebuah lembaga LSM Human Right Working Group (HRWG) menilai Indonesia memang tidak mampu menyelesaikan permasalahan HAM.
“Kami berharap bahwa sidang UPR (Universal Periodic Review) bisa meberikan rekomendasi lengkap,” kata Choirul Aman yang juga merupakan salah satu anggota delegasi LSM Indonesia untuk menghadiri sidang yang diadakan pada 23 Mei, di Jenewa, Swiss.
Kepala Bagian Penelitian dan Pengkajian Komnas HAM Elfansuri senada juga mengkritisi Indonesia.
”Laporan pemerintah sangat normatif. Mereka hanya mencantumkan hal-hal positif, seolah-olah kasus pelanggaran HAM sudah terselesaikan, oleh karena itu, kami akan beberkan fakta-fakta yang sebenarnya di Jenewa nanti".
Masa lalu di Aceh sudah nyaris dilupakan seiring dengan euphoria Helsinki, bukan berarti semua elemen Aceh sudah melupakan pelanggaran HAM. Hingga kini, masih ada sejumlah LSM dan aktivis pegiat HAM yang berkomitmen memperjuangkannya.
Dari ujung utara dunia ini, mereka yang terbuang dari negerinya berusaha berjuang untuk mencapai keadilan bagi korban konflik di kampung halamannya.