Negeri Meuredu denga Pedir memiliki kesatuan sejarah. Meski kini telah pecah menjadi dua daerah tingkat dua. Berbagai riwayat pernah terjalin di sana. Salah satunya tentang benteng Portugis yang keberadaan tidak diketahui hingga kini.
Sejarawan Aceh, H M Zainuddin dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) menyebutkan, Negeri Pedir termasuk Meureudu di dalamnya pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan yang berbatasan sebelah dengan Kuala Batee sampai ke Kaula Ulim di sebelah timur.
Ia menjelaskan, dalam kisah pelayaran bangsa Portugal menyebut Pidie sebagai Pedir, sementara dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan, seperti orang Tiongkok menyebut Meureudu dengan sebutan Meuleulu, Kutaraja disebut Kutalaja dan lain sebagainya. Sama halnya dengan lidah orang Arab yang tidak dapat menyebut huruf “qa” dan “cing” mereka menyebut ka dengan gha, misalnya qalu disebut ghalu, kucing disebut kusing.
Dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok pada masa dinasti Liang sekitar abad kelima (413 M) disebutkan, pada masa itu seorang pelayar dari Tiongkok yang bernama Fa Hian telah melawat ke Jeep Po Ti singgah di Sumatera. Diantara daerah yang disinggahinya adalah Poli (Pedir).
Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Pedir digambarkan pada masa itu memiliki 136 daerah perkampungan (pemukiman), kehidupan penduduknya makmur dari hasil bercocok tanam padi dua kali setahun.
Cara bertani di negeri Pedir sama seperti di Persia (Iran) dan India di lembah Sungai Indus dan Gangga. Para penduduk Pedir juga memelihara ulat sutera untuk kebutuhan tenun kain. Kalangan pembesar di Pedir waktu itu sudah memakai kain sutera ketika ada perhelatan tertentu, sementara masyarakat umum di pedesaan masih menggunakan pakaian dari kulit kayu yang disebut sebagai cawat. Penduduk Pedir masa itu juga sudah mulai beternak kambing.
Kemudian pada tahun 518 M raja Pedir mengirim utusan ke Tiongkok untuk perkenalan dan hubungan diplomatik. Kunjungan itu dibalas oleh raja Tiongkok pasa tahun 617 M dengan mengirim utusannya yang bernama I Thing untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan di pesisir Aceh sekarang. Dalam kunjungan selama lima bulan itu, I Thing melawat kedelapan kerjaan yang ada di Aceh waktu itu. Dalam kunjungannya ia menemukan kampung-kampung yang berpagar bambu.
Kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya antara lain: Peureulak, Samudra/Pasai, Pedir (Poli), Lamuri dan Dagroian. Kerajaan yang disebut terakhir (Dagroian) tidak jelas keberadaannya dan tidak terungkap sejarah sampai sekarang. Ia hanya menggambarkan bahwa kehidupan penduduk di kerjajaan-kerajaan yang dikunjunginya itu masih liar.
Kabar lain menurut H M Zainuddin, Pedir dalam cataan Pa Hin (Fa Hian) musafir Tiongkok disebutkan sebagai sebuah negeri yang makmur yang rajanya mengendarai gajah dan berpakaian sutra. Pelabuhan Pedir letaknya disebuah teluh yang genting. Tidak jauh dari pelabuhan itu terdapat sebuah perkampungan yang bernama Panei.
Kampung itu dulu dihuni oleh orang Hindu pembuat parang, serta membakar kapur dan menanam bawang. Di rimba sekitar kampung itu banyak tumbuh pohon gaharu dan kayu kapur (geuruphai). Di kampung Panei itu diyakini oleh H M Zainuddin masih terdapat bekas-bekas purbakala Hindu. Seorang ahli purbakala dari Belanda pernah meneliti keberadaan kampung tersebut sekitar daerah Batee dan Geurilia Atieh.
Pada tahun 82 hijriah atau 717 masehi, 35 kapal Adjam/Persia yang dipimpin Zahid melakukan ekspedisi. Mereka berangkat dari Teluk Adjam kemudian berkumpul di Ceylan. Dari sama 35 armada itu membagi rute pelayaran. Ada yang menuju Canton (Tiongkok), ke semananjung Malaya, Kedah, Siam, Kamboja, Annam (Hindia belakang) dan beberapa daerah lain penghasil rempah-rempah, termasuk ke Aceh.
Pada ekspedisi selanjutnya kira-kira tahun 724 masehi, kapal-kapal Persia itu kembali ke Aceh untuk membeli barang dagangan seperti emas, perakm kapur barus, kemenyan, cendana, dan berbagai rempah-rempah. Kemudian pada tahun 322 hijrian/950 masehi, para penjelajah Arab juga singga di Rami, sebuah daerah yang tidak jauh dari Pedir. Daerah Rami ini kemudian dikenal sebagai Lamri yang kemudian menjadi Lamuri. Sebuah kerajaan di Aceh Besar sebelum munculnya kerajaan Aceh Darussalam. Setelah itu mulai ramailah orang-orang luar singgah di berbagai pelabuhan di Aceh.
H M Zainuddin berpendapat bahwa tanaman merica yang paling subur dengan kualiats baik berasal dari perkebunan di daerah Pedir. Ia mengutip pendapat seorang ahli sejarah dan pertanian J H Heijl yang menyebutkan, sejak abat VII tumbuhan lada sudah dikembangkan di Pedir, Pasai dan Peureulak. Tentang kualitas lada di Pedir diungkap dalam sebuah pepatah Melayu lama di Semenanjuk Malaka yang menyebutkan “Berat orang ini seperti berat lada Pedir,” yang menunjukkan bahwa dari banyak lada yang diperdagangkan di semenanjung tersebut, lada asal Pedir yang sangat digemari.
Benteng Portugis antara Ndjong dan Panteraja
Dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin juga menyinggung tentang sejarah purbakalai Pedir yang kekuasaannya juga termasuk wilayah Pidie Jaya sekarang. Bukti sejarah purbakala Pedir ditemukan di Kampung Keleubeut (Labui). Di sana ditemukan makam raja-raja, di antaranya ada makam Sulthan Ma’ruf Syah, anak dari Sulthan Sulaiman Nur yang mangkat pada tahun 916 hijriah (1511 masehi).
Kemudian di Gampong Sangeu dekat mesjid Labui terdapat makam Putroe Balee yang mangkat pada tahun 970 hijriah (1588 masehi). Bentuk makam-makan itu sama dengan makam raja-raja di Pasai, Aceh Besar, Daya. Nisan makam itu terbuat dari pualam bertulis huruf Arab. Datu-batu nisan itu ada yang didatangkan dari Hindi ada pula yang dibuat di Meuraksa Ulee Lheu sekarang. Karena itu H M zainuddin yakin, keberadaan Kerajaan Pedir waktu itu serupa dengan Kerajaan Pasai dan kerjaan-kerajaan di Aceh Besar sekarang.
Dalam riwayat pelayaran bangsa Portugis diterangkan bahwa sebelum Portugis datang pada tahun 1509, kerjaan di Aceh Besar ditaklukkan oleh kerajaan Pedir, tapi penaklukkan itu hanya sementara waktu, hingga kemudian saling menyerang. Portugis kemudian membangun benteng pertahanan di wilayah Pedir. Namun Pedir kemudian dikalahkan kembali oleh raja Aceh Besar, Raja Ali dan adiknya Raja Ibrahim. Usai menaklukkan Pedir mereka menyerbu benteng-benteng Portugis di Pedir yakni di Kuala Gigieng.
Benteng itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Namun menurut H M Zainuddin, dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Kuta Asan di Sigli merupakan bekas benteng Portugis. Namun cerita lain menyebutkan benteng Portugis itu terdapat di sebuah bukit daerah antara Panteraja dan Kuala Ndjong.
Untuk memastikan letak benteng Portugis tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Kalau benar benteng tersebut terletak antara kawasan Panteraja dan Ndjong, maka sebuah sisi baru sejarah Pidie Jaya bisa diungkap lebih jauh. Untuk itu butuh kepedulian semua pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya untuk menggali kembali sejarah yang belum terungkap tersebut.
Kuburan Tu Uleegle
Pada tahun 1905, ketika Belanda menjajah Aceh, pemerintah Belanda di Sigli, Overste Van Dallen membuka jalan dari Sigli ke Glumpang Payong tembus ke Gampong Musa dan Panteraja. Jalan itu juga melalui Keude Paru, pusat perniagaan rempah-rempah kala itu.
Untuk membangun jalan tersebut batu-batu besar dibongkar sepanjang jalur pembangunan. Di kaki bukit daerah itu ditemukan sebuah kuburan lama. Kuburan itu kemudian diketahui sebagai malam Tu Uleegle. Nenek moyang dari Mentroe Adan dan Bentara Seumasat Glumpang Payong. Mentroe Adan ini kemudian digelar sebagai Laksamana Negeri Ndjong.
H M Zainuddin menjelaskan, kuburan Tu Uleegle itu sebelumnya dijaga oleh keturunannya secara turun temurun. Dari mereka diperoleh keterangan baha Tu Uleegle meniggal waktu penyerangan benteng Portugis di daerah Panteraja. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Glumpang Payong dan dikebumikan di sana.
Dahulu masyarakat sering datang untuk melepaskan nazar (kalul) di tempat Tu Uleegle baik di Panteraja maupun di kuburannya di Glumpang Payong. Jadi berdasarkan keterangan tersebut, keberadaan benteng Portugis zaman dahulu juga bisa jadi terletak antara Uleegle dan Panteraja. Artinya biula sebelum disebutkan keberadaan benteng Portugis itu antara Ndjong dan Panteraja, kini lebih luas ke arah timur yakni dari Ndjong ke Uleegle.
Dengan demikian, untuk mengetahui keberadaan benteng Portugis tersebut pada zaman dahulu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mulai dari Ndjong dibagian barat Kabupaten Pidie Jaya sampai ke Uleegle di bagian timur. H M zainuddin menilai hal itu masuk akal karena letak dua daerah di bagian barat dan Timur Pidie Jaya itu dari dulu sudah sangat strategis.
Alasannya, diantara dua daerah itu dialiri oleh beberapa sungai yang muaranya (kuala) menjadi pelabuhan masa dahulu, yakni Kuala Ndjong, Kuala Panteraja, Kuala Meureudu. Alasan lainnya menurut H M Zainuddin, di daerah itu terdapat bukit-bukit yang dulunya dijadikan perkebunan lada, yakni di Paru, Panteraja, Peudue (Peuduek sekarang) dan Trienggadeng. Perkebunan lada di kawasan itu terkenal hingga masa terbukanya bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka.
Salah seorang yang membangun perkebunan di kawasan itu adalah Teuku Sjahbuddin, anak dari Laksamana Hadji Muhammad Hussain, Uleebalang negeri Ndjong. Ia merupakan keturunan dari Tu Uleegle. Pada masa Belanda menjajah Aceh, Teuku Sjahbuddin menolak untuk diperintah oleh Belanda. Ia lari ke Pulau Pinang, Malaysia dengan membawa harta bendanya. Di sana ia tinggal di kawasan Jalan Hatim (Hoton Lane) dan mendirikan perumahan di sana dengan harta benda yang dibawanya.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah keturunan Tu Uleegle ini, maka sudah seharusnya dilakukan penelitian hingga ke Malaysia. Dari sana juga nanti bisa terungkap silsilah Tu Uleegle yang sebenarnya, serta peranannya pada masa dahulu bagi daerah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Pidie Jaya.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah
Sejarawan Aceh, H M Zainuddin dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) menyebutkan, Negeri Pedir termasuk Meureudu di dalamnya pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan yang berbatasan sebelah dengan Kuala Batee sampai ke Kaula Ulim di sebelah timur.
Ia menjelaskan, dalam kisah pelayaran bangsa Portugal menyebut Pidie sebagai Pedir, sementara dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan, seperti orang Tiongkok menyebut Meureudu dengan sebutan Meuleulu, Kutaraja disebut Kutalaja dan lain sebagainya. Sama halnya dengan lidah orang Arab yang tidak dapat menyebut huruf “qa” dan “cing” mereka menyebut ka dengan gha, misalnya qalu disebut ghalu, kucing disebut kusing.
Dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok pada masa dinasti Liang sekitar abad kelima (413 M) disebutkan, pada masa itu seorang pelayar dari Tiongkok yang bernama Fa Hian telah melawat ke Jeep Po Ti singgah di Sumatera. Diantara daerah yang disinggahinya adalah Poli (Pedir).
Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Pedir digambarkan pada masa itu memiliki 136 daerah perkampungan (pemukiman), kehidupan penduduknya makmur dari hasil bercocok tanam padi dua kali setahun.
Cara bertani di negeri Pedir sama seperti di Persia (Iran) dan India di lembah Sungai Indus dan Gangga. Para penduduk Pedir juga memelihara ulat sutera untuk kebutuhan tenun kain. Kalangan pembesar di Pedir waktu itu sudah memakai kain sutera ketika ada perhelatan tertentu, sementara masyarakat umum di pedesaan masih menggunakan pakaian dari kulit kayu yang disebut sebagai cawat. Penduduk Pedir masa itu juga sudah mulai beternak kambing.
Kemudian pada tahun 518 M raja Pedir mengirim utusan ke Tiongkok untuk perkenalan dan hubungan diplomatik. Kunjungan itu dibalas oleh raja Tiongkok pasa tahun 617 M dengan mengirim utusannya yang bernama I Thing untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan di pesisir Aceh sekarang. Dalam kunjungan selama lima bulan itu, I Thing melawat kedelapan kerjaan yang ada di Aceh waktu itu. Dalam kunjungannya ia menemukan kampung-kampung yang berpagar bambu.
Kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya antara lain: Peureulak, Samudra/Pasai, Pedir (Poli), Lamuri dan Dagroian. Kerajaan yang disebut terakhir (Dagroian) tidak jelas keberadaannya dan tidak terungkap sejarah sampai sekarang. Ia hanya menggambarkan bahwa kehidupan penduduk di kerjajaan-kerajaan yang dikunjunginya itu masih liar.
Kabar lain menurut H M Zainuddin, Pedir dalam cataan Pa Hin (Fa Hian) musafir Tiongkok disebutkan sebagai sebuah negeri yang makmur yang rajanya mengendarai gajah dan berpakaian sutra. Pelabuhan Pedir letaknya disebuah teluh yang genting. Tidak jauh dari pelabuhan itu terdapat sebuah perkampungan yang bernama Panei.
Kampung itu dulu dihuni oleh orang Hindu pembuat parang, serta membakar kapur dan menanam bawang. Di rimba sekitar kampung itu banyak tumbuh pohon gaharu dan kayu kapur (geuruphai). Di kampung Panei itu diyakini oleh H M Zainuddin masih terdapat bekas-bekas purbakala Hindu. Seorang ahli purbakala dari Belanda pernah meneliti keberadaan kampung tersebut sekitar daerah Batee dan Geurilia Atieh.
Pada tahun 82 hijriah atau 717 masehi, 35 kapal Adjam/Persia yang dipimpin Zahid melakukan ekspedisi. Mereka berangkat dari Teluk Adjam kemudian berkumpul di Ceylan. Dari sama 35 armada itu membagi rute pelayaran. Ada yang menuju Canton (Tiongkok), ke semananjung Malaya, Kedah, Siam, Kamboja, Annam (Hindia belakang) dan beberapa daerah lain penghasil rempah-rempah, termasuk ke Aceh.
Pada ekspedisi selanjutnya kira-kira tahun 724 masehi, kapal-kapal Persia itu kembali ke Aceh untuk membeli barang dagangan seperti emas, perakm kapur barus, kemenyan, cendana, dan berbagai rempah-rempah. Kemudian pada tahun 322 hijrian/950 masehi, para penjelajah Arab juga singga di Rami, sebuah daerah yang tidak jauh dari Pedir. Daerah Rami ini kemudian dikenal sebagai Lamri yang kemudian menjadi Lamuri. Sebuah kerajaan di Aceh Besar sebelum munculnya kerajaan Aceh Darussalam. Setelah itu mulai ramailah orang-orang luar singgah di berbagai pelabuhan di Aceh.
H M Zainuddin berpendapat bahwa tanaman merica yang paling subur dengan kualiats baik berasal dari perkebunan di daerah Pedir. Ia mengutip pendapat seorang ahli sejarah dan pertanian J H Heijl yang menyebutkan, sejak abat VII tumbuhan lada sudah dikembangkan di Pedir, Pasai dan Peureulak. Tentang kualitas lada di Pedir diungkap dalam sebuah pepatah Melayu lama di Semenanjuk Malaka yang menyebutkan “Berat orang ini seperti berat lada Pedir,” yang menunjukkan bahwa dari banyak lada yang diperdagangkan di semenanjung tersebut, lada asal Pedir yang sangat digemari.
Benteng Portugis antara Ndjong dan Panteraja
Dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin juga menyinggung tentang sejarah purbakalai Pedir yang kekuasaannya juga termasuk wilayah Pidie Jaya sekarang. Bukti sejarah purbakala Pedir ditemukan di Kampung Keleubeut (Labui). Di sana ditemukan makam raja-raja, di antaranya ada makam Sulthan Ma’ruf Syah, anak dari Sulthan Sulaiman Nur yang mangkat pada tahun 916 hijriah (1511 masehi).
Kemudian di Gampong Sangeu dekat mesjid Labui terdapat makam Putroe Balee yang mangkat pada tahun 970 hijriah (1588 masehi). Bentuk makam-makan itu sama dengan makam raja-raja di Pasai, Aceh Besar, Daya. Nisan makam itu terbuat dari pualam bertulis huruf Arab. Datu-batu nisan itu ada yang didatangkan dari Hindi ada pula yang dibuat di Meuraksa Ulee Lheu sekarang. Karena itu H M zainuddin yakin, keberadaan Kerajaan Pedir waktu itu serupa dengan Kerajaan Pasai dan kerjaan-kerajaan di Aceh Besar sekarang.
Dalam riwayat pelayaran bangsa Portugis diterangkan bahwa sebelum Portugis datang pada tahun 1509, kerjaan di Aceh Besar ditaklukkan oleh kerajaan Pedir, tapi penaklukkan itu hanya sementara waktu, hingga kemudian saling menyerang. Portugis kemudian membangun benteng pertahanan di wilayah Pedir. Namun Pedir kemudian dikalahkan kembali oleh raja Aceh Besar, Raja Ali dan adiknya Raja Ibrahim. Usai menaklukkan Pedir mereka menyerbu benteng-benteng Portugis di Pedir yakni di Kuala Gigieng.
Benteng itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Namun menurut H M Zainuddin, dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Kuta Asan di Sigli merupakan bekas benteng Portugis. Namun cerita lain menyebutkan benteng Portugis itu terdapat di sebuah bukit daerah antara Panteraja dan Kuala Ndjong.
Untuk memastikan letak benteng Portugis tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Kalau benar benteng tersebut terletak antara kawasan Panteraja dan Ndjong, maka sebuah sisi baru sejarah Pidie Jaya bisa diungkap lebih jauh. Untuk itu butuh kepedulian semua pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya untuk menggali kembali sejarah yang belum terungkap tersebut.
Kuburan Tu Uleegle
Pada tahun 1905, ketika Belanda menjajah Aceh, pemerintah Belanda di Sigli, Overste Van Dallen membuka jalan dari Sigli ke Glumpang Payong tembus ke Gampong Musa dan Panteraja. Jalan itu juga melalui Keude Paru, pusat perniagaan rempah-rempah kala itu.
Untuk membangun jalan tersebut batu-batu besar dibongkar sepanjang jalur pembangunan. Di kaki bukit daerah itu ditemukan sebuah kuburan lama. Kuburan itu kemudian diketahui sebagai malam Tu Uleegle. Nenek moyang dari Mentroe Adan dan Bentara Seumasat Glumpang Payong. Mentroe Adan ini kemudian digelar sebagai Laksamana Negeri Ndjong.
H M Zainuddin menjelaskan, kuburan Tu Uleegle itu sebelumnya dijaga oleh keturunannya secara turun temurun. Dari mereka diperoleh keterangan baha Tu Uleegle meniggal waktu penyerangan benteng Portugis di daerah Panteraja. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Glumpang Payong dan dikebumikan di sana.
Dahulu masyarakat sering datang untuk melepaskan nazar (kalul) di tempat Tu Uleegle baik di Panteraja maupun di kuburannya di Glumpang Payong. Jadi berdasarkan keterangan tersebut, keberadaan benteng Portugis zaman dahulu juga bisa jadi terletak antara Uleegle dan Panteraja. Artinya biula sebelum disebutkan keberadaan benteng Portugis itu antara Ndjong dan Panteraja, kini lebih luas ke arah timur yakni dari Ndjong ke Uleegle.
Dengan demikian, untuk mengetahui keberadaan benteng Portugis tersebut pada zaman dahulu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mulai dari Ndjong dibagian barat Kabupaten Pidie Jaya sampai ke Uleegle di bagian timur. H M zainuddin menilai hal itu masuk akal karena letak dua daerah di bagian barat dan Timur Pidie Jaya itu dari dulu sudah sangat strategis.
Alasannya, diantara dua daerah itu dialiri oleh beberapa sungai yang muaranya (kuala) menjadi pelabuhan masa dahulu, yakni Kuala Ndjong, Kuala Panteraja, Kuala Meureudu. Alasan lainnya menurut H M Zainuddin, di daerah itu terdapat bukit-bukit yang dulunya dijadikan perkebunan lada, yakni di Paru, Panteraja, Peudue (Peuduek sekarang) dan Trienggadeng. Perkebunan lada di kawasan itu terkenal hingga masa terbukanya bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka.
Salah seorang yang membangun perkebunan di kawasan itu adalah Teuku Sjahbuddin, anak dari Laksamana Hadji Muhammad Hussain, Uleebalang negeri Ndjong. Ia merupakan keturunan dari Tu Uleegle. Pada masa Belanda menjajah Aceh, Teuku Sjahbuddin menolak untuk diperintah oleh Belanda. Ia lari ke Pulau Pinang, Malaysia dengan membawa harta bendanya. Di sana ia tinggal di kawasan Jalan Hatim (Hoton Lane) dan mendirikan perumahan di sana dengan harta benda yang dibawanya.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah keturunan Tu Uleegle ini, maka sudah seharusnya dilakukan penelitian hingga ke Malaysia. Dari sana juga nanti bisa terungkap silsilah Tu Uleegle yang sebenarnya, serta peranannya pada masa dahulu bagi daerah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Pidie Jaya.[iskandar norman]
bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah