Turki kini menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia internasional. Situasi ini tak lepas dari sosok kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan, sang Perdana Menteri. Lewat Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan, Erdogan berupaya merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Turki. Tentu saja upaya ini tidak mudah. Sejak berdekade silam, berbagai upaya memunculkan Islam di panggung politik Turki selalu dipatahkan oleh kalangan sekularis dengan dukungan militer Turki.
Kini situasi berubah. Erdogan berhasil memberi pelajaran mahal kepada militer agar dapat menghormati supremasi sipil. Larangan jilbab dicabut. Perbuatan zina juga diusulkan menjadi pelanggaran pidana. Ekonomi Turki yang sebelumnya terpuruk, melesat pesat. Mata uang Lira yang dulu terkapar, kini bertaji. Posisi Turki di kawasan maupun di dunia Islam, makin diperhitungkan. Turki bahkan menjelma menjadi momok menakutkan bagi arogansi Israel di Timur Tengah.
Erdogan bersama koleganya di AKP adalah pejuang dengan setumpuk cita-cita yang belum selesai: mengembalikan umat Islam sebagai pemimpin peradaban. Dan, cerita itu sudah dimulai sekarang.
***
Turki seperti terlahir kembali di tangan Erdogan. Ia menaklukkan kepongahan sekularisme Turki yang dibidani oleh Kemal Ataturk.
Ada yang tak biasa pada Perdana Menteri Turki sekarang. Di mana pun berada, ia kerap didampingi wanita cantik yang senantiasa berjilbab. Wanita itu tetap kukuh dengan jilbabnya, sekalipun kecaman datang bertubi-tubi. Dialah Emine Erdogan, istri Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Bagi Turki pemandangan seperti itu aneh. Karena, jilbab adalah simbol keagamaan.
Sedangkan Turki sudah membuang simbol-simbol keagamaan sejak 88 tahun lalu, yakni sejak Turki menerapkan sekularisme dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sejak itu, jilbab dilarang keras.
Namun kini, kondisinya berbalik. Semarak jilbab telah mewarnai kembali kehidupan masyarakat Turki. Jilbab tampak dimana-mana. Sebagian kalangan menilai, semaraknya jilbab itu pertanda kebangkitan Islam di Turki. Di sisi lain, sekularisme yang ditancapkan Mustafa Kemal Ataturk mulai pudar.
Membaca fenomena kebangkitan Islam di Turki tak lepas dari sosok-sosok seperti Necmettin Erbakan, Recep Tayyip Erdogan, Abdullah Gul dan Ali Babacan dan juga Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan.
AKP lahir dalam kebuntuan politik, ketika partai Islam dipecundangi oleh kaum sekular yang dibekingi oleh rezim militer. Berbagai alasan dibuat untuk menggembosi setiap upaya membangunkan bangsa Turki agar kembali kepada Islam. Dimulai dari saat Partai Keselamatan Nasional (Milli Selâmet Partisi) pimpinan Necmettin Erbakan dibubarkan pada dekade 1990-an. Kemunculan Partai Refah sebagai penggantinya, yang juga digagas oleh Erbakan, juga tak berlangsung lama. Partai Refah dibubarkan oleh rezim militer pada tahun 1997.
Menang Telak
Erdogan adalah murid sekaligus pengagum Erbakan. Pengalaman pahit dibubarkannya partai Islam sebanyak dua kali, ditambah makar kaum sekular yang membuatnya dijebloskan ke dalam penjara, memaksanya untuk berpikir lebih cerdas dan strategis. Akhirnya, bersama Abdullah Gul dan Ali Babacan, Erdogan membentuk partai AKP pada 14 Agustus 2001.
Erdogan dan AKP mampu mempertahankan diri di atas panggung politik Turki selama lebih dari satu dekade. AKP mulai membangun kekuasaan politiknya sejak 2002, ketika AKP memenangkan pemilu parlemen (34 persen). Disusul pemilu 2007, AKP kembali memenangkan pemilu dengan suara mayoritas di parlemen (47 persen). Lalu pada pemilu 2011, AKP kembali memenangkan suara mayoritas, hampir 50 persen (326 kursi) parlemen. Ini merupakan prestasi politik luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah Turki modern.
Banyak faktor di balik kesuksesan AKP di panggung politik Turki. Pertama, kepemimpinan dalam Partai AKP dibangun atas dasar visi, integritas, kredibilitas, dan komitmen yang tinggi. Para pemimpin AKP bukanlah orang-orang yang haus kekuasaan. Tiga tokoh puncaknya, Erdogan, yang menjadi Perdana Menteri, Abdullah Gul, yang menjadi Presiden Turki, dan Ali Babacan, yang menjadi Deputi Perdana Menteri, bukanlah orang-orang yang mencari peluang untuk hidup mewah sehingga terjun ke dalam politik.
Mereka adalah cendekiawan yang berlatar belakang ekonom dan pernah bekerja di lembaga dunia. Gul, misalnya, pernah bekerja di IDB (Islamic Development Bank), dan Bank Dunia.
Erdogan juga pernah bekerja di IDB dan bekas Walikota Istanbul yang sukses. Sementara itu, Ali Babacan adalah ekonom jenius yang kini menjadi deputi perdana menteri sekaligus ketua tim negosiator Turki dengan negara Uni Eropa.
Faktor kedua, AKP di bawah pimpinan Erdogan berhasil membangun stabilitas ekonomi dan politik secara bersama-sama. Pendapatan per kapita rakyat Turki meningkat pesat, inflasi diturunkan dan pertumbuhan ekonomi digenjot. Turki juga berhasil menurunkan angka pengangguran hingga lebih dari 3 persen dalam setahun. Turki menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di Eropa.
The Economist, sebuah majalah terkemuka di Amerika, tak ketinggalan memuji keberhasilan “kaum Islamis AKP” dalam memimpin Turki.
Erdogan maupun AKP memang tidak mengusung jargon-jargon syariah di lapangan. Walau begitu, faktanya, AKP berhasil membatalkan undang-undang yang melarang jilbab, mengajukan RUU agar zina termasuk dalam tindakan pidana, menghapuskan prostitusi, memerangi korupsi dan kemiskinan.
Erdogan dikritik oleh sebagian kalangan karena menyebut Turki bukanlah negara agama. Ia juga dikecam oleh sebagian kalangan karena berkata, “Demokrasi, sekularisme, dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup seterusnya.” Ia mengungkapkan hal itu di hadapan para aktivis AKP, April 2007 silam.
Adakah yang keliru dari pernyataan di atas? Jika kita menyimak ungkapan pertama tentang negara republik, bukankah itu merupakan deskripsi terhadap fakta yang saat ini tengah terjadi di Turki dan di berbagai belahan dunia lainnya. Bukankah memang fakta yang belum bisa diubah hingga kini —dan bukan berarti tidak akan berubah— bahwa Turki bukanlah negara agama? Bukankah pernyataan itu tidak menafikan kemungkinan nyata bahwa partainya tengah memperjuangkan nilai-nilai Islam?
Sebagai bukti terhadap analisis ini, survei yang dilakukan sebuah lembaga penelitian sosial dan ekonomi bernama TESEV beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa jumlah orang yang menyatakan diri mereka sebagai Muslim meningkat 10 persen antara tahun 2002 dan 2007, dan hampir setengah dari mereka yang disurvei menyebut diri mereka islamis.
Ringkasnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan Erdogan itu cuma sekadar strategi AKP untuk mempecundangi rezim sekular Turki yang begitu berurat-berakar dalam ruang politik Turki.
Yang dilakukan oleh AKP juga adalah “strategi potong generasi”. Sulit mengubah paradigma sekularisme yang dibangun sejak Kemal Ataturk memproklamasikan Republik Turki. Karena itu, AKP berkonsentrasi merekrut kader-kader dari kalangan muda. Terutama, mereka yang berusia 25-35 tahun. AKP juga gigih memperkuat jaringannya dengan mendirikan kantor-kantor perwakilan hingga ke pelosok desa.
Perjalanan Erdogan bersama AKP dan para aktivis Islam di Turki masih panjang. Terlepas dari berbagai kritik yang ditujukan terhadap berbagai langkah politiknya bersama para koleganya di AKP, Erdogan sukses meruntuhkan dominasi kaum sekular di Turki, bahkan tampil sebagai pembela terdepan bagi dunia Islam. Erdogan berhasil menghancurkan warisan Ataturk tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.