PBNU: Indonesia jangan Hanya Menonton Tragedi Kemanusiaan Ini
Tragedi pembantaian muslim Rohingya yang terus dipertontonkan
oleh tentara Myanmar mendapat perhatian serius masyarakat Aceh. Aktivis
mahasiswa yang tergabung dalam wadah
Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh mengutuk bentuk genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya baik yang terjadi di
dalam maupun di luar Myanmar.
Sejak sepekan terakhir, foto-foto
korban pembantaian yang diyakini adalah etnis Rohingya menyebar di
berbagai jejaring sosial termasuk di kalangan pengguna smartphone di
Aceh. Gambar-gambar yang memperlihatkan tingkat kesadisan yang luar
biasa memicu keprihatinan dan kesedihan mendalam masyarakat daerah ini
yang dalam beberapa tahun terakhir memang akrab dengan sosok-sosok
manusia perahu dari etnis Rohingya yang terdampar di Aceh.
Aktivis
KAMMI Aceh dalam aksi keperihatinan untuk Rohingya yang digelar di
Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Minggu (29/7) secara tegas mengutuk
aksi yang mereka sebut sebagai kekerasan yang dilakukan militer Myanmar
terhadap muslim dari etnis Rohingya.
“KAMMI mengutuk bentuk
genosida dan kejahatan kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, baik
yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar,” begitu salah satu butir
pernyataan sikap KAMMI.
Secara nasional, pada 26 Juli 2012,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan pernyataan sikap
terkait tragedi kemanusiaan atas muslim Rohingya di Myanmar. MUI menilai
aksi-aksi kekerasan dan tindakan tidak beradab yang diderita oleh suku
Rohingya di Myanmar adalah suatu tindakan kejahatan atas kemanusiaan.
“Upaya
sengaja untuk merampas hak atas tanah, penolakan kewarganegaraan,
pembantaian massal, pengusiran, pembakaran pelarangan pelaksanaan
ibadah, penutupan jalur pasokan makanan, dan sejumlah tindakan brutal
lainnya adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
hak asasi manusia (HAM),” tandas Ketua Pelaksana Harian MUI, KH Ma’ruf
Amin dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kantor MUI, Jakarta.
Menurut
MUI, tindakan diskriminatif yang menimpa muslim Rohingya berlatar
belakang agama. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Penganiayaan
yang dilakukan dengan cara-cara militer kepada warga sipil harus segera
dihentikan. “Seluruh bangsa-bangsa di dunia harus bertanggungjawab atas
nasib dan masa depan suku Rohingya di Myanmar,” tulis pernyataan itu.
MUI
juga menyesalkan sikap PBB yang tidak proaktif dalam mengatasi masalah
pembantaian etnis terhadap kaum muslim Rohingya. Untuk itu MUI mendesak
PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk segera melakukan
langkah kongkrit dalam mencegah berlanjutnya krisis kemanusiaan di
Myanmar.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil inisiatif untuk menolong
dan membantu etnis Rohingya yang makin memprihatinkan dari bahaya
pembersihan etnis. Pembakaran perkampungan dan pengusiran mereka yang
terjadi di Provinsi Rokhine, Myanmar, menurut PBNU merupakan aksi yang
tidak bisa dibiarkan oleh dunia internasional.
Pernyataan itu
dikemukakan Ketua PBNU, H Slamet Effendy Yusuf MSi pada wartawan di
Jakarta, Minggu (29/7) dalam merespons tragedi kemanusiaan etnis
Rohingya. “Pembiaran pembantaian terhadap etnik Rohingya seperti selama
ini kita saksikan harus dihentikan. Apalagi, apa yang terjadi sekarang
ini merupakan puncak perlakuan diskriminatif yang sudah lama berlangsung
terhadap etnis Rohingya, yang beragama Islam,” katanya.
Indonesia
sebagai negara yang dituakan di ASEAN yang juga negara muslim terbesar
di dunia seharusnya mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah ini.
“Jadi, sangat tidak elok jika pemerintah Indonesia hanya menjadi
penonton dalam tragedi kemanusiaan ini,” tandas Slamet.
PBNU
berharap organisasi konferensi Islam (OKI) memperhatikan tragedi
kemanusiaan ini secara serius. “OKI harus melakukan langkah konkret
untuk melindungi etnis Rohingya, agar tidak terus-menerus menjadi
sasaran kebiadaban Junta Militer Myanmar. OKI juga harus mendesak PBB
agar menjatuhkan sanksi tegas pada pemimpin Myanmar, misalnya mengajukan
pengadilan ke dunia internasional atau Inter’ Criminal Court (ICC)
dengan tuduhan sebagai upaya pembersihan etnis atau genoside etnis
Rohingya, secara sistemtis,” demikian PBNU.(nas/ant/mir)
Bertahan Bisa Mati, Pergi Terlunta-lunta
ETNIS
Rohingya sendiri adalah minoritas muslim yang tinggal di Myanmar Barat,
berbatasan dengan Bangladesh. Tidak jelas asal-usul etnis Rohingya.
Catatan sejarah mengatakan etnis ini belum ada pada tahun 1950. Namun
ada pula yang berkata bahwa etnis Rohingya sudah ada sejak zaman
penjajahan Inggris, 1824.
Etnis Rohingya bukan asli Burma
(Myanmar). Secara perawakan, etnis ini lebih mirip orang Benglais (Asia
Selatan), seperti India dan Pakistan ketimbang orang Burma yang lebih
mirip Asia Tenggara.
Sungguh malang nasib etnis Rohingya. Di
Burma ia menghadapi pilihan, antara berdiam namun dibunuh atau pergi
namun terlunta-lunta. Sebab negara tetangga, seperti Bangladesh, juga
tidak mau mengakui keberadaan mereka. Sementara hingga kini pembantaian
itu terus berlanjut. Belum ada kejelasan, apakah yang terjadi di Mynmar
itu adalah perang etnis atau perang agama?
Pembantaian terus
meluas terhadap muslim Rohingya. Sementara mereka yang mendeklarasikan
dirinya sebagai pengusung panji HAM dan demokrasi hanya bungkam
menyaksikan kekejaman itu.
Radio Free Europe pada 12 Juli 2012
melaporkan helikopter Burma menyerang tiga kapal yang membawa hampir 50
muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan sektarian di barat
Burma. Serangan itu diyakini telah membunuh semua orang di kapal.
Mengapa
ada orang yang mengambil risiko fatal seperti itu? Pengungsi sedang
berusaha untuk menghindari kematian, penyiksaan atau penangkapan di
tangan mayoritas etnis Rakhine Buddha, yang memiliki dukungan penuh dari
pemerintah Myanmar.
Tidak semua muslim di Myanmar dari kelompok
etnis Rohingya. Beberapa dari mereka adalah keturunan imigran India,
sementara yang lain adalah keturunan Cina, atau memiliki asal-usul Arab
dan Persia. Myanmar adalah negara dengan jumlah penduduk yang
diperkirakan mencapai 60 juta jiwa dan hanya 4 persen di antaranya
muslim.
Terlepas dari angka, pelanggaran yang luas terus terjadi
terhadap etnis Rohingnya. Mereka menghadapi beberapa kasus diskriminasi
terburuk di dunia, tulis Reuters pada 4 Juli, mengutip kelompok hak
asasi manusia. Equal Rights Trust yang berbasis di Inggris melaporkan
bahwa kekerasan terbaru bukan hanya karena bentrokan etnis, tetapi
sebenarnya melibatkan partisipasi aktif pemerintah.
Dari 16 Juni
dan seterusnya, militer terlihat lebih aktif dalam melakukan tindakan
kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan
massal dan penangkapan di negara bagian Rakhine Utara.
Sydney
Morning Herald pada 8 Juli melaporkan, satu kelompok pro-demokrasi di
Twitter menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah pembohong, sementara
pengguna media sosial lainnya mengatakan, “Kita harus membunuh semua
Kalar”. Kalar adalah sebuah penghinaan rasis yang diterapkan pada orang
berkulit gelap dari anak benua India.
Secara politis, Myanmar
memiliki reputasi buruk. Sebuah perang saudara berkepanjangan telah
melanda negara itu tak lama setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Pemimpin
oposisi dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi hanya menyatakan
“keprihatinan” atas kekerasan etnis dan pembantaian terhadap warga
berkulit gelap dan sepertinya tidak penting bagi partainya yang
menguasai parlemen di Myanmar.
Sekjen Organisasi Kerjasama Islam
(OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu meminta Suu Kyi untuk melakukan sesuatu.
Dikatakannya, “Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, kami yakin bahwa
langkah pertama dari perjalanan Anda untuk memastikan perdamaian di
dunia akan dimulai dari depan pintu rumah Anda sendiri dan bahwa Anda
akan memainkan peran positif dalam mengakhiri kekerasan yang telah
menderita Negara Arakan.”
Presiden Myanmar Thein Sein telah
melakukan dosa besar, karena ia membuka wacana politik yang mendorong
pembunuhan atau bahkan genosida. Dia mengatakan kepada PBB bahwa kamp
pengungsi atau deportasi adalah solusi terhadap hampir satu juta muslim
Rohingya. Thein Sein mengusulkan untuk mendeportasi etnis Rohingya jika
ada negara ketiga yang siap menerima mereka.
Muslim Rohingya yang
sedang menjalani salah satu episode paling keras dari sejarah mereka,
adalah salah satu isu yang paling mendesak untuk dibahas di forum-forum
internasional. Namun, penderitaan mereka senantiasa absen dari prioritas
regional dan internasional. Sementara muslim Rohingya tanpa negara dan
tidak berdaya terus menderita dan mati di dunia yang mendewakan HAM dan
demokrasi.
Situs berita www.onislam.net melansir, PBB telah
mengeluarkan pernyataan bahwa, etnis-Bengali Myanmar Muslim yang lebih
dikenal sebagai Rohingya, sebagai salah satu minoritas yang paling
teraniaya di dunia. Etnis ini menghadapi diskriminasi di tanah air
mereka sendiri.
Situs berita berbasis di Inggris,
independent.co.uk menulis, Rohingya telah tinggal di Burma selama
berabad-abad. Tetapi pada tahun 1982, penguasa militer Ne Win melucuti
kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga ribuan dari mereka harus
melarikan diri ke Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp yang menyedihkan.
Sejak
amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, Pemerintah
Junta Militer Myanmar telah mengabaikan hak kewarganegaraan etnis
Rohingya dan memperlakukan mereka sebagai imigran ilegal di rumah mereka
sendiri.
Pemerintah Myanmar serta mayoritas Buddha menolak untuk
mengakui pemakaian istilah “Rohingya”. Mereka menyebut etnis yang sudah
tinggal berabad-abad di Negara Bagian Arakan ini sebagai “Bengali”.
Awal
bulan ini, Presiden Burma Thein Sein mengatakan bahwa permasalahan
Rohingya harus diselesaikan di negara ketiga. Pemerintah junta militer
Myanmar juga menutup rapat akses media asing ke wilayah konflik,
terutama setelah negara mengumumkan status gawat darurat pada bulan
lalu. Sejauh ini sepuluh pekerja bantuan ditahan tanpa penjelasan dari
pihak berwenang.(nas/nal/dari berbagai sumber)
Polisi Bubarkan Demo untuk Rohingya
BANDA
ACEH - Puluhan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Aceh, Minggu (29/7) pagi menggelar demo sebagai bentuk solidaritas bagi
kaum muslim Rohingya yang baru-baru ini dibantai di negerinya oleh
pemeluk agama mayoritas di negara itu. Namun, demo yang dilaksanakan di
Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh itu langsung dibubarkan polisi karena
tidak memiliki izin.
Amatan Serambi, demo yang dimulai sekira pukul 10.00 WIB itu langsung dibubarkan polisi ketika seorang aktivis KAMMI Aceh baru saja berorasi.
Kapolresta
Banda Aceh, Kombes Pol Moffan MK SH melalui Wakasat Intelkam AKP Saiful
Hadi SH langsung meminta para aktivis KAMMI itu untuk menghentikan demo
dan segera membubarkan dari. Soalnya, kata Saiful Hadi, selain tidak
mengantongi izin, aksi tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Kami
cukup menghargai setiap ada kelompok atau organisasi massa yang ingin
menyampaikan pendapatnya di muka umum. Tapi, semuanya tetap harus
melalui mekanisme. Salah satunya ya harus mengantongi izin. Kalau tidak
ada, terpaksa kami nyatakan aksi itu harus dibubarkan,” kata AKP Saiful.
Semestinya, kata Saiful, tiga hari sebelum menggelar aksi,
salah seorang perwakilan massa tersebut sudah harus memasukkan izin STTP
(Surat Tanda Terima Pemberitahuan) ke bagian perizinan Intelkam
Polresta Banda Aceh. “Tapi, hal itu tidak diindahkan. Bahkan sebelum
kami meminta dibubarkan pada Sabtu (28/7) malam, kami sempat
menyampaikan teguran agar aksi tidak dilaksanakan, karena tidak ada
izin. Tapi karena pada kenyataannya mereka membandel, sehingga korlap
dan Ketua Umum KAMMI Aceh, harus dimintai keterangannya,” kata Saiful
Hadi.
Pantauan Serambi, sebelum aksi jalanan itu
dibubarkan petugas kepolisian, sejumlah aktivis KAMMI minta agar mereka
diizinkan membacakan pernyataan sikap.
Dalam kenyataannya,
polisi memberi kelonggaran bagi mereka untuk membacakan penyataan sikap,
tapi bukan di bundaran, melainkan di depan sebuah warung kopi di
sekitar Bundaran Simpang Lima.
Koordinator aksi, Darlis Azis
mengakui, aksi solidaritas untuk muslim Rohingya yang mereka gelar itu
memang tidak mendapat izin dari kepolisian setempat. Tapi, menurutnya,
aksi tersebut merupakan wujud kepedulian dan spontanitas mereka,
mengingat intensitas kekerasan terhadap etnis minoritas muslim yang
mendiami Provinsi Arakan, Myanmar, terus meningkat. “Tidak ada niat kami
mengangkangi aturan yang ada. Tapi ini terjadi spontan,” kata Darlis
kepada Serambi.
KAMMI Aceh, menurut Darlis, menaruh keprihatinan
mendalam terhadap muslim dari etnis Rohingya yang terus mengalami
kekerasan dan penindasan di Burma.
Bahkan, menurut Darlis, etnis
Rohingya mulai 1940-an terus mengalami penindasan, pembunuhan,
penyiksaan, pemerkosaan, pemiskinan, dan diskriminasi baik dari negara,
pemerintah serta sesama penduduk yang beda etnis dan agama di sana.
Bahkan
banyak etnis Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraanya di Myanmar.
“Ini yang memicu keprihatinan mendalam bagi kita semua umat muslim dan
secara spontanitas KAMMI Aceh ikut melakukan aksi untuk mengutuk
kekerasan yang dilakukan pemeluk agama non-Islam maupun junta militer
Myanmar terhadap muslim dari etnis Rohingya,” pungkas Darlis. (mir)